Sabtu, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 23 November 2019 22:17 wib
5.814 views
Bilakah Negara Tak Mampu Melindungi Agama Mayoritas Rakyatnya?
Oleh: Dini Azra
Beragama merupakan naluri yang telah ada dalam diri setiap manusia. Lahir dari perasaan membutuhkan sesuatu untuk diagungkan. Sebuah keyakinan yang akan dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan. Sekaligus menjadi tumpuan di saat jiwa mengalami kegundahan. Bagi setiap insan, agama merupakan hal yang sakral. Sangat agung dan tidak boleh dipermainkan. Siapapun pasti akan terusik, bila agama yang dianut ada yang melecehkan. Terlebih bagi umat Islam, agama merupakan sentral kehidupan. Tidak ada perkara yang bisa dilepas dari peran agama. Karena setiap perbuatan terikat dengan hukum syara'.
Namun meski agama dinilai tinggi dan suci, masih saja ada manusia pendengki dan bermulut keji. Mereka melakukan penistaan terhadap agama Islam, di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Baik penghinaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, para Ulamanya, simbol keagamaan, hingga syariatnya termasuk dalam hal ibadah. Seperti yang belakangan ramai diperbincangkan yaitu tentang pidato Sukmawati Soekarno Putri, puteri dari pahlawan sekaligus presiden pertama NKRI.
Tidak ada rakyat Indonesia yang menafikan peran Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan. Namun sungguh terlalu, putrinya justru membandingkan sang ayah dengan Rasulullah shalallahu alaihi wasalam. Nabi yang dicintai dan diikuti oleh umat Islam sedunia. Di saat dia berpidato di sebuah acara bertajuk "Bangkitkan Nasionalisme Bersama Kita Tangkal Radikalisme dan Berantas Terorisme", Senin, 11/11. Dalam pidatonya tersebut dia sempat bertanya, "Yang berjuang di abad 20 itu Nabi yang mulia Muhammad atau Insinyur Soekarno, untuk kemerdekaan negeri ini?"
Pernyataannya itu disaksikan oleh masyarakat luas lewat video yang tersebar di media. Umat Islam pun bereaksi, berbagai kritik dan kecaman dilayangkan. Berbagai elemen masyarakat dan kelompok Islam mengecam, berniat membawa kasus ini ke meja pengadilan. Sebab ini bukan kali pertama Bu Sukma mencela agama. Dulu pun dia pernah membandingkan antara suara adzan dengan kidung. Antara cadar dan konde. Dan sekarang sosok Nabi yang merupakan manusia sempurna, yang dijamin maksum bersih dari segala dosa, dibandingkan dengan bapaknya dalam peran kemerdekaan. Sungguh tidak logis apalagi etis. Rasulullah shalallahu alaihi wasalam tidak hidup di abad dua puluhan. Juga bukan bagian dari penduduk bumi nusantara. Tapi agama yang beliau bawa telah dianut sebagian besar rakyat Indonesia. Dan menjadikan spirit perjuangan beliau sebagai teladan, dalam berjuang merebut kemerdekaan.
Menyikapi pelaporan atas dirinya, Bu Sukma enggan meminta maaf. Dia tidak merasa bersalah, justru dirinya adalah korban dari tangan-tangan jahil yang mengedit videonya. Yang menurutnya sudah tidak sesuai dengan yang dimaksudkannya. "Saya tidak membandingkan, dan tidak ada kata jasa," ucap Sukmawati, kepada CNNIndonesia.com lewat sambungan telepon pada Sabtu (16/11).
Bukan hanya kasus Sukmawati, penghinaan terhadap Islam dan Nabi juga terjadi di Garut. Seorang pria berinisial IG ditangkap oleh Direktorat tindak pidana cyber Bareskrim Polri. Dia diduga telah mengembangkan game online produksi Developer Paragisoft, bernama Remi Indonesia. Yang di dalamnya terdapat menu tidak pantas, menghina Islam dan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasalam.
Seorang youtuber ternama Atta Halilintar, juga diduga telah melecehkan gerakan shalat. Dalam videonya, Atta bersama adik-adiknya terlihat sedang shalat berjamaah. Namun ada gerakan dimana mereka saling menginjak kaki satu sama lain. Sehingga terkesan mempermainkan gerakan shalat, ibadah wajib umat Islam tersebut. Diapun dilaporkan oleh Ustadz Ruhimat, namun belum ada panggilan dari kepolisian. Terkait pelaporan tersebut.
