Jum'at, 13 Jumadil Akhir 1446 H / 13 Januari 2023 16:30 wib
22.144 views
Kritik Saweran Qari'ah: Tilawatul Qur’an Bukan Pentas Hiburan
Umat Islam dihebohkan dengan video viral nyawer saat tilawatil qur’an yang dibacakan seorang muslimah. Dua orang pria memberikan sejumlah uang kertas, bahkan salah seorang penyawer menyelipkan uang di jilbab Qari’ah.
Bila kita telusuri di media sosial, aksi sawer ternyata bukan kali pertama terjadi. Nyawer akhir-akhir ini sering dilakukan dalam berbagai kesempatan, kepada para pembaca Al-Qur’an (Qari dan Qariah). Bahkan ada seorang qari yang penutup kepalanya (kupluk) terselip banyak uang saweran.
Sang qari diam saja saat hadirin menyelipkan uang-uang tersebut dan melanjutkan bacaan Al-Qur’an.
Padahal, sebelumnya aksi nyawer kepada para qari dan qariah belum pernah ada. Entahmengapa, belakangan aksi tersebut marak dilakukan di tengah kaum muslimin.
Asal Usul Nyawer
Dalam buku berjudul "Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Barat”, diterbitkan oleh Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 1980, hal. 123 disebutkan:
Upacara Sawer (Nyawer). Sawer atau nyawer asal katanya awer, mempunyai arti " Air jatuh menciprat" Sesuai dengan praktek juru sawer yang menabur naburkan perlengkapan nyawer seolah-olah menciprat cipratkan air kepada kedua mempelai wanita dan pria serta semua yang ikut menyaksikan di sekelilingnya.
Nyawer adalah kegiatan yang dilakukan dalam resepsi pernikahan orang Sunda. Nyawer berarti menabur atau melemparkan saweran yakni benda-benda kecil berupa beras bercampur kunyit serta uang receh, permen dan sebagainya ke arah pengantin maupun pada para tamu undangan.
Dalam perkembangannya aksi nyawer mengalami pergeseran. Menurut pandangan masyarakat secara umum, nyawer identik dengan persepsi negatif yang bermakna memberikan uang atas rasa suka/puas kepada biduan dangdut, sinden, penari jaipong, lengger dan semacamnya.
Persepsi masyarakat itu tak jauh berbeda dengan pengertian kata sawer dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “Meminta uang kepada penonton atau penonton memberi uang kepada pemain (pada pertunjukan keliling, seperti kuda kepang, topeng).” Jika demikian, maka layakkan nyawer itu dilakukan saat pembacaan Al-Qur’an?
Adab Interaksi dengan Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam. Syaikh Wahbah Az-Zuhaili mendefinisikan Al-Qur’an -dalam tafsirnya- sebagai berikut,
هو كلام اللّه المعجز ، المنزّل على النّبي محمد صلّى اللّه عليه وسلم، باللفظ العربي، المكتوب في المصاحف، المتعبّد بتلاوته، المنقول بالتواتر، المبدوء بسورة الفاتحة، المختوم بسورة الناس
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang merupakan mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dengan lafazh Bahasa Arab, tertulis di dalam mushaf, membacanya adalah ibadah, dinukil secara mutawatir, diawali surat Al-Fatihah danditutup dengan surat Annas.” (Tafsir Al-Munir: I/13)
Sebagai kalamullah yang harus diimani, maka wajib.bagi umat Islam mengagungkan Al-Qur’an.
أجمع المسلمون على وجوب تعظيم القرآن العزيز على الإطلاق وتنزيهه وصيانته
“Kaum muslimin ijma’ (sepakat) atas wajibnya mengagungkan Al-Qur’an yang mulia secara mutlak, menyucikan dan menjaganya.” (At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an, hal. 164) Oleh sebab itu, untuk memuliakan Al-Qur’an ada adab-adab yang harus dipenuhi oleh orang-orang berinteraksi dengannya.
Banyak ulama yang menjabarkan tentang adab-adab memuliakan Al-Qur’an, salah satunya Al-Imam Abu Zakariya Yahya Muhyiddin bin Syaraf bin Hizam An-Nawawi yang menulis kitab khusus sebagai pedoman para ahlul qur’an, yakni At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an.
Pembahasan adab-adab dalam tulisan ini hanyalah sebagian kecil saja dengan banyak merujuk pada kitab At-Tibyan, guna menyikapi fenomena sawer kepada pembaca Al-Qur’an dan perlakuan sejenisnya.
