Sabtu, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 8 Juni 2024 06:17 wib
6.467 views
Laki-laki ‘provider’ Bukan Patriarki, Melainkan Fitrah
Oleh: Noor AN
Perdebatan mengenai patriarki masih selalu segar dibahas. Hingga kini, setiap hari selalu ada saja yang bisa didiskusikan dari patriarki. Namun, sebelum kita bahas lebih dalam mengenai ini, mari kita kenali terlebih dahulu antara definisi dari patriarki yang sebenarnya, dan definisi patriarki yang menjadi stigma masyarakat umum.
Menurut Wikipedia, patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Pratiarki berasal dari kata patriarkat yang berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya. Sedangkan bagi kebanyakan orang, khususnya kaum feminis, jika kita definisikan secara kasar, patriarki adalah apa-apa yang mengekang dan menyusahkan wanita, yang mana jika seorang wanita tidak bisa mengekspresikan kehendaknya secara bebas atau bahkan liberal, itu patriarki.
Namun kali ini yang menjadi keresahan penulis adalah bahwa adanya anggapan bahwa seorang pria yang mencari nafkah, menjadi penyedia bagi istri, anak, dan keluarganya adalah bentuk dari patriarki. Apakah benar demikian?
Peran seorang laki-laki
Jika mencocokkan antara definisi dari wikipedia yang mana begitulah makna sebenarnya dari kata patriarki. Apa yang didefinisikan oleh orang-orang feminis jauh berbeda dari definisi patriarki itu sendiri. Padahal di dalam Islam sangat tegas apa saja peran suami yang sangat jauh dari patriarki.
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkan mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An-Nisa’: 34)
Allah menciptakan laki-laki dengan kekuatan fisik yang lebih besar dan kuat daripada wanita bukan demi menyakiti wanita, namun sebaliknya. Jika ada yang menggunakannya untuk menjahati wanita, maka tentu saja itu merupakan bentuk penyalahgunaan.
“Sebaik-baik kamu semua adalah yang terbaik kepada istrinya dan saya yang terbaik kepada istriku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895).
Di samping memenuhi tanggung jawab sebagai seorang suami, laki-laki juga memiliki peran ayah ketika ia memiliki anak nanti. Yang mana, tidak hanya seorang wanita atau ibu yang memiliki tanggung jawab dalam mengurus anak. Di Indonesia, banyak sekali dari ayah-ayah kita yang masih belum paham peran ayah bagi anak-anaknya. Mereka hanya tahu tentang mencari nafkah, namun tidak dengan mendidik dan membimbing. Padahal itu juga termasuk tugas utamanya. Apalagi di Indonesia ini sarat sekali penganut semboyan, “Banyak anak banyak rezeki”, sehingga banyak sekali anak yang harus merasakan ‘fatherless’ yang mana kondisi ini sangat menentukan pertumbuhan karakter pada anak.
Memang, ketika seorang bayi itu dilahirkan Allah memberikan rezeki baginya sendiri, namun, rezeki yang baik itu tetap harus diusahakan oleh ayah dan ibunya sebagai perantara kasih sayang Allah terhadap bayi ini, dan menjadi perantara kasih sayang dari Allah itu sendiri bagi ayah dan ibunya, Allah sebutkan masing-masing perannya di surat An-Nisa’ ayat 34 tadi. Namun bukan berarti tidak boleh memiliki banyak anak, karena dalam Islam sendiri dianjurkan memiliki banyak anak. Namun jangan lupa dengan peran dari kedua orang tua pada anak, harus ditegaskan dan diterapkan.
Jika seorang istri hendak ikut membantu mencari nafkah, sedangkan itu merupakan kewajiban suami, maka kembali tengok prinsip dasarnya. Apakah suami sudah mengizinkan sebagai bentuk dari taatnya istri pada suami yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam berumah tangga? Jika punya anak, bagaimana dengan anaknya? Apakah sang ibu tidak merasa terbebani atau kelelahan mengingat tugas seorang ibu adalah menyusui anaknya, dan tentu saja, merawat anaknya yang merupakan tugas bersama dari suami dan istri. Karena perlu dipahami bahwa Allah menciptakan tenaga dan energi antara laki-laki dan perempuan tidaklah sama. Maka jangan sampai sang istri atau sang ibu ini membuat dirinya lelah atas kegiatan atau usaha yang bukan kewajiban dia.
“Masing-masing kalian bertanggung jawab terhadap yang diurusnya. Imam bertanggung jawab dan akan ditanyakan tentang rakyatnya. Suami bertanggung jawab terhadap istrinya dan dia akan ditanyakan. Istri bertanggung jawab atas rumah suaminya dan dia akan ditanyakan. Pembantu bertanggung jawab atas harta majikannya dan akan ditanyakan tanggung jawabnya.” (HR. Bukhari, no. 853 dan Muslim, no. 1829).
Seperti contoh pembagian peran dalam kehidupan rumah tangga, perempuan adalah pemimpin dalam aspek pendidikan karena perempuan adalah sekolah pertama bagi anaknya-anaknya. Maka biarkanlah para ibu memimpin strategi dan kurikulum bagi anak-anaknya. Sang ayah tetap mendukung dari segi finansial, fasilitas, dan keamanan mereka secara lahir dan batin.
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anak selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Laki-laki ditanggungjawabi tiga perempuan dalam hidupnya, yakni ibu, istri, dan saudara perempuannya, dan anak perempuannya. Kepada saudara perempuannya, dia wajib membimbing, mendidik, menyayangi, melindungi, dan membela mereka. Apalagi jika sang ayah meninggal, maka saudara laki-laki di keluarga tersebut wajib menafkahi saudara perempuannya sampai ia menikah, atau jika ia adalah seorang janda, maka ia harus menafkahinya jika ia tidak mampu. Oleh sebab itu, saudara perempuan di keluarga itu harus taat kepada saudara laki-lakinya.
Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a., beliau bertanya kepada Rasulullah saw., “Siapakah yang berhak terhadap seorang wanita?” Rasulullah menjawab, “Suaminya (apabila sudah menikah).” Aisyah bertanya lagi, “Siapakah yang berhak terhadap seorang laki-laki?” Rasulullah menjawab, “Ibunya.” (HR. Muslim).
Laki-laki dan perempuan sudah Allah beri masing-masing tugas berdasarkan fitrahnya sehingga dapat saling menolong dan melengkapi satu sama lain. Jadi jangan terus menerus saling todong, merasa paling berhak atau merasa paling tersakiti hanya karena mendambakan hak dari hak yang seharusnya bukan untuknya demi memenuhi hasrat kebebasan diri sendiri. Padahal yang disuarakan justru merusak pemikiran serta nalar.
Kehidupan rumah tangga khususnya, antara suami dan istri merupakan kehidupan yang harus dibina bersama. Maka dari itu, memahami peran masing-masing adalah wajib. Mengenai taktik lanjutannya, hal tersebut bisa dibicarakan bersama. Namun yang paling penting adalah memahami dan memegang prinsip dasarnya sebagaimana yang sudah disebutkan di surat An-Nisa’ ayat 34 tersebut. Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!