Jum'at, 14 Jumadil Akhir 1446 H / 9 Agutus 2019 14:46 wib
4.317 views
Narasi Sesat Radikalisme
Oleh: Aishaa Rahma (Pegiat di Sekolah Bunda Sholihah, Malang)
Isu perguruan tinggi terpapar paham radikal bukanlah baru sekarang saja, terutama sejak gerakan radikalisasi berkembang masif di ruang kampus.
Dalam hal ini, upaya Kemenristekdikti yang memasuki ruang steril kampus, nampak jelas menginjeksi pengaruh kekuasaan, dan memaksakan tafsir akademik versi penguasa kepada insan civitas akademika, padahal negara ini di didesain dengan komitmen negara hukum, bukan negara kekuasaan.
Jelas tidak boleh dikelola dengan logika sekehendak hati, tanpa mengindahkan asas dan prosedur hukum yang benar.
Diberitakan melalui Republika.co.id Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) akan mendata nomor telepon dan media sosial dosen, pegawai, dan mahasiswa pada awal tahun kalender akademik 2019/2020. Hal ini dilakukan untuk menjaga perguruan tinggi dari radikalisme dan intoleransi.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan Kemenristekdikti tidak akan memantau media sosial satu per satu setiap hari. Namun, ia ingin melakukan pendataan sehingga apabila nantinya terjadi masalah bisa dilacak melalui media sosial atau nomor teleponnya. Ia menjelaskan, apabila di kampus tidak terjadi masalah apapun terkait radikalisme atau intoleransi maka tidak akan dilakukan pelacakan. Sebaliknya, apabila terjadi masalah terkait radikalisme atau intoleransi di kampus maka data medsos dan nomor telepon tadi akan dilakukan pelacakan.
Nasir menegaskan, hal yang diawasi oleh Kemenristekdikti hanyalah terkait radikalisme dan intoleransi. Terkait aktivitas mahasiswa dalam mengekespresikan diri di media sosial, tidak akan diatur lebih jauh oleh pihaknya. (Jumat 26/7)
Melansir dari tirto.id - Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir justru mempersilakan para mahasiswa dan civitas akademika yang ingin melakukan kajian mengenai paham Marxisme di lingkungan kampus. Selain paham Marxisme, dirinya pun mempersilakan apabila mahasiswa ingin melakukan kajian terkait Lesbian, Gay, Transgender, dan Biseksual (LGBT). Akan tetapi, kata dia, mengkajinya dari segi positif, seperti mengenai dampak kesehatan yang diterima ketika seseorang melakukan hubungan sesama jenis.
Kemudian, Nasir juga tidak memperbolehkan untuk menyebarkan pengaruh LGBT di tingkat Perguruan Tinggi. Bahkan, ia juga tak masalah jika mahasiswa dan civitas melakukan kajian terkait paham radikalisme dan intoleransi. Namun yang tidak boleh, kata dia, menyebarkan paham tersebut di dalam kampus. Lebih lanjut, dirinya pun mempersilakan kepada civitas akademika untuk menyalurkan ekspresinya di kampus. Tetapi kata dia, meskipun diberikan kebebasan, namun harus ada batasannya. (Jumat 26/7/2019)
Kabar terbaru yang dilansir oleh CNN Indonesia - Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti ) Mohamad Nasir tidak termasuk paham marxisme dan khilafah membahas di lingkungan kampus. Kajian dapat dilakukan jika disetujui untuk mendapat wawasan dan di bawah bimbingan dosen. "Mengkaji ilmu pengetahuan di kampus tolong, yang tidak boleh memilih itu sebagai ideologi, karena negara telah menyetujui NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan Pancasila," kata Nasir mengutip Antara , Rabu (31/7).
Paham marxisme dan khilafah dapat dikaji dengan cara mengomparasi. Sebagai contoh, lanjut Nasir, kompilasi pembicaraan Pancasila sebagai ideologi Indonesia, dapat pula membahas ideologi negara lain yang menganut paham Marxisme dan Khilafah. Kajiannya bisa menjadi alasan paham ini dianut negara. Dapat pula membahas topik ideologi yang diterapkan di negara tertentu.
