Rabu, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 16 Oktober 2019 15:49 wib
4.892 views
Bahaya Disertasi Milku Al-Yamin Abdul Azis
Oleh:
Dr. Tgk. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA*
DISERTASI Abdul Azis mahasiswa program doktoral UIN Sunan Kalijaga (Suka) Jogja berjudul "Konsep Milku al-Yamin Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital" menuai polemik. Disertasi ini menyimpulkan bahwa hubungan seksual nonmarital (tanpa ikatan nikah) dalam batasan tertentu tidak melanggar syariat. Yaitu suka sama suka, dewasa, bukan mahram, tidak bersuami, dan dilakukan di tempat privasi (bukan tempat terbuka). Berita heboh ini menjadi viral di media sosial, media cetak dan televisi.
Disertasi ini diluluskan oleh para tim penguji dalam sidang disertasi terbuka yang diadakan pada tanggal 28 Agustus 2019 di kampus UIN Jogja dengan nilai sangat memuaskan. Tim penguji terdiri dari rektor UIN Jogja Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, PhD sebagai ketua sidang, Prof. Dr. Waryono Abdul Ghafur sebagai sekretaris sidang, Prof. Dr. H. Khoiruddin, MA dan Dr. Phil. Sahiron, MA sebagai promotor, Prof. Dr. Euis Nurlailawati, MA, Dr. H. Agus Moh Najib, M.Ag dan Dr. Samsul Hadi, M.Ag sebagai penguji.
Disertasi ini mengkaji pemikiran Muhammad Syahrur tentang konsep milku al-yamin dalam konteks saat ini. Menurut Syahrur, hubungan seksual nonmarital dalam batasan tertentu sah (boleh) dan melanggar syariat. Alasannya, Alquran membolehkan hubungan seksual tuan laki-laki dengan budak wanitanya tanpa ikatan (akad) nikah dengan konsep milku al-yamin.
Karena saat ini budak tidak ada, maka konsep ini mesti diperluas maknanya sesuai dengan konteks saat ini. Milku al-Yamin tidak berarti lagi budak wanita, namun suatu hubungan sukarela antara seorang pria dewasa dan seorang wanita dewasa, bukan hubungan kekerabatan, untuk memperoleh keturunan dan untuk selamanya, terbatas pada batasan seks antara kedua belah pihak. Inilah pemikiran Syahrur mengenai konsep al-yamin sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Aziz dalam kesimpulan disertasinya.
Menurut Syahrur, hubungan seksual disebut zina jika dilakukan secara paksa atau di tempat publik. Namun jika hubungan ini dilakukan di tempat privat, berlandaskan suka sama suka, keduanya sudah dewasa, dan niatnya tulus maka tidak bisa disebut zina. Dengan demikian, hubungan seksual tersebut halal. Karena hari ini tidak ada budak, maka hubungan seksual dengan partner atau teman tanpa ikatan nikah itu boleh. Cukup dengan kesepakatan kedua belah pihak, perbuatan zina seperti nikah mut'ah (kawin kontrak), seks bebas (free sex), kumpul kebo, nikah friend (hubungan seksual persahabatan) dan sejenisnya menjadi sah.
Sayangnya, Abdul Azis menyetujui pemikiran Syahrur. Dia tidak mengkritisi dan membantahnya. Bahkan, memuji pemikiran konsep Syahrur dan merekomendasikannya sebagai dasar untuk pembaharuan hukum perdata dan pidana Islam di Indonesia. Inilah bahaya disertasinya. Seandainya dia mengkritisi dan membantahnya, maka disertasinya tidak bermasalah. Justru memberi manfaat dan kontribusi bagi agama dan umat Islam. Maka, tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bahaya disertasi ini terhadap agama dan umat Islam dan akibatnya bagi penulis disertasi dan orang-orang yang meluluskannya.
Menyimpang dari Islam
Kesimpulan disertasi ini telah menyimpang dari Islam. Dalam Islam, zina adalah hubungan seksual tanpa ikatan nikah atau milku al-yamin. Hukum zina itu haram (dosa besar). Para ulama sepakat dengan definisi ini. Definisi ini merujuk kepada Alquran (Al-Mukminun ayat 5-7 dan surat al-Ma'aarij ayat 29-31). Alquran hanya membolehkan hubungan seksual dengan dua sebab yaitu ikatan (akad) nikah dan milku al-yamin. Maka, Alquran mengharamkan zina.
