Sabtu, 12 Jumadil Awwal 1446 H / 23 November 2019 16:40 wib
4.209 views
Strategi Kedaulatan Pangan
Oleh:
H Ade Salamun, MSi
Bendahara Umum PB STII/Serikat Tani Islam Indonesia
INSYA ALLAH, Serikat Tani Islam Indonesia (STII) kembali menggelar Muktamar pada Sabtu-Ahad, 23-24 November 2019, di Pesantren Darul Fallah, Bogor, Jawa Barat.
Muktamar V ini mengusung tema gagah yakni “Kedaulatan Pangan Menuju Petani Sejahtera”. Selain termasuk top prioritas dalam konteks nasional, tema tersebut juga dimaksudkan untuk turut menjawab seruan Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar ormas Islam mendukung Gerakan Nasional Kedaulatan Pangan (GNKP) yang telah dicanangkan Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin bersama Pusat Inkubasi Bisnis Syariah MUI pada 21 September 2019.
Pertanian, kata mendiang Menteri Keuangan India Arun Jaitley, “amat sensitif secara politik, amat penting secara ekonomi, namun amat lemah secara sosial”.
Setidaknya ada enam alasan mengapa sektor pertanian menjadi strategis. Pertama, pertanian merupakan sektor yang menyediakan hajat hidup manusia secara universal. Kedua, merupakan penyedia bahan baku bagi sektor industri (agroindustri). Ketiga, memberikan kontribusi bagi devisa negara melalui komoditas ekspor. Keempat, menyediakan kesempatan kerja bagi tenaga kerja pedesaan. Kelima, untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem dan memperbarui lingkungan.
Dan keenam, dengan berbagai nilai strategisnya itu, menjadikan pertanian dapat menjadi alat politik yang efektif dalam tata dunia.
Di masa lalu, Pulau Jawa disebut Javadwipa atau Pulau Beras. Menurut catatan Jonathan Rigg, ahli gografi dari University of Durham, Inggris, Jawa pada abad X telah menjadi eksportir beras dalam jumlah besar ke berbagai negara. Pada abad XV dilaporkan bahwa Ma Huan, sekretaris Laksamana Ceng Ho dari Dinasti Ming, China, menulis dengan takjub bahwa di Jawa “orang masak (panen) beras dua kali setahun”. Ini anugerah pertanian yang bukan main, mengingat di negerinya padi baru bisa dituai paling banyak sekali dalam setahun.
Pada masa itu, Jawa lewat Pelabuhan Jepara dikabarkan mampu mengapalkan ratusan ton beras ke negara-negara Asia Tenggara. Sebelum akhirnya ekspor ini terganggu oleh kedatangan Portugis dan Belanda yang datang ke Indonesia (Khudori, Ironi Negeri Beras, INSIST Press, Jogja, 2008, hal 6).
Pasca jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511, Demak Bintoro yang ekonominya bertumpu pada perdagangan internasional, melemah. Portugis menetapkan pajak sangat tinggi untuk setiap barang yang melewati bandar Malaka, sehingga produk Demak tak lagi kompetitif di dunia internasional. Termasuk komoditas beras.
Windfuhr dan Jansen (2005) menyatakan ”food sovereignty is essentially a political concept’’. Kedaulatan pangan esensinya adalah konsep politik. Dalam hal ini, Mahbub ul Haq (Tirai Kemiskinan, Obor, 1995) menyebut tujuh dosa (politik) perencanaan pembangunan yang sering terjadi di negara-negara berkembang, yaitu permainan angka, pengendalian yang berlebihan, investasi yang menggiurkan, pendekatan yang dianggap benar, perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah, sumber daya manusia yang terabaikan, serta pertumbuhan tanpa keadilan.
Intensifikasi Pertanian
Merujuk kitab-kitab pertanian Islam, setiap warga pemilik tanah harus mengelola tanahnya secara optimal. Tentu dengan dukungan Negara (Baitul Mal). Sebaliknya, warga yang menelantarkan lahannya hingga tiga tahun, Negara akan mengambil paksa tanah itu dan dikaryakan bagi warga lain. Inilah land reform yang diajarkan Nabi SAW.
Kata Khalifah Umar bin Khaththab ra, “Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarinya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun.”
Dalam Kitab al-Amwâl, Abu Ubaid meriwayatkan dari Bilal bin Harits al-Muzni, yang menuturkan bahwa Rasulullah Saw memberi Bilal selembah lahan. Namun ternyata Bilal tak sanggup menggarapnya semua sehingga ditegur Khalifah Umar. ‘’Rasulullah SAW tidak memberikan (lembah) itu kepadamu untuk kamu pagari agar orang-orang tidak bisa mengambil hasilnya. Tapi, beliau memberikannya kepadamu agar kamu garap. Karena itu, ambillah bagian tanah yang sanggup kamu kelola, dan kembalikan yang tidak bisa kamu kelola.”
