Selasa, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 15 Oktober 2019 21:25 wib
5.846 views
DPR Baru, Apa Kabar RUU Bermasalah?
Oleh: Ragil Rahayu, SE
Senayan sedang sumringah. Wajah-wajah tampak cerah dengan senyum terukir indah. Aura gembira terpancar dari foto para legislator yang bertebaran di media sosial. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru telah dilantik, bahkan pimpinan dewan telah dipilih. Semua bersemangat menikmati jabatan baru. Cekrak-cekrek kamera mengabadikan momen bahagia ini. Namun rakyat di luar gedung sana tak ikut menikmati pesta. Hanya bisa menatap kelu pada anggota dewan. Sebuah tanya terukir di benak, bagaimana nasib Rancangan Undang-undang di tangan DPR baru?
Saat para anggota dewan bergembira, di luar pagar, anak bangsa sedang demo memperjuangkan perbaikan negara. Berhari-hari mereka demo. Mahasiswa, pelajar, buruh, sopir ojek online, hingga buruh semuanya tumplek di jalan. Tuntutan mereka adalah menolak revisi UU KPK serta menolak pengesahan RUU bermasalah yakni Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Ketenagakerjaan.
Isi RUU Bermasalah
Terkait Revisi UU KPK, ada pasal-pasal yang melemahkan posisi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi. Adapun RKUHP, salah satu yang bermasalah adalah dugaan akan memanjakan koruptor. Sejumlah pasal yang mengatur tindak pidana korupsi di RKUHP justru dilengkapi hukuman yang lebih ringan dibanding UU Tipikor. Sedangkan dalam RUU Pertanahan, beberapa pasal rentan mengkriminalisasi masyarakat. Salah satunya Pasal 91 yang akan banyak memberikan legitimasi kepada aparat, petugas Kementerian ATR, dan polisi untuk mempidana masyarakat.
RUU Pemasyarakatan juga mendapat kritik habis-habisan dari masyarakat, karena dianggap akan memanjakan koruptor dengan sejumlah pasal yang kontroversial. Misalnya, mempermudah napi korupsi dapat remisi. Masyarakat juga menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang dinilai tidak berpihak pada pekerja. Sejumlah organisasi masyarakat juga menolak RUU Minerba karena terkesan kejar tayang dan diduga hanya untuk mengakomodir kepentingan sesaat.
DPR Baru, Sistem Lama
Atas berbagai penolakan dari masyarakat tersebut akankah anggota DPR yang baru akan mengkaji ulang secara mendalam hingga menghasilkan Undang-undang yang pro-rakyat? Ehm, rakyat sebaiknya tak terjebak euforia ini. Memang banyak wajah baru di DPR, termasuk yang 'bening-bening' seperti Krisdayanti dan Mulan Jameela. Namun, jangan lupa, banyak juga wajah lama yang sudah diketahui catatan hitamnya di periode sebelumnya. Bahkan figur ketua DPR saja diragukan kapabilitasnya oleh masyarakat.
Ada juga seorang anggota dewan berinisial YZ yang beberapa tahun lalu heboh di media karena kasus video mesum dengan seorang pedangdut berinisial ME. Banyak anggota dewan juga terindikasi terlibat kasus rasuah, meski belum 'tercyduk' KPK. Begitu negatifnya citra anggota dewan di mata rakyat sampai-sampai mahasiswa menyebutnya Dewan Perampok Rakyat.
Selain kualitas personal yang sejak awal diragukan, sistem yang menjadi basis pembuatan Undang-undang pun tak ada perubahan. Sistem demokrasi nan sarat kepentingan partai tetap menjadi metode baku pembahasan legislasi. Berlindung dibalik 'vox populi, vox dei', namun nyatanya 'suara pemegang modal, suara tuhan'.
Politik uang sudah menjadi tradisi, kepentingan menjadi tujuan abadi, kecurangan selalu dimaklumi dan bahkan direstui. Pandangan sekular memungkinkan semua ini karena halal haram tak lagi dipakai. Pembuatan aturan tak mengacu pada kebenaran, tapi kepentingan pribadi dan partai. Kebebasan yang diagungkan demokrasi nyatanya adalah kebebasan untuk memperkaya diri dan partai. Bukan kebebasan menegakkan kebenaran.