Namun, dalam disertasinya, Abdul Azis membolehkan hubungan seksual tanpa ikatan nikah mengikuti konsep milku al-yamin Syahrur. Dengan kata lain, dia dan "guru"nya Syahrur telah menghalalkan zina. Maka, pemikiran ini telah menyimpang dari Islam karena bertentangan dengan Alqur'an, as-Sunnah, dan ijma' yang mengharamkan zina. Dengan kata lain, pemikiran dalam disertasi ini sesat dan menyesatkan.
Islam telah mengharamkan zina berdasarkan Alquran, As-Sunnah dan ijma’. Di antara ayat-ayat Alquran yang mengharamkan zina yaitu surat Al-Israa ayat 32, Al-Furqaan ayat 68-69, Al-Mukminun ayat 5-7, al-Ma'aarij ayat 29-31, dan lainnya.
Adapun hadits banyak, di antaranya sabda Rasululah saw: "Dosa apakah yang paling besar?" Beliau menjawab, Engkau mempersekutukan Allah padahal dialah Dia-lah yang telah menciptakanmu." Kemudian si penanya bertanya lagi, "Kemudian dosa apa lagi?" Beliau saw menjawab, "engkau membunuh anakmu karena takut ia (anakmu) makan bersamamu." Si penanya bertanya kembali, "Kemudian dosa apa lagi?" Beliau saw bersabda, "Engkau berzina dengan istri tetanggamu." (HR. Al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi dan An-Nasai). Rasulullah Saw juga bersabda: "Ada empat golongan manusia yang akan dimurkai oleh Allah: Pedagang yang suka bersumpah, orang miskin yang sombong, orang tua yang berzina dan pemimpin yang jahat." (HR. An-Nasa'i dan sanad-sanadnya shahih).
Bahkan Islam mensyariatkan hukuman bagi pelaku zina sebagaimana ditegaskan dalam Alquran (An-Nuur: 2). Juga dalam hadits Rasulullah saw: "Ambillah dariku, ambillah dariku, Allah telah memberikan jalan bagi mereka. Penzina yang bujang dengan gadis hukumannya seratus kali cambuk dan diasingkan selama setahun. Dan penzina yang duda dengan janda hukumannya seratus kali cambuk dan rajam." (HR. Muslim, At-Tirmizi, dan Abu Daud).
Adapun ijma', para ulama telah sepakat mengatakan bahwa zina itu haram. Maka mereka membuat kaidah Fiqh terkait hukum zina yaitu “Al-Ashlu fii al-abdhaa’ at-tahriim” (Hukum asal pada masalah seks adalah haram). Maknanya, hukum asal hubungan seksual itu haram sampai ada sebab-sebab yang jelas dan tanpa meragukan bagi yang menghalalkannya yaitu adanya akad nikah dan milku yamin.
Membahayakan Aqidah
Menghalalkan zina dengan sadar atau sengaja bisa mengakibatkan penulis disertasi dan orang-orang yang menyetujuinya dan meluluskannya (yaitu ketua sidang, ketua pasca sarjana, para promotor dan penguji) menjadi murtad (kafir). Karena, keharaman zina itu qath'i (jelas) dan shahih berdasarkan Alqur'an, As-Sunnah dan ijma'. Para ulama berijma' (sepakat) mengatakan bahwa menghalalkan apa yang diharamkan oleh Alqur'an dan hadits shahih yang telah disepakati keharamannya oleh para ulama atau sebaliknya hukumnya murtad. Silakan rujuk kitab-kitab Fiqh (bab murtad), dan aqidah (bab pembatal keimanan/keislaman).