Intensifikasi pertanian juga mengarah pada indutrialisasi. Dalam hal ini, dunia sungguh berutang pada para pakar pertanian muslim. Pada abad 10 M, Abu Bakr Ahmed ibn ‘Ali ibn Qays al-Wahsyiyah (sekitar 904 M) menulis Kitab al-falaha al-nabatiya. Kitab ini mengandung 8 juz yang kelak merevolusi pertanian di dunia, antara lain tentang teknik mencari sumber air, menggalinya, menaikkannya ke atas hingga meningkatkan kualitasnya. Di Barat, teknik ibn al-Wahsyiyah ini disebut Nabatean Agriculture.
Di Andalusia, pada abad ke-12, Ibn Al-‘Awwam al Ishbili menulis Kitab al-Filaha yang merupakan sintesa semua ilmu pertanian hingga zamannya, termasuk 585 kultur mikrobiologi, 55 di antaranya tentang pohon buah. Buku ini sangat berpengaruh di Eropa hingga abad-19.
Pada awal abad ke-13, Abu al-Abbas al-Nabati dari Andalusia mengembangkan metode ilmiah untuk botani, mengantar metode eksperimental dalam menguji, mendeskripsikan, dan mengidentifikasi berbagai materi hidup dan memisahkan laporan observasi yang tidak bisa diverifikasi.
Muridnya Ibnu al-Baitar (wafat 1248) mempublikasikan Kitab al-Jami fi al-Adwiya al-Mufrada, yang merupakan kompilasi botani terbesar selama berabad-abad. Kitab itu memuat sedikitnya 1400 tanaman yang berbeda, makanan, dan obat, yang 300 di antaranya penemuannya sendiri. Ibnu al-Baitar juga meneliti anatomi hewan dan merupakan bapak ilmu kedokteran hewan, sampai-sampai istilah Arab untuk ilmu ini menggunakan namanya.
Namun, pilihan atas teknologi serta sarana produksi pertanian yang digunakan harus berdasarkan iptek yang dikuasai, bukan atas kepentingan industri pertanian asing. Dengan begitu, ketergantungan pada, serta intervensi oleh, pihak asing dalam pengelolaan pertanian negara dapat dihindarkan.
Sebaliknya, Khalifah Umar bin Khaththab memberikan dana Negara kepada para petani di Irak untuk meningkatkan produktivitas tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka.
Menghidupkan Lahan Tidur
Adapun ekstensifikasi pertanian dapat dicapai dengan: Pertama, mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah mati. Lahan baru dapat berasal dari lahan hutan, lahan lebak, lahan pasang-surut, lahan telantar, dan sebagainya sesuai dengan pengaturan negara.
Ajaran ini sangat relevan diterapkan di Indonesia. Bayangkan, konon saat ini ada sekitar 300.000 hektar lahan kering terbengkelai di Pulau Jawa. Di Indonesia jumlah lahan kering adalah sebesar 11 juta hektar, yang sebagian besarnya berupa lahan tidur. Jenis lahan lain yang masih potensial adalah pemanfaan lahan lebak dan pasang-surut, termasuk di kawasan pasang surut. Luas lahan pasang-surut dan lebak di Indonesia diperkirakan mencapai 20.19 juta hektar dan sekitar 9.5 juta hektar berpotensi untuk pertanian.
Proteksi
Negara harus melindungi air sebagai milik umum dan sebagai input produksi pertanian. Karena itu, air berikut sarana irigasinya tidak boleh diswastanisasi.
Islam melarang pemblokiran air untuk dimonopoli sehingga mengganggu aktivitas pertanian dan kehidupan rakyat lainnya (Shahih Bukhari dan Muslim).
Demi melindungi petani gurem dan usaha kecil lainnya, Rasulullah SAW memproteksi daerah Naqi sebagai kawasan pertanian dan peternakan kecil. Sedangkan Umar memutuskan kawasan Saraf dan Rabdzah khusus bagi lahan petani dan pakan peternak miskin (Shahih Bukhari).
Distribusi dan tata niaga pun lengkap hingga mustahil pengijon atau kreditor mencegah petani menembus pasar agar meraih harga lebih baik (Shahih Muslim).
Negara bersama warga masyarakat juga sekuat tenaga meminimalkan ancaman terhadap pertanian berupa bencana seperti banjir, longosr, kekeringan, dan serangan hama serta alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!