Sabtu, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 1 Juni 2019 13:18 wib
16.023 views
Menjawab Setara Institute: Apa Itu “Islamis” di Kampus?
Oleh:
Asyari Usman, wartawan senior
KEMARIN, Jumat (31/5/2019), SETARA Institute (SI) menggelar diskusi di Jakarta Pusat dengan tajuk “Membaca Peta Wacana dan Gerakan Keagamaan di PTN”. Peneliti SI, Halili, menguraikan tentang gerakan Islam eksklusif yang menumbuhkan radikalisme di 10 kampus perguruan tinggi negeri (PTN).
Tapi, apakah layak disebut radikalisme berkembang di kampus-kampus UI, ITB, IPB, UGM, UIN Jakarta, UIN Bandung, UniBraw, Unair, UNY, dan Unram? Kalaupun kesimpulan seperti ini diterima, apa penyebabnya? Inilah yang kita coba telusuri.
SI menyebutnya pertumbuhan “islamis” (islamist). Kita perlu mendudukan apa itu “islamis”. Kita lihat dulu pengertian “islamist” menurut salah satu kamus terkemuka, yaitu Cambridge Dictionary. Kamus ini mendefinisikan “islamist” sebagai (a)sesuatu yang berkenaan atau terkait dengan Islam; (b)keyakinan yang kuat bahwa Islam harus mempengaruhi sistem politik.
Dalam pengertian pertama (a), maka “islamist” (islamis) adalah sesuatu yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan “radikalisme”. Sedangkan dalam pengertian kedua (b), juga tidak ada terkait langsung dengan radikalisme atau intoleran. Sebab, keyakinan yang keras bahwa Islam harus kuat di dunia politik adalah sesuatu yang sangat wajar di Indonesia. Sangat proporsional.
Nah, dalam sejarah politik di Indonesia, radikalisme atau intoleran muncul akibat umat Islam dihambat dalam memperkuat diri di pentas politik. Radikalisme dan intoleran bukanlah ciri kaum muslimin. Melainkan bentuk reaksi mereka terhadap tekanan atau desakan sosial-politik yang sifatnya agresif-intimidatif.
Karena itu, umat sadar bahwa mereka harus aktif berpolitik dan membawa misi keislaman untuk memastikan agar kepentingan umat bisa terjamin. Tentu aspek ini lumrah saja. Semua kelompok non-Islam juga akan melakukan ini.
Menurut hemat saya, yang justru bermasalah adalah tujuan SI melakukan penelitian dan cara mereka meneliti kalangan mahasiswa Islam. Pada akhir 2017, SI merilis “penelitian” mereka terhadap ratusan masjid dan musholla di kawasan Depok termasuk masjid-masjid di sekitar UI dan STIE Hidayatullah.
Peneliti SETARA Institure, Sudarto, berkata bahwa untuk memuluskan penelitiannya, dia harus tampil seperti salafi-wahabi. Seperti yang pernah dilakukan oleh Christiaan Snouk Hurgronje yang pura-pura masuk Islam agar warga Atjeh tidak curiga kepada dia. Sudarto juga berpura-pura menjadi salafi-wahabi. Dia memelihara janggut dan memakai celana cingkrang (di atas mata kaki). Dia lakukan ini untuk menginteli pengajian-pengajian mahasiswa.
Sudarto harus tampil munafik untuk tujuan yang bisa ditebak, yaitu mencari kejelekan kaum muslimin, khususnya mahasiswa.
Kalau para peneliti SETARA Institute mau berkontemplasi lebih jauh, ciri-ciri yang mereka lihat sebagai reprsentasi radikalisme itu (janggut dan celana cingkrang), sesungguhnya adalah “physical statement” (pernyataan fisik) bahwa para mahasiswa ingin membuang gaya hidup yang hura-hura. Salahkah ini? Tergantung bagaimana Anda melihatnya. Kalangan yang berpura-pura akan sangat risih dan resah. Sebaliknya, kalangan yang mengharapkan pemurnian spiritualitas dalam rangka ketakwaan, akan merasa pas karena janggut dan celana cingkrang, biasanya, adalah pertanda keinginan untuk menghilangkan pengaruh duniawi.