Persoalan keharaman zina ini termasuk persoalan aqidah, karena berdasarkan Al-Quran dan hadits shahih. Terlebih lagi, dalil keharaman zina itu qath’i dan shahih yang disepakati keharamannya oleh para ulama. Jadi, bukan persoalan khilafiah dan bukan pula ranah ijtihad. Maka persoalan ini tidak bisa dianggap “persoalan biasa” dalam ranah pemikiran dan keilmuan. Ini persoalan aqidah yang ma’luuman bidh dharuurah (wajib diketahui dan diyakini oleh setiap muslim). Oleh karena itu, setiap muslim pasti tahu keharaman zina. Maka dengan menghalalkan zina, keislaman mereka ini patut dipertanyakan.
Sepatutnya disertasi yang ditulis oleh seorang muslim sesuai dengan Islam dan memperkuat keimanannya serta bermanfaat bagi agama dan umat Islam. Bukan merusak ajaran Islam dan membahayakan umat Islam. Ini menunjukkan bahwa aqidah penulis disertasi dan orang-orang yang terlibat dalam meloloskan dan meluluskannya itu “bermasalah” atau “bervirus”. Akibatnya, merusak ajaran Islam dan aqidah ummat, di samping merusak dan “mematikan” keimanan atau aqidah mereka sendiri. Inilah bahaya paham liberal. Mengingat bahaya paham liberal terhadap ajaran Islam dan aqidah umat Islam, maka para ulama sedunia telah ijma’ (sepakat) menfatwakan kesesatan paham liberal, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Melanggar Maqashid Asy-Syari'ah
Disertasi ini juga telah melanggar maqashid asy-syariah. Dalam konsep ini, hukum Islam bertujuan untuk mendatangkan mashlahah (kebaikan/manfaat) dan menolak mafsadah (keburukan/kerugian). Oleh karena itu, Islam menjaga adh-dharuuriyyat al-khams (lima pokok kehidupan manusia) yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Sebahagian ulama menambahkan poin keenam yaitu kehormatan. Inilah maqashid asy-syari'ah dalam semua hukum Islam. Untuk menjaga maqashid ini, Islam mensyariatkan hukuman tertentu bagi pelaku kriminal terhadap adh-dharuuriyyat al-khams ini. Hukuman ini disebut hudud.
Disertasi yang menghalalkan zina ini telah membuka jalan bagi seks bebas, nikah mut'ah, kumpul kebo, nikah friend, dan sejenisnya. Tujuannya untuk menyalurkan nafsu seksual semata, bukan untuk memperoleh keturunan dan bertanggungjawab (berkeluarga). Semua ini zina yang diharamkan dalam Islam, karena merusak nasab dan keturunan. Maka, ini melanggar maqashid asy-syari’ah. Tidak ada khilafiah para ulama dalam hal ini. Silakan rujuk kitab-kitab Maqashid asy-Syari'ah dan Fiqh yang ditulis oleh para ulama.
Mengingat zina sangat berbahaya bagi masyarakat dan umat, maka Islam tidak hanya mengharamkannya, namun juga menganggap zina sebagai suatu jarimah (kriminal) dan jinayat (pidana) yang patut diberi sanksi yang tegas. Pelakunya dapat dikriminalkan atau dipidanakan karena telah melakukan pelanggaran terhadap nasab/keturunan yang merupakan salah satu dari adh-dharuuriyyat al-khams yang dijaga dan dilindungi oleh Islam.
Oleh karena itu, Islam mensyariatkan hukuman zina yaitu rajam (dilempari dengan batu sampai mati) bagi orang muhshan (yang menikah) dan cambuk 100 kali bagi orang ghair muhshan (yang belum menikah). Tujuannya, untuk menjaga keturunan dan nasab, memberi pelajaran bagi pelakunya agar tidak mengulanginya, mencegah orang lain dari zina, menjaga kehidupan rumah tangga, mencegah penyakit berbahaya dan menular, menjaga masyarakat dari bahaya zina, dan sebagainya. Inilah maqashid asy-syari'ah dalam hukuman zina tersebut.
Metodologi Bermasalah dan Tidak Ilmiah
Secara metodologi, disertasi ini juga bermasalah. Disertasi ini menggunakan pendekatan Hermeneutika. Metodologi ini dipakai untuk menafsirkan Bible yang merupakan produk manusia yang disesuaikan dengan konteks tempat dan zaman. Metodologi ini sangat berbahaya jika digunakan untuk menafsirkan Alquran, karena bisa mengubah ajaran Islam yang qath’i dan tsabit (permanen) yang tidak memerlukan ijtihad atau penafsiran baru.