Kajian tentang paham marxisme dan khilafah pun hanya bisa dilakukan antara mahasiswa dan dosen. Tidak boleh membahasnya di luar kampus. Nasir kemudian meminta para rektor perguruan tinggi dan direktur politeknik untuk mendata nomor kontak dan media sosial dosen dan pegawai kampus serta mahasiswa. Itu berlaku di seluruh Indonesia untuk perpindahan paham radikalisme. "Kalau mereka terpapar radikalisme katakan tergabung HTI (Hizbut-Tahrir), maka nanti kita akan periksa apakah benar, melalui profiling, jika datanya sudah ada maka profiling-nya akan lebih cepat. Kalau sudah terbukti, maka kita perlu edukasi kita, harus kembali ke NKRI, "tuturnya.
Tak habis pikir, mengapa yang diobok-obok seputar isu radikalisme sebagai alat menutupi kebobrokan yang sesungguhnya? Dilihat dari target dan modus operasi penguasa, sulit untuk dipungkiri bahwa yang dimaksud radikal itu adalah Islam. maka deradikalisasi yang dimaksud sebenarnya adalah de- Islamisasi. Menjadi pertanyaan bahwa, Mengapa seolah penerapan syariat ditakutkan. naiknya minat umat muslim untuk mengkaji agamanya justru menjadi momok dan ancaman? Atau jangan-jangan penguasa sadar bila mereka sendiri yang sebenarnya tak Islami?
HTI Korban Rezim
Hancurnya sistem demokrasi ditandai dengan sinetron yang memuakkan oleh para politisi. Pasalnya, berbagai kampanye anti syariat seperti miras, eljibiti, feminisme dsb, justru dianggap wajar dan bukan perkara yang turut andil dalam menghancurkan moral anak bangsa. Di sisi lain, bukan hanya pemain bola yang naturalisasi, rektor pun bakal mengalami hal yang serupa. setelah sebelumnya berbagai teknologi dan buruh yang serba impor.]
Dalam hal ini nampaknya tidak ada suara sumbang para birokrat yang meneriakkan kedaulatan NKRI harga mati. Masih menjadi tanda tanya, sebab bisa jadi, "harga" ditentukan pada kebutuhan tuan yang berkepentingan.
Sejak tahun 2017 hingga saat ini rezim senantiasa membangun narasi bahwa khilafah merupakan objek monsterisasi yang ditujukan terhadap organisasi dakwah Islam HTI dan ajaran Islam. Oleh karena itu wajar apabila ditengah masyarakat muncul opini atau pendapat yang menyatakan bahwa rezim saat ini adalah rezim anti Islam, dan memang tidak lepas dari persoalan politik.
Semenjak itu pula, berbagai stigma ditabuh rezim, dari tudingan ormas yang memecah belah, mengusung ideologi khilafah yang bertentangan dengan Pancasila, anti NKRI, sampai akhirnya pada tanggal 18 Juli 2017 rezim melalui Kemenkumham secara sepihak mencabut status BHP HTI. Hingga saat ini, pasca BHP HTI dicabut, narasi jahat yang menuding khilafah sebagai ideologi pemecah belah terus disuarakan sebagai narasi jahat untuk memisahkan umat Islam dari ajaran Islam yakni khilafah.
Apabila mempelajari dan menyampaikan Khilafah tidak diperbolehkan dengan tuduhan sebagai paham radikal. Pertanyaannya mengapa baik sekolah dan perguruan tinggi dipelajari mengenai faham ideologi yang berasal dari barat atau Eropa dan Amerika Serikat misalnya republik, negara kesatuan (serikat), kerajaan, monarchi, sistem parlementer dan presidensiil, demokrasi, feminisme, kesetaraan gender dan masih banyak lagi. Bahkan faham atau ajaran Yunani dan Romawi diperbolehkan dipelajari hingga saat ini diantaranya Plato, Socrates, Aristoteles, Thales dll. Sementara pada ajaran Islam diantaranya seperti sistem pemerintahan Islam (Khilafah), Syari'ah, Hijab, Jihad dituduh sebagai ajaran atau faham radikal?
Bukankah setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya telah dijamin konstitusi sebagimana Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam hal ini Khilafah merupakan bagian dari ajaran Islam, dalam pemahaman dan keyakinan agama Islam Khilafah hukumnya Wajib (Fardu). Mengemban, mengajarkan dan menyebarluaskan kewajiban Ajaran Islam Khilafah merupakan bagian dari Ibadat menurut agama Islam.
