Senin, 29 Jumadil Akhir 1446 H / 3 Januari 2022 09:39 wib
4.645 views
Meneroka Islam Otentik: Kontestasi Dialektis Islam Aktual Berkemajuan
Oleh:
Teguh Fachmi || Staf Pengajar di UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Pandeglang
SALAH satu hal terpenting dari eksistensi Islam ialah karena adanya ketersambungan antara Islam dengan realitas melalui penyesuaian hal-hal yang otentik (ashalah) dan perubahan atau pembaruan (tajdid) sebagai tafsir atas Islam datang membawa solusi pemecahan permasalahan bagi manusia dan masyarakat, baik kecil ataupun besar, parsial ataupun menyeluruh. Maka kemudian hadirnya sesuatu hal-hal yang baru dari luar, tidaklah bermakna mencederai otentisitas Islam, kira-kira itulah pernyataan yang ditulis oleh Pradana Boy ZTF di dalam artikel yang diterbitkan oleh IBtimes.id. Yusuf Qardhawi juga menegaskan bahwa: laisat al-ashalatu rafidha kulla syai’in ja’a an al-ghairi (menjaga otentisitas tidak berarti menolak segala sesuatu yang bersumber dari luar)
Mengacu pada tulisan Pradana yang mengelaborasi bahwa kini Islam otentik tak lagi ada, Islam yang otentik hanya ada semasa hidup Nabi Muhammad SAW. Semua yang dipraktekan saat ini tidak ada yang otentik, yang otentik hanya ada pada masa Rasulullah hidup. Itulah zaman Islam yang sejati, Islam sebagaimana yang seharusnya, Islam yang diajarkan Al-Qur’an dari satu dimensi ke dimensi lain, waktu ke waktu. Islam pada masa Nabi ialah otentik karena sunnah benar-benar hidup. Maknanya, karena Nabi sendirilah sunnah itu. Islam pada masa Nabi memiliki arti kesatuan wacana dan laku yang kemudian melekat dalam diri Nabi dan sama sekali tidak membuka celah bagi ketidaksempurnaan
Bertolak dari penjelasan diatas, maka tidak diragukan lagi bahwa orientasi berislam umat muslim di seantero dunia yakni berlomba-lomba ingin menghadirkan Islam otentik dalam kehidupannya, layaknya se-otentik seperti ketika masa hidup Nabi. Hal ini membawa dampak pada kompetisi juga kontestasi menuju diskursus otentisitas implementasi ajaran Islam yang kemudian mengemuka di sepanjang sejarah perkembangan peradaban umat muslim di dunia. Namun, sedikit yang menyadari bahwa perjalanan itu telah mengalami pergumulan dengan waktu, sejarah, pelintasan konteks seperti sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Kesemuanya itu telah menghadirkan sebuah tantangan dalam upaya mewujudkan otentisitas.
Sehingga yang otentik pada jaman Nabi itu muncul dalam wujud yang lain meskipun nilainya tidak hilang, itulah Islam aktual. Akan tetapi amat disayangkan, tak banyak yang memahami bahwa Islam yang aktual bukanlah sepenuhnya Islam yang otentik. Beberapa pemikir Islam mendalami lebih jauh untuk memahami hakikat agama ini, Amin Abdullah, misalnya, memandang Islam selalu merupakan interaksi antara yang normatif (tertulis) dan historis (terjadi). Apa yang tertulis tak selalu sama dengan apa yang terjadi, dan apa yang terjadi, tak selamanya juga diambil dari yang tertulis. Kurang lebih sama, Haidar Bagir membahasakan jarak antara Islam yang otentik dengan Islam yang aktual itu sebagai “Islam Tuhan” dan “Islam Manusia.” Islam memang turun dari Tuhan, tetapi bahasa Tuhan dan bahasa manusia pasti berbeda. Islam memang bersumber dari Tuhan, tetapi ia diturunkan untuk manusia, karena agama adalah demi kepentingan kemanusiaan. Selanjtunya tak jauh berbeda Abdurrahman Wahid menyebut wujud Islam aktual itu, setidaknya, ada dalam tiga konteks: “Islamku,” “Islam Anda,” dan “Islam Kita.” “Islamku” adalah sebuah pengalaman merasakan Islam secara pribadi. Tulis Gus Dur, “Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikiran sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain.” Pengalaman seperti ini, menurut Gus Dur, patut diketahui oleh orang lain “tanpa memiliki kekuatan pemaksa.”