Dalam kajian Hermeneutika, Alquran tidak boleh dipahami secara tekstual, namun harus secara kontekstual. Maknanya, Alquran harus disesuaikan dengan konteks zaman dan tempat saat ini. Akibatnya, kebenaran Alquran menjadi relatif. Selain itu, ajaran Islam yang qath’i harus diubah dan ditafsir dengan makna lain, karena dianggap tidak sesuai dengan konteks zaman ini. Ini sama saja menuduh Alquran tidak cocok untuk diterapkan untuk setiap zaman dan tempat. Akibatnya, Alquran tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum atau petunjuk untuk setiap zaman dan tempat. Inilah bahaya Hermeneutika dalam memahami dan menafsirkan Alquran.
Selain pendekatan Hermeneutika yang bermasalah, disertasi ini juga tidak ilmiah. Abdul aziz tidak merujuk kepada maraji' (referensi) ilmiah dari para ulama. Padahal, ulama merupakan pewaris nabi dalam keilmuan dan pemahaman agama seperti disebutkan dalam hadits. Oleh karena itu, ulama merupakan pemegang otoritas dalam pemahaman agama. Maka, kita diperintahkan untuk mengikuti ulama sebagaimana perintah Alquran (lihat QS. An-Nisa’: 59) dan hadits-hadits shahih. Namun, abdul aziz tidak merujuk kepada ulama. Akibatnya timbul kerancuan dalam berpikir yang menyimpang dari koridor Islam. Dikira ilmiah, padahal disertasinya ini “sampah” yang patut dibuang pada tempatnya dan “virus” yang berbahaya bagi agama dan umat yang patut dibasmi. Dengan kata lain, ini paham sesat berkedok ilmiah.
Sebenarnya, dari sisi kepatutan sumber referensi dikaitkan dengan Syahrur yang tidak memiliki otoritas ilmiah, maka jangankan untuk disertasi, untuk skripsi saja harusnya sudah gugur, mengingat seharusnya UIN merupakan lembaga akademik. Jika yang dasar saja runtuh, maka runtuhlah semua produk akademik dari UIN, minimal UIN Sunan Kalijaga di periode ini. Jadi, tidak membahas wilayah pendapat pun, konsekuensinya seluruh produk pemikirannya pun batal. Tidak dapat diterima.
Merujuk Kepada Selain Ulama Sesat dan Menyesatkan
Parahnya lagi, Abdul azis merujuk pemahaman agamanya bukan kepada ulama. Dia merujuk kepada Muhammad Syahrur seorang profesor (emeritus) Universitas Damaskus di bidang tehnik sipil yang aktif menulis tentang keislaman, meskipun ngawur dan menyimpang dari Islam. Syahrur yang kelahiran Damaskus pada tahun 1938 ini menempuh studi S1 tehnik sipil di negara komunis Rusia dan studi magister serta doktoral di Irlandia dalam bidang mekanika pertanahan serta rekayasa fondasi di Universitas College Dublin. Jadi, keahliannya di bidang tehnik sipil, bukan agama. Dan dia tidak memiliki maraji' atau referensi ilmiah para ulama.
Oleh karena itu, Syahrur tidak paham agama dan tidak punya kapasitas ilmu syar’i. Terlebih lagi, pendapatnya bertentangan dengan ijma' ulama. Selain itu, Syahrul dikenal sebagai seorang tokoh liberal. Bahkan, menurut para ulama dia seorang syuyu'i (komunis) dan mulhid (atheis). Maka, Syahrur tidak bisa dijadikan sebagai rujukan. Menjadikan Syahrur sebagai rujukan dalam persoalan agama merupakan kesalahan fatal dan kesesatan.
