Jum'at, 27 Rabiul Akhir 1446 H / 25 Februari 2022 11:50 wib
4.104 views
Aturan Menag RI Jangan Menyalahi Syari'at Islam dan Konstitusi
Oleh: Abdurrahman Anton Minardi
(Lembaga Advokasi Ummat ANSHORULLAH, Dewan Masjid Indonesia Kota Bandung)
Saya punya pengalaman hidup di negara yang melarang ummat Islam untuk mengumandangkan adzan keluar Masjid dengan pengeras suara. Ini merupakan dampak dari aturan yang sekuler dan ingin mengganti Syari'at dan Budaya Islam dalam setiap sendi kehidupan masyarakat Muslim sendiri.
Bahkan di negera yang mayoritas Muslim justru pernah ada peraturan bahwa jika adzan dilakukan dengan menggunakan pengeras suara maka akan dipenjara 20 tahun.
Di negara kita Indonesia tentu saja jangan sampai terjadi seperti itu. Selain Karena ini merupakan Syari'at Islam bahwa adzan dan Khutbah itu selain nasihat untuk ummat Islam tetapi juga merupakan Syiar Da'wah untuk sekelilingnya.
Hal tersebut juga sudah dilindungi oleh konstitusi Pasal 29 bahwa Setiap warga negara bebas untuk memeluk agama dan kepercayaan dan menjalankan agama dan kepercayaan nya.
Baik Adzan, Khutbah maupun Takbiran merupakan ajaran Islam yang tentu saja dilindungi oleh konstitusi negara kita.
Melarangnya berarti selain bertentangan dengan Syari'at Islam juga bertentangan dengan konstitusi.
Pertama, adzan diajarkan untuk disampaikan dengan Indah dan suara keras sehingga dapat terdengar orang-orang yang paling jauh.
Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu ketika bermimpi melihat tata cara adzan kemudian menyampaikannya kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maka beliau berkata:
إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ، فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ، فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ
“Itu adalah mimpi yang benar insya ALLAH. Bangkitlah bersama Bilal, lalu sampaikan mimpimu kepadanya! Kemudian perintahkan dia untuk mengumandangkan adzan dengan tata cara tersebut, karena suaranya lebih nyaring daripada suaramu" (HR. Abu Dawud no. 499; at-Tirmidzi no. 189; Ibnu Majah no. 778).
Abu Sa’id berkata kepada seseorang,
إِنِّي أَرَاكَ تُحِبُّ الغَنَمَ وَالبَادِيَةَ، فَإِذَا كُنْتَ فِي غَنَمِكَ، أَوْ بَادِيَتِكَ، فَأَذَّنْتَ بِالصَّلاَةِ فَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ، فَإِنَّهُ: لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ المُؤَذِّنِ، جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ، إِلَّا شَهِدَ لَهُ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Aku lihat kamu senang menggembala kambing sampai ke tempat yang jauh. Jika suatu ketika kamu menggembala kambing, maka kumandangkanlah adzan shalat dengan suara yang nyaring. Sebab, tidak ada satu makhluk pun dari kalangan jin, manusia dan lainnya yang mendengar suara muadzin kecuali ia akan menjadi saksi yang menguntungkan baginya di hari kiamat” (HR. al-Bukhari no. 609).
Kedua, Khutbah disampaikan dengan jelas, tegas dan suara keras agar mustami dapat mendengarkan dengan baik. Selain itu juga ini adalah Syiar Da'wah Islam untuk non muslim.
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, sesungguhnya beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلاَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّـى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ وَيَقُولُ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَـابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah, maka kedua matanya memerah, suaranya keras (meninggi), kemarahan beliau memuncak sehingga ia bagaikan seorang komandan pasukan yang berkata, ‘Musuh kalian akan datang pada waktu pagi dan sore,’ kemudian beliau berkata, ‘Amma ba’du: Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan dan setiap perbuatan bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim: 1435).
Ketiga, Takbiran Idul Fitri dan Idul Adha selain merupakan Dzikir yang dilakukan sebanyak-banyaknya juga Takbir menghidupkan malam hari raya Id merupakan Sunnah. Takbir Idul Fitri dimulai dari malam 1 Syawwal sampai dengan Sholat Idul Fitri.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan ALLAH atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185).
Cara Takbir (membaca ALLOHU AKBAR) Rosulullah Shollallahu alahi wa Sallam dalam suatu riwayat disebutkan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.” (Dikeluarkan dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 171, Al Albani).
Dari Ibnu Umar ra:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ إِذاَ غَداَ إِلىَ الْمُصَلَّى يَوْمَ اْلعِيْدِ كَبَّرَ فَرَفَعَ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيْرِ، وَفِيْ رِوَايَةٍ كاَنَ يَغْدُوْ إِلى الْمُصَلَّى يَوْمِ اْلفِطْرِ إِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى يَوْمَ اْلعَيْدِ ثُمَّ يُكَبِّرُ بِالْمُصَلَّى حَتَّى إِذَا جَلَسَ اْلإِمَامُ تَرَكَ التَّكْبِيْرَ. [رواه الشافعي في مسنده جـ 1 : 153، حديث رقم 444 و 445]
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia apabila pergi ke tanah lapang di pagi hari Id, beliau bertakbir dengan mengeraskan suara takbirnya. Dalam riwayat lain (dikatakan): Beliau apabila pergi ke tempat shalat pada pagi hari Idul Fitri ketika matahari terbit, beliau bertakbir hingga sampai ke tempat shalat pada hari Id, kemudian di tempat shalat itu beliau bertakbir pula, sehingga apabila imam telah duduk, beliau berhenti bertakbir. [HR. asy-Syafi‘i dalam al-Musnad, I:153, hadis no. 444 dan 445].