Pertama, hendaknya orang yang membaca Al-Qur’an memiliki niat ikhlas karena mengharap ridha Allah. Tidak boleh berharap pujian dan sanjungan dari manusia.
Ketahuilah, di antara golongan yang lebih dahulu akan diadili di hari kiamat adalah para pembaca Al-Qur’an. Apabila didapati tujuan membaca Al-Qur’an itu menyimpang, mereka akan dilempakan ke dalam neraka; sebagaimana disebutkan dalam hadits Muslim.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menegaskan pentingnya niat ikhlas dari para ahlul qur’an.
فأول ذلك يجب على القارئ الإخلاص كما قدمناه ومراعاة الأدب مع القرآن فينبغي أن يستحضر في نفسه أنه يناجي الله تعالى ويقرأ على حال من يرى الله تعالى فإنه إن لم يكن يراه فإن الله تعالى يراه
“Adab Pertama, seorang yang membaca Al-Qur’an sudah sepatutnya melakukannya dengan ikhlas sebagaimana yang telah saya kemukakan sebelumnya, juga demi menjaga adab terhadap Al-Qur’an. Hendaknya dia menghadirkan dalam hatinya bahwa dia sedang bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membaca Al-Qur’an seperti keadaan orang yang melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika dia tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala melihatnya.” (At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an: 54)
Kedua, ahlul Qur’an senantiasa menghiasinya perilakunya dengan akhlak yang baik, menjauhi perangai buruk dan menjaga wibawanya.
Al-Imam An-Nawawi berkata, “Diantara adab-adab menghafal Al-Qur’an ialah hendaknya berada dalam keadaan paling sempurna dan perilaku paling mulia. Hendaknya dia menjauhkan dirinya dari segala sesuatu yang dilarang Al-Qur’an, hendaknya dia terpelihara dari pekerjaan yang rendah, berjiwa mulia, tidak merasa rendah diri terhadap para penguasa yang sombong dan pencinta dunia yang buruk. Merendahkan diri (tawadhu’) kepada orang-orang shaleh dan ahli kebaikan, serta kaum miskin. Hendaklah dia seorang yang khusyuk memiliki ketenangan dan wibawa.” (At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an: 54)
Memberi saweran merupakan tindakan yang merendahkan martabat ahlul qur’an, apalagi bila yang melakukan adalah lawan jenis, yakni laki-laki ajnabi yang bukan mahram terhadap seorang muslimah. Maka, seharusnya ia tidak diam ketika mendapati reaksi (nyawer) jamaah terhadapnya; menabur uang di hadapannya, mengalungkan uang, hingga menyelipkan uang di peci/kupluk dan jilbabnya. Karena sawer menyawer adalah perlakuanyang identik dengan aktivitas hiburan, seperti diterangkan di atas.
Ketiga, tidak boleh menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pendapatan, mencari nafkah ataumata pencaharian.
Hal yang perlu menjadi perhatian bagi penghafal Al-Qur’an ialah supaya menghindarkan diri dari menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber penghasilan atau mata pencaharian dalam kehidupannya.”
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Syibil radhiyallohu ‘anhu, katanya: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
اقرؤوا القرآن ولا تأكلوا به ولا تجفوا عنه ولا تغلوا فيه
“Bacalah Al-Qur’an, tetapi jangan menggunakannya untuk mencari makan, jangan menjauhinya dan jangan pula berlebihan.” (HR. Ahmad)
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
اقرؤوا القرآن من قبل أن يأتي قوم يقيمونه إقامة القدح يتعجلونه ولا يتأجلونه
“Bacalah Al-Qur’an sebelum datang suatu kaum yang menegakkannya seperti menegakkan anak panah, mereka terburu-buru dan tidak mengharapkan hasilnya di masa depan.” Abu Dawud meriwayatkan yang semakna dari riwayat Sahl bin Sa’ad, artinya mereka mengharapkan upahnya dengan segera berupa uang atau ketenaran dan sebagainya.(At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an: 56)
Jika menjadikan bacaan Al-Qur’an sebagai mata pencaharian saja dilarang, apalagi menjadikannya sebagai obyek saweran. Para qari bukanlah biduan, bukan pula pelaku hiburan yang menjadikan jasa lantunan suaranya sebagai obyek mengais pendapatan.”
Keempat, qari (pembaca Al-Qur’an) harus membaca Al-Qur’an dengan benar sesuai kaidah dan tartil.
Kelima, ketika mendengar bacaan Al-Qur’an yang indah, maka orang yang mendengarnya menyimak dengan khusyu’ dan mentadabburinya. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf: 204).