Berbicara mengenai agama, sepatutnya Abdul Azis merujuk kepada ulama, sesuai dengan perintah Allah Swt: “Maka tanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui” (An-Nahl: 43 dan An-Anbiya’: 7). Belajar agama dari orang yang bukan ulama bisa sesat dan menyesatkan. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu begitu saja, namun Allah mencabut ilmu dengan mematikan para ulama. Jika tidak ada seorangpun ulama yang tersisa, maka orang-orang menjadikan orang-orang bodoh sebagai rujukan. Maka ketika mereka ditanya (suatu persoalan agama) maka merekapun memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka telah tersesat dan menyesatkan.” (HR. Muslim).
Untuk menafsirkan Alquran, kita harus mengunakan metodologi yang benar yang telah dibuat dan diajarkan oleh para ulama yaitu ilmu Tafsir. Ilmu Tafsir telah diterima secara ijma’ oleh para ulama sebagai metodologi yang otoratif dalam menafsirkan Alquran. Menafsirkan Alquran harus dengan Alquran itu sendiri dan As-Sunnah, bukan dengan hawa nafsu atau pendapat kita. Untuk itu, kita harus paham Alquran dan As-Sunnah dan memiliki kapasitas ilmu dalam menafsirkan Alquran sebagaimana diajarkan oleh para ulama salafush shalih dari para sahabat, tabi'in dan tabiut tabi'in dan orang-orang yang mengikuti mereka.
Oleh karena itu, kita harus mengetahui berbagai disiplin ilmu yang mendukung metode ilmu tafsir yang telah dibuat dan diajarkan oleh para ulama seperti ilmu Tauhid, Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, I’rab (gramatika), Tarikh (sejarah) nasikh dan mansukh, dan lainnya. Standar ketentuan semacam itu akhirnya akan melahirkan tafsir Alquran yang benar dan dipertanggungjawabkan. Dan produk tafsir itu sendiri tidak akan keluar dari koridor ajaran Islam, sehingga Alquran shaalih li kulli zamaan wa makaan (sesuai untuk setiap zaman dan tempat) tanpa harus mengubah hukum-hukum yang telah qath’i dalam Alquran.
Kesimpulannya, disertasi ini telah membahayakan kehidupan individu muslim, rumah tangga, masyarakat dan generasi bangsa kita. Bahkan, membahayakan agama dan aqidah umat Islam dengan merusak ajaran agama dan menyesatkan umat Islam. Selain itu, juga membahayakan aqidah penulis disertasi dan orang-orang yang menyetujui dan meluluskannya dengan menyebabkan batal iman mereka atau keluar dari Islam (murtad). Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kamu membahayakan dirimu sendiri dan jangan pula membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah, Addaruquthni dan Malik). Berdasarkan hadits tersebut, maka para ulama sepakat membuat kaidah Fiqh: “Laa dharaara wa laa dhiraara” (tidak boleh melakukan kemudharatan untuk diri sendiri dan untuk orang lain) dan kaidah Fiqh: "Adh-dhararu yuzaal" (Kemudharatan itu harus dihilangkan).
Oleh karena itu, disertasi ini mesti dibatalkan dan gelar doktor penulisnya mesti dicabut. Tidak perlu direvisi, karena telah menyimpang dari Islam dan tidak ilmiah. Abdul Azis penulis disertasi dan orang-orang yang menyetujui dan meluluskan disertasinya harus bertaubat dan meminta maaf serta diberi sanksi administrasi berupa pemberhentian dari jabatan mereka sebagai rektor dan direktur pasca sarjana serta dosen. Selain itu, mereka harus dihukum dengan sanksi pidana, karena telah merusak ajaran agama dan aqidah umat Islam. Disamping itu juga menyesatkan dan meresahkan umat Islam. Ini termasuk penistaan agama, bahkan lebih berbahaya dari penistaan agama. Agar menjadi pelajaran bagi mereka sehingga tidak terulang kasus ini dan mencegah orang lain untuk berbuat seperti ini. Semoga Allah Swt memberi petunjuk dan menjaga kita dari kesesatan paham Liberal, Syi’ah, komunis dan lainnya. Amin!
Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, doktor bidang Fiqh & Ushul Fiqh pada International Islamic University Malaysia (IIUM), Dosen Fiqh & Ushul Fiqh Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dan anggota Ikatan Ulama dan Da'i Asia Tenggara
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!