Hasil dari proses legislasi yang katanya demokratis ini adalah produk Undang-undang yang didominasi syahwat kekuasaan. Alih-alih menyalurkan aspirasi rakyat, produk legislasi justru mengesahkan perampokan terhadap kekayaan rakyat. Tengok saja RUU Minerba yang disinyalir memuluskan perpanjangan sejumlah perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang sudah dan akan berakhir dalam waktu dekat. Juga UU KPK, RKUHP dan RUU Pemasyarakatan yang semua kompak melindungi koruptor. Lantas, rakyat mana yang ingin korupsi dilanggengkan? Tentu tak ada. Inilah bukti Undang-undang produk demokrasi gagal sejak awal untuk mengurusi kepentingan rakyat.
Undang-undang dalam Islam, Wujudkan Keadilan
Andai saja proses pembuatan Undang-undang menggunakan metode Islam, bisa dijamin hasilnya adalah aturan yang adil dan pro rakyat. Pertama, dari sisi sumber, hukum Islam bersumber dari wahyu yang termaktub dalam Alquran dan hadis Nabi Saw. Kebenaran wahyu akan menjadi input penting yang menentukan kualitas output berupa Undang-undang. Allah Swt berfirman tentang kebenaran Alquran :
“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada yang lebih lurus.” (al-Isra’: 9)
Rasulullah Saw bersabda tentang kebenaran Alquran dan hadis, “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara [pusaka]. Kalian tidak akan tersesat selama-lamanya selagi kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitab Allah (Alquran) dan sunah Rasul.” (HR Malik, Muslim dan Ash-hab al-Sunan).
Aspek kedua adalah standard. Islam menjadikan halal-haram sebagai satu-satunya standard perancangan hukum. Tidak boleh ada kepentingan maupun hawa nafsu yang menyetir pembahasan aturan. Rasulullah Saw. menerangkan hal ini dalam hadis, "Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa yang Ia diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma'fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikit pun." (Riwayat Hakim dan Bazzar)
Aspek ketiga adalah proses. Islam menggariskan bahwa aturan yang diadopsi kepala negara haruslah hasil ijtihad. Jadi bukan hasil kompromi dari berbagai kepentingan lalu dicari 'win-win solution' yang akhirnya jauh dari kebenaran. Ijtihad hanya boleh dilakukan oleh mujtahid yang telah diakui sanad keilmuannya, ketsiqohannya terhadap syariat, kecerdasannya dalam memahami fakta dan nash, juga kemuliaan adabnya. Sehingga ijtihad terhindar dari orang-orang bodoh, fasik dan zalim.
Ini sungguh kontras dengan syarat anggota DPR yang pendidikan minimalnya setara SMA, padahal umumnya masyarakat sudah berijazah sarjana. Demikianlah metode Islam dalam perancangan Undang-undang. Bersumber dari wahyu Ilahi, Zat yang Maha Benar, berpatokan pada standard baku yakni halal-haram dan melalui proses berkualitas yakni ijtihad syar'i. Hasilnya adalah aturan yang adil dan menyejahterakan rakyat.
Tokoh Islam yang menjadi cermin keagungan aturan Islam adalah Sultan Sulaiman al-Qonuni. Ia menyusun tata perundangan dengan berdiskusi bersama Syaikh Abu as-Suud Effendi. Sultan Sulaiman berusaha agar tata perundangan yang ia rancang tidak melenceng dari garis-garis yang dibataskan syariat Islam. Undang-undang tersebut dikenal dengan Qanun Namuhu Sulthan Sulaiman atau Undang-Undang Sultan Sulaiman. Undang-undang yang ia susun ini diterapkan hingga abad ke-13 H atau abad ke-19 M. Karena konsistennya Sultan Sulaiman dalam menerapkan undang-undang yang ia susun, ia pun diberi julukan al-Qonuni.
Di masa Sultan Sulaiman, Utsmaniyah mengalami masa keemasan. Wilayahnya terbentang luas hingga Eropa. Wajarlah barat memberi julukan yang menunjukkan kekaguman yakni The Magnificent. Jika kita mau meneladani beliau, Indonesia juga bisa meraih masa keemasannya dan mewujudkan cita-cita rakyat berupa keadilan dan kesejahteraan. Wallahu a`lam. (rf/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!