Kasus penistaan agama terus saja berulang. Melukai hati umat Islam semakin dalam. Karena proses hukum terhadap pelakunya sangatlah lamban. Meski pemerintah sudah membuat Undang-undang penodaan agama. Namun tidak tampak hasil kerjanya, penghina agama sudah dimaafkan sebelum memasuki proses peradilan. Dengan tanda tangan diatas materai, kadang diiringi airmata yang berderai. Kalaupun pernah ada yang dipenjara, itu berlaku di jaman pemerintah sebelumnya. Sedang yang sekarang, umat harus berjuang dulu untuk menuntut hukuman bagi pelaku.
Sangat berbeda dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang sudah sering menjerat mangsa. Beberapa kasus terkadang tak masuk akal, tapi tetap saja dilanjutkan. Misalnya yang menimpa Jonru Ginting, dituduh menghina presiden Jokowi. Meski di pengadilan diputuskan tidak bersalah. Tapi hukuman penjara tetap dijatuhkan. Ahmad Dhani hanya karena mengucapkan kata "idiot" kepada massa yang mempersekusinya, juga harus dipenjara.Ustadz Alfian Tanjung, Gus Nur, Ustadz Heru Ilyasa dan lainnnya. Tapi UU ITE tidak berlaku bagi para buzzer pendukung penguasa.
Partai Keadilan Sejahtera mengusulkan dibuatnya RUU Perlindungan agama dan ulama. Untuk memperluas cakupan UU penodaan agama, dan menutupi celah kekosongan hukum yang ada. Namun usulan tersebut belum tentu diterima atau malah menimbulkan pro kontra. Seandainya RUU tersebut disetujui apakah benar bisa menjadi solusi, sehingga agama-agama yang ada terlindungi dari ulah para pencela? Apakah bisa memberikan ketegasan hukum yang membuat mereka jera?
Banyaknya kasus penistaan agama membuktikan bahwa negara telah gagal melindungi agama. Sebabnya sistem sekuler tidak menempatkan agama pada tempatnya. Syariat Islam tidak dijadikan sebagai sumber aturan dan hukum. Agama hanya dijadikan sebagai salah satu sumber nilai dan norma belaka. Sebagai alternatif rujukan dalam membuat regulasi-regulasi dan bukan menjadi orientasi. Karenanya agama menjadi patut untuk dipertanyakan, diragukan, bahkan dinistakan. Orang yang menghina agama secara sadar ataupun tidak, bisa jadi karena ketidak tahuan. Atau karena kedengkian terhadap Islam. Bahkan ada juga yang menjadikannya sarana meraup keuntungan materiil. Misalnya sebagai materi lawakan, hiburan, demi menarik follower di media sosial.
Selama negara masih mengabaikan syariat Islam, bukan dijadikan sebagai sumber hukum yang diberlakukan. Selama itu pula akan terjadi penistaan terhadap agama. Mungkin karena konsekuensi agama tidak dirasakan sekarang. Pahala dan dosa, surga dan neraka tidak diperlihatkan didepan mata. Bagi orang beriman hal itu menjadi harga setiap amal perbuatan, yang kelak akan diterima. Sedang yang yang kurang imannya masih meragukan, dan menjadikan dunia sebagai tolak ukur setiap perbuatan.
Maka untuk menghentikan kasus penistaan agama, baik agama Islam maupun agama lainnya, negara harus mengembalikan posisi agama pada tempatnya. Yaitu memfungsikan syariat Islam sebagai sumber hukum dalam mengatur urusan umat. Juga menjadikannya orientasi dalam membangun negara. Di dalam Al qur'an Allah subhanahu wa ta'ala telah memperingatkan dalam firman-Nya :
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan ... " (QS. Al-An'am :108)
Artinya bahwa kita tidak boleh mencela keyakinan dan sembahan agama-agama lain. Meskipun kita yakin bahwa agama yang diridhai Allah hanyalah Islam. Tetapi tetap saja, kita tidak boleh berlaku sombong dan bersikap angkuh terhadap pemeluk agama lain. Karena yang sempurna itu adalah dien-Nya. Sedangkan kita sebagai manusia bisa saja benar, bisa juga salah. Dan Allah ta'ala tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri. Wallahu a'lam bish shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!