Islam berkemajuan gagasan Muhammadiyah wujudkan Rahmatan Lil Alamin
Dalam kurun waktu dekade ini, cita-cita menghadirkan Islam otentik itu muncul begitu kuat dalam berbagai macam tafsiran, corak, dan orientasi. Konsekuensinya, terjadi kompetisi dan kontestasi kelompok untuk mewujudkan Islam berdasarkan pemahaman dan penafsiran masing-masing. Namun pun demikian usaha tersebut tidak akan mungkin menghasilkan Islam otentik, melainkan Islam yang aktual-lah yang ada. Dimana ia memiliki perbedaan golongan, corak, orientasi, dan cara ber-Islam masing-masing. Kontestasi ragam ekspresi keberagamaan umat muslim di seluruh dunia merupakan upaya mewujudkan otentisitas Islam, ia hadir dalam bentuk lain meskipun nilainya tidak hilang ataupun berkurang. Seperti contoh dalam kancah global kita mengenal Islam Hadhari di Malaysia, Islam Nusantara, dan Islam Berkemajuan di Indonesia yang semuanya itu ialah hasil daripada upaya menghadirkan Islam Otentik yang kemudian mengalami pergumulan dengan waktu, sejarah, pelintasan konteks, sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Berbagai macam ekspresi sikap keberagaman diatas tadi merupakan hasil daripada upaya setiap muslim yang kemudian ingin menghadirkan Islam secara lebih dekat kedalam urat nadi kehidupannya sehari-hari, baik dalam konteks yang berkelindan dengan sosial, ekonomi, budaya, dan politik pada tataran kekinian dan kedisinian.
Salah satu ekspresi keberagamaan yang mencoba menghadirkan Islam kedalam wujud otentisitasnya ialah Islam berkemajuan. Gagasan Islam berkemajuan ini diketengahkan oleh organisasi kemasyarakatan Islam yang ada di Indonesia yakni Persyarikatan Muhammadiyah, gagasan Islam berkemajuan dijadikan idealitas oleh warga persyarikatan Muhammadiyah sebagai salah satu cara untuk membawa Islam kedalam kehidupan manusia dengan satu cara sudut pandang sendiri. Secara lebih detil bagi Muhammadiyah, Islam dipandang bukan sebagai agama yang memandu kehidupan manusia terhadap kampung akhirat saja. Tetapi, Islam juga mendorong umatnya untuk mewujudkan peradaban umat manusia yang maju. Dalam menjalankan segala sesuatu untuk menegakan ajaran Islam, dan memajukan peradaban umat manusia.
Muhammadiyah berusaha memerankan keagenan rahmatan lil alamin melalui kerangka oraganisasi, komunitas, dan kerangka individu. Islam yang rahmatan lil alamin ini kemudian dijadikan idelaitas yang perlu diperjuangkan bagi semua muslim, tidak berhenti pada level jargon, namun perlu aktor untuk dapat menerjemahkannya. Itulah religious view atau pandangan keagamaan resmi Muhammadiyah sejak tahun 2010 dalam Muktamar di Yogyakarta sebagai satu bagian dari pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua.
Kembali ke diskursus Islam Otentik, idealitas Islam Berkemajuan Muhammadiyah merupakan produk daripada pergumulan waktu, sejarah, budaya, ekonomi, dan politik yang akhirnya menemukan wujudnya kedalam bentuk aktual sebagai respon terhadap dakwah Islam yang hendak mewujudkan Islam dalam kehidupan, dan diyakini bersama sebagai jalan perubahan (transformasi) ke arah terciptanya kemajuan, kebaikan, keadilan, kemakmuran, dan kemaslahatan hidup umat manusia. Sebagai pandangan kehidupan dan cara memahami persoalan didalamnya.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!