Kamis, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 7 Mei 2020 10:57 wib
3.699 views
10 Sifat Negatif Para Penimbun
Oleh:
Basrowi*
IMAM an-Nawai dalam Syarh Sahih Muslim menjelaskan bahwa, “Menimbun merupakan tindakan membeli barang tertentu, bisa secara borongan, dan menyimpannya dalam keadaan tertentu agar harga barang tersebut melambung tinggi karena langka.” Ibnu Hajar al-Asqalani juga menyebutkan bahwa, “Menimbun barang adalah menahan barang untuk tidak menjual dan menunggu pada masa langka dengan tujuan mencari keuntungan dan kerena dibutuhkan banyak orang.”
Sementara itu, UU No 7 tahun 2015 tentang Perdagangan khususnya Pasal 29 ayat (1) telah menjelaskan bahwa, “Pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhann pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.” Larangan itu dimaksudkan untuk menghindaari adanya penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok atau barang penting lainnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Di saat krisis ekonomi seperti ini, banyak pihak melakukan spekulasi dengan cara menimbun bahan makanan pokok, dan obat-obatan termasuk masker dan hand sanitizer dengan harapan mendapatkan keuntungan yang besar dari kenaikan harga.
Sebagaimana diketahui, masker dan hand sanitizer menjadi barang langka yang harganya menjadi sangat mahal. Termasuk vitamin C dan obat-obatan yang berkaitan dengan Covid-19. Pemerintah, Kementrian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, dan pihak terkait telah melakukan berbagai tindakan, akan tetapi harga barang-barang tersebut tetap saja selangit.
Dalam kaitan ini, Islam telah melarang melakukan penimbunan karena sangat mempengaruhi rantai pasok dalam distribusi dan persediaan barang di pasaran. Begitu juga, menimbun akan menyebabkan orang lain tidak dapat memenuhi kebutuhan akan barang yang sangat dibutuhkan. Bagi pihak penimbun, tindakan tersebut akan melahirkan 10 sifat negatif.
- Serakah
Serakah merupakan sifat tidak terpuji karena hendak memiliki lebih dari yang dimiliki, yang didentikkan dengan sifat rakus, tamak, loba, angkara, dan kemaruk. Mereka ingin menguasai seluruh barang yang ada tanpa peduli terhadap orang lain yang sangat membutuhkan.
Sifat serakah atau tamak sebagai sifat yang sangat dibenci oleh Allah SWT, karena sifat itu merupakan sifat syaithan. Rasulullah SAW telah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Sahih-nya yang artinya, “Rasulullah SAW bersabda, orang yang menimbun barang maka ia berdosa.”
- Suka Berspekulasi
Penimbun juga dapat didkategorikan sebagai tindakan spekulasi. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilarang oleh Allah SWT, karena hanya akan menguntungkan satu pihak sementara pihak lain akan sangat dirugikan. Sifat seperti itu juga sangat dibenci Allah SWT dan sebaliknya disukai oleh syaithan.
Ketika krisis ekonomi menjadi lebih parah akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB), di mana pengangguran meningkat drastis, kemiskinan bertambah banyak, pendapatan masyarakat menurun, maka ketika ada pihak yang melakukan penimbunan sembilan bahan pokok (sembako), termasuk obat-obatan, masker, hand sanitizer, Vitamin C, dan obat lainnya tentu akan menyebabkan kondisi ekonomi menjadi semakin timpang. Oleh karena itu, jelas, bahwa tindakan melakukan spekulasi dengan cara menimbun termasuk tindakan yang melanggar hukum positif sekaligus melanggar Syar’i.
Dalam pasal 107 UU No 7 tahun 2014 dijelaskan bahwa, “Pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).”
Selain itu, karena tindakan itu juga melanggar ketentuan Allah SWT, tentu balasan di akhirat dengan siksa yang sangat pedih sudah menanti, kecuali orang tersebut melakukan tobat nasuha dengan tidak mengulang kembali perbuatan yang sama di kemudian hari.
- Tidak Manusiawi
Pelaku yang melakukan penimbunan jelas mereka tidak mempunyai sifat manusiawi, karena ingin bahagia di atas penderitaan orang lain. Mereka sama sekali tidak peduli atas penderitaan dan kesulitan orang lain. Harkat mereka sebagai manusia telah punah dan tidak ada cinta kasih sama sekali dengan sesama.
- Ingin Untung Sendiri
Para penimbun juga dihinggapi keinginan mendapatkan keuntungan sendiri di atas kerugian orang lain. Sifat toleransi mereka juga sudah hilang, manakala orang lain dalam kondisi kekurangan, sementara dia sendiri melakukan penimbunan barang yang sangat dibutuhkan masyarakat, dalam rangka mendapatkan keuntungan berlipat ganda. Sifat yang seperti ini tentu tidak diberkahi Allah SWT.
- Bersifat Kejam
Para penimbun juga dapat dikatakan mempunyai sifat yang sangat kejam, karena telah tega melihat saudara-saudaranya yang pontang-panting serta mengeluh karena kekurangan barang yang dibutuhkan. Mereka dengan sangat teganya menahan barang yang dibutuhkan masyarakat banyak hingga harga tertinggi dapat tercapai.
