Senin, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 8 Juli 2019 02:53 wib
5.669 views
Dibalik Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Islam
Oleh:
Annisa Rahma S
Mahasiswa Fisip Ilmu Hubungan Internasional Unpas Bandung
BANK Dunia menyetujui pinjaman senilai Rp3,7 triliun, untuk mendukung program peningkatan mutu madrasah dasar dan menengah di Indonesia. Berdasarkan catatan Bank Dunia, sekitar 8 juta anak atau 15% dari total siswa sekolah dasar dan menengah di Indonesia mengenyam pendidikan di sekolah agama di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Dalam praktiknya, sekolah-sekolah tersebut mengikuti kurikukum nasional dan banyak diikuti anak-anak dari kelurga termiskin di daerah pedesaan.
Pendidikan Islam di Indonesia saat ini dinilai sebagai lembaga pendidikan yang paling modern di dunia. Melalui pendidikan Islam inilah karakter keberagaman masyarakat Indonesia yang toleran dan moderat dibentuk. Namun, akhir-akhir ini pendidikan Islam Indonesia tengah menghadapi tantangan pemahaman keagamaan yang datang dari luar, khususnya pemahaman yang radikal dan ekstrem. Prof. Kamaruddin mengatakan, radikalisme dan ekstemisme sejatinya adalah konsekuensi dari adanya globalisasi dan perkembangan teknologi informasi, namun permasalahannya itu direspon oleh pemerintah Indonesia. Untuk mengatasinya, menurut dia, Kementrian Agama tengah gencar mempromosikan moderasi beragama yang merupakan konter terhadap narasi radikalisme dan ekstremisme tersebut.
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Maksum Machfoedz menanggapi soal penggunaan Dana Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) untuk peningkatan mutu madrasah. Dia mengaku secara umum tidak mempermasalahkan ihwal peminjaman dana dari Bank Dunia itu. Namun, lanjut Maksum, yang menjadi fokus adalah sejauh mana efektivitas penggunaan dana tersebut.
Fakta-fakta tersebut kembali menarik perhatian, seperti yang yang dibahas pada tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Pengaruh Neo-Liberalisme Terhadap Kebijakan Pemerintah”, bahwa lagi-lagi pemahanan Neolib ini mempengaruhi arus kendali kebijakan yang diambil di Indonesia, terkhusus dalam bidang pendidikan yang kini justru menjadi hidangan lezat dibalik proyek peminjaman uang kepada Bank Dunia. Jika kita melihat dari satu sudut pandang saja, bahwa tindakan PHLN ini bagaikan membuka kran untuk masuknya penjajahan asing melalui pendidikan, jelas akan mempengaruhi kualitas tingkah laku generasi penerus bangsa. Karena yang kita kenal istilah “No Free Lunch”, seharusnya dapat menjadi salah satu alat untuk bertindaknya pemerintah agar lebih hati-hati dalam memutuskan kebijakan.
Dalam hal ini tentu kita dapat mengatakan bahwa ini merupakan kelalaian pemerintah dalam mengurusi urusan negara, terutama hal yang paling penting yaitu pendidikan. Seharusnya pendidikan merupakan hal utama yang diperhatikan pemerintah, karena bagaimanapun juga pendidikan merupakan suatu jalan untuk generasi penerus bangsa membangun suatu peradaban. Namun, ironinya ketika dana pendidikan saja sudah mengambil tindakan peminjaman uang kepada Bank Dunia, sama saja dengan membuka celah intervensi asing ke dalam pendidikan Islam di Indonesia.
Di atas sempat dibahas mengenai pengaruh radikalisme yang mulai mempengaruhi madrasah di Indonesia, namun disini yang sedikit akan saya singgung mengenai “radikalisme” seperti apa yang dimaksud ? karena kita tahu bahwa arti yang sebenarnya dalam KBBI, radikal adalah secara mendasar (sampai kepada hal prinsip), bukan kah hal yang positif ketika ada seseorang yang radikalisme terhadap agamanya, bisa disimpulkan bahwa agama yang dianutnya sampai dengan prinsip yang sebenarnya, artinya benar-benar memahami agama, tidak memilah yang ia sukai saja. Namun, makna radikalisme itu sekarang berubah, seolah menjadi hal yang negatif terlebih disudutkan pada agama islam.
Ideologi yang dianut oleh suatu negara akan menjadi asas kebijakan bagi sistem pendidikannya. Kebijakan tersebut khususnya berkaitan dengan dua hal utama yaitu pendidikan yang diwujudkan dalam format kurikulum dan peranan negara dalam memenuhi keperluan pendidikan masyarakatnya. Sistem pendidikan yang benar menurut Islam adalah sistem yang secara keseluruhan terpancar dari ideologi atau akidah Islam. Dalam khilafah Islam, tujuan pendidikan, struktur kurikulum dan peranan negara dalam bidang pendidikan dibuat sesuai dengan tuntutan syariah Islam. Pemerintah seharusnya dapat membentuk kepribadian Islam (Syakhsiyah Islamiyah) bagi setiap Muslim serta membekali dirinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan.
Pendidikan dalam Islam merupakan keperluan asas sebagaimana keperluan terhadap makan, minum, pakaian, rumah, kesehatan dan sebagainya. Negara wajib menjamin pendidikan yang bermutu bagi seluruh warga negara khilafah Islam secara percuma sehingga ke peringkat pengajian tinggi dengan kemudahan-kemudahan yang disediakan dengan sebaik mungkin (An-Nabhani, Ad-Daulah al-Islamiyah, hlm. 283-284).
Secara strukturnya, kurikulum pendidikan dalam Khilafah Islam dibagi kepada tiga komponen utama, yaitu Pembentukan kepribadian Islam, Penguasaan tsaqofah Islam, dan Penguasaan Ilmu kehidupan (Sains dan Teknologi kepakaran serta kemahiran). Kurikulin ini diikuti dengan berbagai dasar negara yang bertujuan untuk mencapai maklumat yang telah digariskan. Salah satu dasar penting dalam hal ini adalah berkaitan dengan biaya pendidikan yang murah bahkan percuma. Dalam Islam, megara wajib menyedikan pendidikan murah atau bebas kepada warga negaranya, baik Muslim maupun non-Muslim agar mereka dapat menjalankan kewajibannya atau memenuhi keperluan asas mereka, yaitu pendidikan. Rasulullah ﷺ bersabda “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia diminta pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” [HR al-Bukhari dan Muslim].
Generasi berkualitas adalah generasi yang melahirkan barisan pemimpin umat yang tidak hanya memiliki keahlian, melainkan juga memiliki kepribadian istimewa yang ditunjukkan oleh integritasnya pada nilai-nilai kebenaran. Kepribadian ini merupakan pancaran dari kesatuan pola pikir dan pola sikap yang benar dan luhur. Generasi seperti inilah yang diharapkan menjadi penerus umat, yang akan membawa negerinya menjadi negeri besar, kuat, dan terdepan. Generasi seperti ini bila menjadi pemimpin tidak akan menggadaikan negerinya diperas dan dijajah oleh penjajah asing demi untuk memperkaya dirinya dan keluarganya. Tetapi sebaliknya, mereka rela berkorban untuk melindungi negerinya dari cengkraman penjajahan dalam bentuk apapun (Fika Komara, 2016: 76).*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!