Keenam, apabila terjadi kemunkaran ketika bacaan Al-Qur’an diperdengarkan maka siapa saja yang hadir dan melihat hal itu, wajib mencegahnya (nahi munkar).
وعلى الحاضرين مجلس القراءة إذا رأوا شيئا من هذه المنكرات المذكورة أو غيرها أن ينهوا عنه حسب الإمكان باليد لمن قدر وباللسان لمن عجز عن اليد وقدر على اللسان وإلا فلينكر بقلبه والله أعلم
“Diwajibkan atas orang-orang yang menghadiri majlis membaca Al-Qur’an jika melihat kemunkaran-kemunkaran tersebut atau lainnya agar melarangnya sekuat tenaga dengan tangan bagi siapa yang mampu dan dengan lisan bagi siapa yang tidak mampu melakukannya dengan tangan dan mampu melakukannya dengan lisan. Jika tidak sanggup dengan semua itu, maka dengan hatinya (membencinya adalah hati). Wallahua’lam." (At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an, hal. 96)
Nyawer kepada seorang muslimah qariah oleh laki-laki ajnabi yang bukan mahram adalah bentuk kemunkaran yang tak boleh didiamkan. Maka, para ulama, asatidz dan tokoh agama selayaknya memberikan bimbingan, mencegah aksi sawer kepada qura (para pembaca Al-Qur’an) yang marak di tengah masyarakat agar tidak terjadi lagi. Karena hal tersebut bukan perkara yang baik bila membudaya di masyarakat. Sementara itu, apabila di anatara kaum muslimin memiliki niat baik untuk memuliakan pembaca Al-Qur’an maka silahkan bersedekah dengan cara yang beradab.
Ketujuh, menundukkan pandangan. Al-Imam An-Nawawi memberikan pembahasan menarik, yakni agar para pendengar Al-Qur’an agar menundukkan pandangan kepada laki-laki yang berparas tampan.
وأقبح من هذا كله النظر إلى ما لا يجوز النظر إليه كالأمرد وغيره فإن النظر إلى الأمرد الحسن من غير حاجة حرام سواء كان بشهوة أو بغيرها سواء أمن الفتنة أو لم يأمنها هذا هو المذهب الصحيح المختار عند العلماء وقد نص على تحريمه الإما الشافعي ومن لا يحصى من العلماء
“Lebih buruk dari semua itu adalah pandangan kepada sesuatu yang tidak boleh dipandang,seperti memandang lelaki muda yang mulus wajahnya dan yang seumpamanya. Memandang kepada lelaki muda yang berwajah mulus dan tampan tanpa adanya kebutuhan hukumnya adalah haram. Sama saja dengan syahwat atau pun tanpa syahwat, sama saja aman dari fitnah atau tidak aman. Ini adalah madzhab yang shahih dan kuat di kalangan ulama. Imam Asy-Syafi’i dan para ulama yang tidak sedikit jumlahnya telah menyebutkan dengan jelas pengharamannya.”
Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu waTa’ala (dalam surat An-Nur: 30) “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an, hal. 93).
Bila jamaah laki-laki memandangan laki-laki yang tengah membaca Al-Qur’an saja tidak boleh, yakni diperintahkan menundukkan pandangan, apalagi bila pembaca Al-Qur’an itu adalah seorang wanita. Perintah menundukkan pandangan ini penting, mengingat orang membaca Al-Qur’an memiliki suara yang bagus atau merdu. Sehingga dikhawatirkan bisa menimbulkan rasa suka/jatuh cinta.
Oleh sebab itu, bagi panitia penyelenggara, hendaknya mempertimbangkan mengundang qariah (muslimah pembaca Al-Qur’an) apabila kegiatan itu dilangsungkan secara terbuka dan disaksikan masyarakat umum. Terlebih lagi bila jamaahnya terdapat kaum laki-laki. Hal itu untuk mencegah terjadinya fitnah, terutama terhadap sang qariah. Demikian artikel ini ditulis, sebagai pedoman ringkas adab berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sekaligus, menyikapi fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Bahwa tilawah Al-Qur’an bukanlah pentas hiburan semisal dangdutan, lengger, campur sari atau jaipongan. Maka jangan disamakan perlakuan terhadap majelis dibacakannya Al-Qur’an dengan memberikan saweran. Karena mengagungkan Al-Qur’an ada tata caranya secara khusus, yang bias dipelajari dalam kitab-kitab salafus shalih.
Semoga Allah memberikan ampunan apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, serta menjadi amal shalih bagi siapa saja yang mengamalkan. Wallahu a’lam. [PurWD/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!