Jadi, pihak SI hendaklah hati-hati dalam membuat kesimpulan tentang makna “islamis”. Karena, yang sebenarnya berlangsung adalah pertumbuhan “ketakwaan”. Dalam arti, para mahasiswa muslim menjadi lebih intensif secara spiritual. Intensif menggelar pengajian. SETARA mengistilahkannya “pengajian eksklusif”. Tapi, adakah yang salah dengan pengajian eksklusif?
Tidak semestinya dilihat negatif. Karena pertumbuhan yang sifatnya “islamis” seharusnya membuat mahasiswa menjadi lebih baik. Mereka lebih ingin membentuk manusia-manusia Indonesia yang tidak menjadi beban sosial.
Itulah yang sedang berlangsung di kalangan para mahasiswa di 10 kampus perguruan tinggi negeri (PTN) papan atas di Indonesia yang teliti oleh SI. Mereka ingin agar cara mereka sholat lebih baik. Agar pemahaman tentang pengorbanan untuk kemaslahatan manusia, menjadi lebih konkret. Agar mereka bisa lebih ringan untuk berbagi dengan sesama.
Itulah pertumbuhan ketakwaan yang dilabeli “islamis” oleh SI. Bagi yang tidak paham, pertumbuhan ketakwaan (islamis) itu mengesankan pertumbuhan radikalisme. Begitulah penglihatan sempit SI. Mereka lebih suka mendeskripsikan pertumbuhan ketakwaan di kalangan mahasiswa Islam sebagai pertanda pertumbuhan intoleransi. Pertumbuhan paham radikal. Sehingga terkesan cukup menakutkan. Semua ini hanya divonis dari tampilan janggut dan celana cingkrang.
Selain sempit, penilaian SI itu terasa bermisi khusus untuk terus memojokkan umat Islam. Sangat tidak adil cara SI menyimpulkan kecenderungan di kalangan mahasiswa Islam di hampir semua kampus. SETARA termakan oleh gambaran yang keliru tentang janggut atau celana cingkrang. Mereka menganggap tampilan ini sebagai simbol intoleransi dan keradikalan.
Padahal, kalau mereka pahami lebih luas lagi, janggut dan celana cingkrang melambangkan upaya untuk menjauhkan diri dari semua aspek hedonisme. Upaya untuk hidup lebih sederhana dan jauh dari suasana “immoral” (amoral). Upaya ini tidak mudah. Penuh tantangan. Berat ujiannya.
Sebagai contoh, seseorang yang selama ini terbiasa dengan kehidupan tanpa rambu-rambu moral, memiliki potensi untuk menjadi takwa. Menjadi jauh dari kebiasaan hidup boros dan konsumtif. Menjadi lebih peka terhadap kesulitan hidup orang lain. Potensi untuk menjadi takwa itu didukung oleh proses pembinaan intelektualitas yang dilalui oleh para mahasiswa.
Penguatan intelektualitas inilah yang sebetulnya menjadi “main drive” (pendorong utama) di kalangan mahasiwa untuk mengikuti pengajian agama. Ketajaman intelektualitaslah yang membawa mereka datang ke masjid. Di sini, mereka diberikan pemahaman tentang kondisi yang dihadapi umat. Tentang potensi umat dan tentang “predator” yang sejak lama berkepentingan untuk mengintimidasi umat agar terus-menerus menjadi hamba para pemegang kekuasaan politik dan ekonomi yang “hostile” (benci) terhadap umat.
Nah, apakah salah atau tidak boleh mahasiswa Islam mempelajari lingkungan sosial-politik mereka? Apakah mempelajari ancaman terhadap diri mereka melalui silaturhami dan pengajian, tidak boleh dilakukan?
Memberikan label “islamis” dalam makna radikalisme atau intoleran, memang sesuatu yang enak dilakukan oleh SETARA Institute. Dan mereka bangga mengumumkan kesimpulan gegabah ini. Tetapi, orang-orang yang paham tentang operasi pemberangusan kekuatan Islam yang konstitusional dan rasional bisa melihat bahwa SI sedang mengerjakan “proyek pesanan”.
Masalahnya adalah, para penguasa zalim dan mafioso ekonomi-politik merasa terancam oleh pertumbuhan “islamis” dalam pengertian positif di kalangan mahasiswa. Sehingga, perlu ada lembaga seperti SI untuk mengkampanyekan ancaman “islamis” yang mereka sesatkan maknanya menjadi radikalisme dan intolerasi.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!