Selasa, 27 Rabiul Akhir 1446 H / 13 Februari 2024 21:00 wib
31.755 views
Serahkan Amanah Memimpin Kepada Ahlinya
Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam- dan keluarganya.
Perlu diketahui bahwa mengurusi umat manusia tergolong kewajiban agama yang sangat agung dan besar keutamannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan agama tidak bisa ditegakkan dengan sempurna kecuali dengannya. Kesejahteraan umat manusia juga tidak bisa diwujudkan dengan sempurna kecuali mereka berada di bawah kepemimpinan yang adil.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyebutkan 7 orang yang akan diistimewakan di hari kiamat dengan naungan di mahsyar, saat itu tidak ada naungan kecuali naungan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Yang pertama adalah pemimpin yang adil. (Muttafaq ‘alaih)
Tidak lain, karena kebaikan dan kemaslahatan yang dihasilkan dari kepemimpinan yang adil di satu negeri akan dirasakan secara luas rakyat dan negara.
Sebab itu, al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan,
لو أن لي دعوة مستجابة ما صيرتها الا في الامام
“Seandainya aku memiliki satu doa yang mustajab niscaya aku tujukan untuk pemimpin.” Beliau ditanya tentang alasannya, lalu menjawab:
متى ما صيرتها في نفسي لم تحزني ومتى صيرتها في الامام فصلاح الامام صلاح العباد والبلاد
saat aku tujukan doa itu untuk diriku maka kebaikannya hanya berlaku untukku saja dan saat aku tujukan doa itu untuk pemimpin maka kebaikan pemimpin itu menjadi kebaikan untuk rakyat dan negeri.” (Hilyah Aulia, Abu Nu’aim: 8/91)
Pentingnya masalah kepemimpinan ini, maka Allah jadikan ini sebagai amanah publik yang Allah perintahkan untuk diserahkan kepada yang ahli. Secara tidak langsung, tidak boleh kepada “sembarang orang”.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya." (QS. Al-Nisa': 58) Konteks ayat ini, bahwa khitab dalam ayat tersebut bersifat umum yang mengharuskan untuk melaksanakan beragam amanat, di antaranya amanat hukum. Umat Islam berkewajiban melaksanakan amanat ini kepada ahlinya dan menyerahkanya kepada siapa yang akan menegakkannya dengan benar (baca,-pemimpin). (Maa Laa Yasa’ al-Muslima Jahluhu: 126)
Imam al-Syaukani dalam Fathul Qadir menjelaskan bahwa dzahir ayat ini, khitabnya menyasar seluruh manusia dalam semua bentuk amanat. Amanat menyerahkan kepemimpinan bentuk amanat pertama yang disebutkan dalam ayat.
Demikian pula yang disebutkan Syaikh al-Sa’diy dalam tafsirnya,
ويدخل في ذلك أمانات الولايات
“Masuk dalam kategori amanat-amanat itu adalah amanat wilayah (kekuasaan).”
Karenanya, hendaknya setiap kita bertanggungjawab terhadap amanah kepemimpinan ini untuk diserahkan kepada seseorang yang ahli untuk mengembannya. Ahli di sini tentu yang bisa merealisakan fungsi kepemimpinan dalam Islam, yaitu: menjaga agama dan merealisasikan kemaslahatan dunia untuk rakyatnya.
Dalam konteks penyerahan (pemilihan) kepemimpinan bersifat nasional di Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Sebab itu, mari menjadi umat yang bertanggungjawab dalam menentukan kepemimpinan nasional (memilih Presiden dan Wakilnya) dengan menggunakan hak suara dan menyerahkan amanah memimpin kepada yang paling ahli mengembannya.
. . . Karenanya, hendaknya setiap kita bertanggungjawab terhadap amanah kepemimpinan ini untuk diserahkan kepada seseorang yang ahli untuk mengembannya. . .
Keiteria Pemimpin Pilihan
Sebagai bentuk tanggungjawab terhadap penunaian amanah mengangkat pemimpin, hendaknya kita mengetahui kriterianya yang telah digariskan dalam Islam.
Pertama, orang beriman yang mengamalkan ajaran Islam. Ini ditunjukkan oleh beberapa ayat dalam Al-Qur’an, di antaranya: Allah Ta'ala berfirman,
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
"Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)." (QS. Al-Maidah: 55)
Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengjadikan orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang beriman.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَمِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِعَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?" (QS. Al-Nisa': 144) dan masih banyak ayat yang serupa.
Kedua, berilmu, berwawasan luas, dan memiliki kedewasaan. Dengan ini dia akan bisa menjalankan kepemimpinan sesuai fungsinya dengan adil.
Ini ditunjukkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang berlindung dari pemimpin yang kekanak-kanakan dan jahil.
تعوَّذَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وآلِه وسلَّمَ من إمارةِ السُّفَهاء
"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam meminta perlindungan - kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala- dari kepemimpinan orang-orang bodoh." (HR. Ibnu Hibban & At-Tabrani)
Dalam riwayat lain, disebutkan para ulama Salaf seringkali mengulang-ulang do'a:
اَللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنْ إِمَارةِ الصِّبْيَانِ وَالسُّفَهَاءِ
“Ya Allah, sungguh kami berlindung kepada-Mu dari pemimpin yang kekanak-kanakan dan dari pemimpin yang bodoh.”
Ketiga, menonjol sifat sabar yang yakin terhadap kuasa Allah Subhanahu wa Ta'ala. inilah dua syarat mendapatkan petunjuk saat menjabat sebagai pemimpin yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ
"Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami." (QS. As-Sajdah: 24)
Keempat, memiliki sifat kasih sayang dan welas asih kepada rakyat. Sifat ini yang akan mendorong pemimpin sungguh memikirkan kebaikan dan kemaslahatan umum; terutama rakat kecil. Dia tidak dzalim dan semena-mena terhadap rakyatnya. Tidak pula hanya mementingkan diri pribadai, keluarga, dan dinastinya.
Sifat ini terkandung dalam doa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang panjang,
ولا تسلِّط علَينا مَن لا يرحَمُنا
“Dan janganlah Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak menyayangi kami.” (HR. Al-Tirmidzi)
Maksudnya: jangan jadikan kami dipimpin orang-orang kafir atau pemimpin yang zalim atau pemimpin yang dungu lagi jahil. Jangan jadikan mereka berkuasa dan memimpin kami. Jangan jadikan kami dikalahkan oleh mereka dan diatur mereka karena mereka tidak akan mengasihi dan welas asih kepada rakyatnya. Wallahu a’lam. [PurWD/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!