- Tidak Peduli terhadap Sesama
Menimbun juga mencirikan bahwa orang tersebut tidak peduli terhadap sesama. Mereka merasa masa bodoh terhadap kesulitan orang lain. Mereka acuh terhadap nasib orang lain. Tidak mau ikut memikirkan berbagai kebutuhan yang dirasakan orang lain. Mereka bersikap masa bodoh terhadap apa yang dicari oleh orang lain.
- Suka Melakukan Kecurangan
Para penimbun pada dasarnya adalah mereka yang menyukai kecurangan, karena seharusnya mereka mengatakan jujur memiliki barang yang dicari oleh banyak orang, tetapi mengatakan tidak mempunyai, padahal dirinya menimbun barang yang langka tersebut. Sifat seperti ini tentu dilarang oleh agama, karena Islam tidak memperbolehkan umatnya melakukan kebohongan, apalagi kebohongan publik.
Para penimbuh tidak mempunyai sifat lurus hari dan tidak adil. Inilah ciri orang yang munafik yang senantiasa berhati curang atau tidak jujur. Mereka lebih senang menipu atau mengakali orang lain. Tindakan seperti ini disebut juga culas.
- Sangat Mencintai Dunia (Hubbud Dunya)
Penimbun yang menginginkan keuntungan pribadi, secara jelas bahwa ia pada dasarnya sangat cinta dunia, yang merupakan sumber dari sumber kesalahan atau kerusakan agama. Dunia sebagai cita-cita hidupnya, dan tidak percaya bahwa akhirat itu sebagai tujuan akhir yang kekal dan abadi. Orang yang mengejar dunia pasti akan merasa cemas sebelum meraihnya, resah pada saat meraihnya, dan sedih setelah meraihnya.
Firman Allah SWT dalm Q.S. Al-A’la [87]: 17 “Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” Dengan demikian para penimbun tidak mengetahui mana yang lebih utama. Jika dia tahu yang lebih utama adalah akhirat tentu tidak akan melakukan penimbunan.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pecinta dunia tidak akan terlepas dari tiga hal: kesedihan (kegelisahan) yang terus menerus, kecapekan (keletihan) yang berkelanjutan, dan penyesalan yang tidak pernah berhenti.
- Tidak Mencintai Keberkahan
Keuntungan yang diperoleh dari upaya penimbunan sudah barang tentu tidak akan berkah. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa berkah bermakna sesuatu yang mantap, kebajikan yang melimpah dan beraneka ragam, serta berkesinambungan.
Keberkahan ilahi datang dari arah yang sering kali tidak terduga-duga, atau dirasakan secara material dan tidak pula dapat diukur. Dengan demikian, keberkahan datang dari rizki yang diperoleh melalui jalan yang halal (benar dan baik).
- Tidak Toleran.
Para penimbun dapat dikatakan tidak mempunyai sifat toleran kepada orang lain. Mereka sama sekali tidak memiliki sikap saling menghormati dan menghargai kesulitan orang lain. Mereka masih tega mamaksakan kehendaknya, menjual barang dengan harga tinggi padahal barang tersebut sangat dibutuhkan oleh orang banyak. Mereka sama sekali tidak menghindahkan himbauan pemerintah untuk tidak menimbun dan memainkan harga.
Langkah yang perlu diambil
Menurut An-Nawai, jika ada orang yang melakukan penimbunan, maka harus dipaksa untuk menjualnya dengan harga yang terjangkau dan tidak membebani banyak orang orang. Langkah ini perlu diambil karena, Rasul telah memperingatkan bahwa, “Orang yang menimbun makanan selama empat puluh hari kemudian ia sedekahkan semua barang (yang ditimbun) tersebut, maka tidak bisa menebus kesalahan atau dosanya.” Riwayat lain juga menjelaskan bahwa, “Orang yang melakukan penimbunan barang selama empat puluh malam, maka Allah dan Rasulnya angkat tangan (tidak bertanggung jawab atas perilakunya).” (H.R. al-Hakim).
Meskipun kedua hadits tersebut diragukan kesahihannya, karena ada beberapa perawi yang bermasalah, namun hadis tersebut dikuatkan secara substansinya, dengan hadis shahih sebelumnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Penegakan hukum harus dilakukan oleh pihak yang berwenang, agar para penimbun jera dan tidak melakukan tindakan yang sama. Hal itu perlu dilakukan karena bencana wabah Corona merupakan bencana nasional non alam yang sangat menggangu roda ekonomi masyarakat.
Jadi, sepuluh sikap negatif yang menghinggapi para penimbun meliputi sikap: 1) serakah, 2) suka berspekulasi, 3) tidak manusiawi, 4) ingin untung sendiri, 5) bersifat kejam, 6) tidak peduli terhadap sesama, 7) suka melakukan kecurangan, 8) sangat mencintai dunia, 9) tidak mencintai keberkahan, dan 10) tidak toleran.
Semoga saja seluruh uraian di atas dapat menuntun kita untuk tidak menimbun, sekaligus semoga para penimbun tidak melakukan tindakan yang sama di kemudian hari. Aamiin.*
*) Basrowi, Penggiat Ekonomi Syariah, PPs UIN Raden Intan Lampung, Alumni S3 Unair, dan S3 UPI YAI Jakarta, serta alumni Pesma Baitul Hikmah Surabaya.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!