Takbir Idul Adha dimulai dari malam 10 Dzul Hijjah sampai dengan 13 Dzul Hijjah.
Firman Allah ‘azza wa jalla,
لِّيَشۡهَدُواْ مَنَٰفِعَ لَهُمۡ وَيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلۡأَنۡعَٰمِۖ
“Supaya mereka (jamaah haji) menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan berzikir membesarkan nama Allah pada hari-hari yang telah diketahui (ditentukan) atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa hewan-hewan ternak (penyembelihan hewan kurban).” (al-Hajj: 28).
Jelas bahwa Takbir Idul Adha dimulai semenjak malam Idul Adha 10 Dzul Hijjah sampai dengan akhir Hari Tasyriq yaitu Hari ke 13 Dzul Hijjah.
Firman Allah ‘azza wa jalla,
لِّيَشۡهَدُواْ مَنَٰفِعَ لَهُمۡ وَيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلۡأَنۡعَٰمِۖ
“Supaya mereka (jamaah haji) menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan berzikir membesarkan nama Allah pada hari-hari yang telah diketahui (ditentukan) atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa hewan-hewan ternak (penyembelihan hewan kurban)” (al-Hajj: 28).
Hadits Muhammad bin Abi Bakr ats-Tsaqafi
Ia bertanya kepada Anas radhiallahu anhu ketika bersama dengannya dari Mina ke Arafah, “Apa amalan kalian pada hari ini bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?” Anas radhiallahu anhu menjawab,
كَانَ يُلَبِّي الْمُلَبِّي فَلاَ يُنْكَرُ عَلَيْهِ، وَيُكَبِّرُ الْمُكَبِّرُ فَلاَ يُنْكَرُ عَلَيْهِ.
“Ada yang membaca talbiyah dan tidak diingkari. Ada pula yang bertakbir dan tidak diingkari” (Muttafaqun alaih).
Hadits ini menunjukkan disyariatkannya bertakbir pada hari-hari itu.
Atsar Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiallahu anhum
كَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِيْ أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا.
“Adalah Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiallahu anhum keluar ke pasar pada sepuluh hari awal Dzulhijjah dengan bertakbir, dan kaum muslimin ikut bertakbir bersama keduanya” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya, “Kitab al-’Idain”, “Bab Fadhlu al-‘Amal fi Ayyam at-Tasyriq” secara ta’liq/tanpa penyebutan sanad dengan shigat periwayatan yang tegas).
Firman Allah ‘azza wa jalla,
وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ فِيٓ أَيَّامٍ مَّعۡدُودَٰتٍۚ
“Dan hendaklah kalian berzikir (menyebut Allah) pada hari-hari berbilang.” (al-Baqarah: 203)
Hari-hari berbilang adalah hari-hari tasyriq.
Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلهِ.
“Hari-hari tasyriq adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berzikir kepada Allah.” (HR. Muslim no. 1141).
Adapun Anjuran menghidupkan malam Idul Fitri dan Idul Adha berdasarkan riwayat Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَتَىِ الْعِيدَيْنِ لِلَّهِ مُحْتَسِبًا لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ
“Siapa yang menghidupkan malam Idul Fitri dan Idul Adha karena mengharap pahala dari Allah, hatinya akan mati pada hari semua hati itu mati.” (HR. Ibnu Majah, no. 1782. Al-Hafizh Abu Thahir, Al-Bushiri, dan Al-‘Iraqi dalam takhrij Al-Ihya’ mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif).
Ketiga hal di atas baik cara Adzan, khutbah Jum'at maupun Takbir malam Idul Fitri dan Idul Adha merupakan Syari'at Islam. Syari'at Islam merupakan sesuatu ajaran yang inheren dalam Islam yang pelaksanaan nya dilindungi oleh konstitusi negara Indonesia.
Pelaksanaan Syari'at Islam tidak dapat dijadikan sebagai alasan akan mengganggu orang non muslim sebab pelaksanaannya lebih utama dibandingkan dengan perasaan atau alasan terganggunya non muslim dengan aktivitas Ibadah tersebut.
Ummat Islam khususnya di Indonesia yang secara demografis mayoritas Muslim sudah sangat toleran untuk membiarkan suara lonceng gereja atau bunyi gong dari tempat ibadah non muslim. Bahkan ummat Islam mempersilahkan mereka untuk menggunakan sarana parkir kendaraan pada saat peribadatan non muslim.
Pengaturan speaker silahkan dengan tidak menghalangi orang Islam untuk mendengarkan Adzan, Takbir dan khutbah Jum'at maupun Idul Fitri dan Idul Adha. Karena tujuannya bukan hanya untuk mereka yang berada di Masjid-Masjid tetapi juga untuk ummat Islam yang ada di rumah-rumah, perkantoran ataupun lapangan yang mungkin berjarak dari Masjid dan Lapangan tempat Ibadah Idul Fitri dan Idul Adha. Apalagi di sekeliling tempat ibadah tersebut mayoritas beragama Islam.
Melaksanakan ajaran Islam seperti ini yang sudah ribuan tahun dilakukan jangan disamakan dengan gonggongan anjing yang akan mengganggu ketenangan tetangga.
Justru gonggongan anjing itulah yang sering kali mengganggu Ibadah nya ummat Islam ketika di sekeliling Masjid ada non muslim yang memelihara anjing. Seringkali suaranya terdengar mengganggu Ibadah kami di Masjid.
Seharusnya anjing itulah diatur dengan benar jangan sampai mengganggu Muslim untuk melaksanakan Ibadah. ALLOHU A'LAM.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!