Ahad, 15 Jumadil Akhir 1446 H / 14 Juli 2019 23:41 wib
3.868 views
Usia Menikah WNI, Haruskah Dibatasi?
Oleh: Ragil Rahayu, SE
Jika ada sepasang remaja usia lima belas tahun menikah, apa yang terlintas dalam benak kita? Pernikahan dini? Perkawinan anak? Hamil duluan? Ya, bagi generasi milenial, menikah di usia belia berkonotasi negatif. Seringkali pelaku perempuannya sudah hamil duluan. Belum lagi beberapa kasus yang menunjukkan pasangan suami istri (pasutri) belia ternyata membebani orangtua secara ekonomi dan pengasuhan anak. Lengkap sudah citra buruk pernikahan remaja.
Aturan negara mencegah perkawinan di usia remaja dan menyebutnya perkawinan anak. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia menikah laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan berusia 16 tahun. Aturan ini akan segera direvisi berdasarkan amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan batas pernikahan anak perempuan 16 tahun adalah inkonstitusional sehingga harus disamakan dengan laki-laki yakni 19 tahun.
Pernikahan di bawah batas usia yang dibolehkan Undang-undang, disebut perkawinan anak. Hal ini sesuai dengan definisi anak menurut Undang-undang No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu anak adalah orang yang berumur di bawah delapan belas tahun.
Perkawinan anak ditentang oleh pegiat jender karena dipandang sebagai kekerasan terhadap anak. Anak dianggap belum siap menikah baik secara mental, finansial maupun kesehatan. Pernikahan anak juga dianggap bertentangan dengan program menahan laju pertumbuhan jumlah penduduk. Caranya dengan meningkatkan batas usia perkawinan. Hal ini mengikuti Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women, CEDAW) yang diratifikasi Indonesia. Namun, benarkah masalahnya adalah usia menikah?
Salah Paham Definisi Anak
Pendefinisian anak hanya berdasar usia tidaklah memiliki dasar faktual. Di masa kini, banyak pelaku kejahatan sadis yang berusia dibawah 18 tahun. Padahal kejahatan itu tak mungkin dilakukan oleh anak-anak. Salah definisi anak akan mengakibatkan salah menilai perkawinan anak.
Hal ini berbeda dengan Islam yang mendefinisikan anak sebagai orang yang belum baligh. Baligh adalah fase alami yang dirasakan semua orang. Ketika baligh terjadi perubahan pada manusia baik secara fisik, psikis maupun taklif hukum syariat. Secara fisik, perempuan yang baligh ditandai dengan haid, sedangkan laki-laki mengalami mimpi basah (ihtilam). Keduanya juga mengalami perubahan fisik lainnya.
Secara psikis, manusia baligh sudah memiliki perasaan suka pada lawan jenis, muncul rasa tanggungjawab, kemandirian, dan lain-lain. Taklif hukum syara' dibebankan mulai masa baligh, hal ini berdasarkan hadis yang menjelaskan bahwa diangkat pena dari tiga pihak, salah satunya adalah anak-anak hingga baligh. Orang yang sudah baligh artinya sudah dewasa, sudah siap bertanggungjawab terhadap amalnya. Inilah definisi yang benar tentang anak, karena sesuai dengan realita tumbuh kembang manusia.
Pendidikan Islam dirancang berdasarkan fase perkembangan manusia yakni pra baligh dan baligh. Baik itu pendidikan aqidah, fiqih, bahasa, sains maupun lifeskill. Lifeskill ini disesuaikan dengan jenis kelamin. Perempuan disiapkan untuk menjadi ibu dan pengatur rumah tangga sehingga semua lifeskill yang dibutuhkan dia pelajari. Bukan hanya ilmu memasak dan menjahit. Tapi juga kesehatan, pengasuhan, reproduksi, keuangan, gizi, dan lain-lain. Laki-laki disiapkan menjadi pemimpin rumah tangga sehingga dia harus punya minimal satu keahlian khusus yang bisa menjadi sumber matapencaharian. Sehingga ketika baligh, seorang muslim telah siap menikah dan membangun keluarga Islami yang akan mencetak generasi berkualitas.
Jika pendidikan anak dilaksanakan sebagaimana yang telah ditetapkan Islam, tak perlu khawatir ada pernikahan dini. Karena begitu baligh, seorang muslim telah siap mengarungi hidup dengan segala dinamikanya. Maka kata kuncinya adalah kesiapan menikah, bukan usia menikah. Realita di sistem sekular seperti saat ini, anak tidak mendapatkan pendidikan yang menyiapkannya menjadi calon ibu dan ayah. Pendidikan hanya fokus pada kemampuan menjawab pertanyaan di lembar soal ujian.
Di sisi lain, kehidupan sekular sangatlah bebas. Sehingga rangsangan terhadap naluri seksual begitu tinggi. Ini mendorong anak lebih cepat baligh secara fisik, namun psikis dan ketaatannya pada syariat belum terbentuk. Jadilah anak-anak yang sudah baligh namun belum aqil. Badannya manusia dewasa, tapi jiwanya anak-anak. Anak-anak sejak Sekolah Dasar (SD) sudah pacaran, lalu berzina hingga berujung kehamilan yang diselesaikan dengan menikah. Sementara kesiapan berumahtangga belum ada. Jadilah syariat Islam yakni menikah dijadikan kambing hitam. Seolah yang salah adalah usia menikahnya, padahal masalahnya adalah ketidaksiapan. Maka tak ada istilah nikah dini atau perkawinan anak dalam Islam, begitu baligh seseorang sudah dianggap dewasa dan layak menikah.
Kebangkitan Islam
Perkawinan anak merupakan isu yang dihembuskan barat untuk mencegah kebangkitan Islam. Saat ini umat Islam memiliki dua kekuatan untuk bangkit yakni kebenaran ajarannya dan umatnya yang banyak. Hal ini membahayakan eksistensi peradaban barat. Apalagi penduduk di barat makin menua, ditandai dengan kecilnya angka pertumbuhan penduduk. Beberapa bangsa bahkan diprediksi akan punah dalam sekian tahun kedepan.
Pencegahan perkawinan anak pun dikampanyekan di dunia Islam, agar umat muslim tak lagi memiliki keunggulan demografi. Selain itu umat juga dijauhkan dari ajaran Islam yang sahih. Dalam kehidupan sekular seperti saat ini, menjadi tugas orangtua untuk menyiapkan anaknya menyambut baligh. Sambil terus memperjuangkan Islam agar terterapkan secara kaffah sehingga besarnya jumlah umat Islam seiring dengan kualitasnya. Agar generasi muslim terjaga dari hal-hal yang akan membangkitkan syahwatnya sebelum pernikahan. Wallahu a'lam bishowab. (rf/voa-islam.com)
*)Pengasuh MT al Bayyinah di Sidoarjo
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!