Islam adalah agama resmi yang diakui oleh negara. Membuat atau memberikan Tafsir Ajaran Agama Islam yakni Khilafah yang ditafsirkan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, sama saja telah menodai Agama Islam dan melanggar ketentuan pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965, Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Menyoal Ideologi yang dituduhkan oleh rezim adalah Khilafah, dalam hal ini perlu diluruskan, bahwa Khilafah bukanlah ideologi, melainkan bagian dari ajaran Islam. Lebih tepat yang disebut ideologi adalah Islam, sebab Islam bukan sekedar agama melainkan pandangan hidup yang memiliki aturan yang lengkap, termasuk Khilafah. Khilafah merupakan sebuah istilah untuk menggambarkan sistem kepemimpinan umat Islam untuk menegakkan syariat Islam dan mengemban dakwah ke segenap penjuru dunia.
Unsur Khilafah ada 3 (tiga) yaitu ukhuwah, syari'ah dan dakwah. Maksudnya, Khilafah perlu tegak untuk mewujudkan persaudaraan dan penerapan syari'ah serta melaksanakan dakwah. Sebagai pencerahan bahwa Khilafah bukanlah ideologi, melainkan bagian dari ajaran Islam. Hal ini perlu disampaikan agar tidak salah dalam mengambil kebijakan, serta gegabah memberi penilaian terhadap segala sesuatu yang "berbau Islam" sehingga menjadi politik Islamo Phobia.
Juga harus diketahui, mengkaji Islam, mengamalkan dan mendakwahkannya justru merupakan kewajiban atas setiap muslim. Termasuk mengkaji dan mendakwahkan soal khilafah. Lalu bagaimana mungkin sesuatu yang wajib dipelajari dan diamalkan malah dilarang oleh rezim kekinian? Sedangkan paham yang bertentangan dengan Islam, seperti Maxisme dan Komunisme justru bebas dipelajari . Sungguh tak habis pikir, wahm (salah paham) seperti ini bisa muncul pada diri seseorang yang mengaku muslim.
Sebagai pengingat, bahwa hukum yang berlaku di negara kita tidak lepas dari pengaruh luar, misalnya terdapat pengaruh dari hukum Belanda, Perancis dan Romawi. Jika ingin konsisten, tentu saja harus ditolak. Apalagi hingga mengeluarkan pernyataan membolehkan Marxisme Komunis untuk dikaji, tetapi secara diskriminatif mempersoalkan ajaran Islam tentang sistem pemerintahan Islam, diantaranya yaitu Khilafah. Padahal sebagaimana diketahui Marxisme-Komunisme-Leninisme bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia.
Bahkan penyebarannya dilarang di Indonesia bersamaan dengan pembubaran dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang tertuang dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) Nomor XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menjabarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang Kemudian diperkuat dengan TAP MPR Nomor V/MPRS/1973.
Disebutkan pula didalam UU Nomor 27 tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan keamanan negara, pada pasal 107, upaya dengan lisan, tulisan maupun media apa pun menyebarkan atau mengembangkan ajaran Marxisme, Komunisme, Leninisme dalam segala bentuk dan wujudnya dipidana dengan pidana paling lama 20 tahun penjara.
Oleh sebab itu, pernyataan radikalisme dan intoleransi yang subur di lingkungan civitas akademika harus dihentikan, tidak perlu mensurvey hal yang jauh dari merongrong NKRI, dan tidak perlu mempoles ajaran Islam sebagai bibit radikalisme.
Masih banyak kebobrokan di negeri ini yang patut dan layak menjadi perhatian penguasa, seperti maraknya kasus korupsi yang tak kunjung beres, kasus narkoba, import tak berkesudahan, utang menggunung, degradasi moral anak bangsa, hal tersebut harusnya lebih mendapat sorotan dan solusi sekaligus menjadi PR berat bagi para pengelola negeri ini, alih alih menggodok isu radikalisme.
Toh selama ini kita diperbolehkan mempelajari sistem dari barat semisal demokrasi, presidensil, parlementer dll, bahkan negara pun menerapkan aturan dari penjajah Belanda seperti KUHP, KUHPerdata dll.
Oleh sebab itu sepatutnya pemerintah memberikan kesempatan yang lebar kepada siapapun untuk mempelajari sistem pemerintahan Islam. Wallahu a'lam bishawab.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!