Senin, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 11 Mei 2015 11:16 wib
5.267 views
Polri Versus KPK Momentum Liberalisasi Lembaga Penegak Hukum
Pers Rilis:
Polri Versus KPK Momentum Liberalisasi Lembaga Penegak Hukum
Oleh : Abu Fikri (Aktivis Gerakan Revivalis Indonesia)
Pertikaian KPK Versus Polri nampaknya belum berhenti. Terkait dengan fenomena friksi antar kedua lembaga itu baru-baru ini. Yang ditunjukkan dengan kasus penangkapan Novel Baswedan.
Seorang penyidik senior KPK yang sedang menangani kasus dugaan korupsi Irjen Djoko Susilo. Novel ditangkap Polri di bawah komando Kabareskrim Budi Waseso.
Hingga menambah deretan panjang unsur KPK yang ditangkap berkasus hukum. Diantaranya Abraham Samad, Bambang Widjojanto dan Deny Indrayana.
Pertikaian kedua institusi penegak hukum tersebut menyiratkan bagaimana wajah sistem dan rezim hukum yang sebenarnya. Berkembang pendapat mengenai persoalan ini, baik yang melihatnya sebagai persoalan kasus hukum an sich.
Maupun sebagai kasus hukum yang sarat dengan politisasi. Misalnya, mengaitkannya dengan kasus penanganan pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara maupun penegak hukum.
Belum lagi persoalan ini dilihat juga dari basis kepentingan pembelaan dari yang berkasus. Baik kepentingan pembelaan terhadap Polri maupun KPK. Tidak saja berkembang beragam pendapat tentang cara pandang terhadap persoalan ini.
Melainkan juga perbedaan pandangan mengenai solusinya. Mulai dari bagaimana penegakkan etika hukum, substansi hukum hingga soal struktur hukum tata negara yang menjelaskan hubungan relasi antar ketiga badan penegak hukum.
Kejaksaan, Polri dan KPK. Dimana ujung penyelesaian persoalan ini akan berakhir ?
Dan bagaimana seharusnya persoalan ini dilihat dan dicarikan solusi ? Tentu hal ini menjadi pertanyaan publik yang senantiasa merindukan keadilan dan kepastian hukum tegak di negeri ini.
Terlepas dari cara pandang yang berbeda, semua nampaknya sepakat bahwa wajah persoalan hukum dan penanganan kasus hukum di negeri ini sudah pada titik nadhir kebobrokannya.
Semua pihak yang berada pada pusaran persoalan hukum dan penanganan kasus hukum serasa sulit keluar. Dipaksa mau tidak mau, tidak bisa terbebas dari segala kepentingan keberpihakan.
Dan praktis hampir semua yang terlibat langsung maupun tidak langsung berpotensi berkasus hukum. Hingga nampaknya kekhawatiran masa depan bobroknya wajah hukum di negeri ini sampai dalam bentuk kekhawatiran lahirnya pengadilan rakyat.
Sebuah pengadilan penuh dengan anarkisme, buah implikasi dari ketidakpercayaan rakyat terhadap rezim dan sistem hukum yang berjalan.
Statement penangguhan penahanan Novel oleh Jokowi sebagai pimpinan tertinggi eksekutif dinilai intervensif terhadap penanganan kasus Novel. Begitu pula dengan JK yang dianggap berseberangan dan se-mainstream dengan Polri.
Termasuk perbedaan sikap di antara pimpinan KPK dan Polri yang direpresentasikan oleh Indriyanto Seno Aji dengan Kabareskrim Budi Waseso. Menambah deretan fakta bukti carut marutnya wajah hukum di negeri gemah ripah loh jinawi ini.
Bagaimana sebenarnya mendudukkan pandangan terhadap berkembangnya persoalan ini.
Setidaknya ada beberapa hal penting sebagai berikut :
Pertama, carut marutnya penanganan hukum di negeri ini sesungguhnya bukan hanya berdiri sendiri meski dengan pledoi apapun tidak bisa dipungkiri selalu terkait dengan kepentingan politik tertentu.
Kedua, ujung akhir dari masa depan penanganan hukum ini diantaranya adalah kooptasi lembaga penegak hukum yang satu terhadap lembaga penegak hukum yang lain. Atau penanganan kasus hukum sekarang dilakukan diantara kubangan persoalan hukum di kalangan penegak hukum itu sendiri.
Semua bisa melihat dan menonton gratis bahwa konsentrasi persoalan hukum sesungguhnya justru terjadi di organ Kejaksaan, Polri dan KPK.
Ketiga, jika tidak dalam bentuk sebagaimana point kedua di atas maka ujung akhir dari masa depan penegakkan hukum adalah dalam bentuk pengadilan rakyat atau revolusi rakyat.
Siapa yang memperoleh manfaat dari situasi ini tentu mereka yang berkasus hukum. Dan mereka yang meyakini revolusi rakyat sebagai jalan perubahan pembenahan sistem.
Keempat, jika tidak kedua dan ketiga maka mungkinkah sebagaimana bidang atau sektor strategis yang lain. Tidak saja dalam konteks konten atau substansi hukumnya yang terliberalisasi. Melainkan infrastruktur penanganan hukum lembaga-lembaga penegak hukum negara sudah tidak bisa diharapkan dan dipercaya lagi akankah terjadi sebuah fenomena swastanisasi lembaga penegakkan hukum.
Seperti yang terjadi di Amerika Serikat misalnya. Yakni rekruitmen para penyidik untuk kasus tindak pidana korupsi di bawah kendali FBI. Ini artinya liberalisasi terjadi bukan saja pada substansi hukumnya melainkan juga terjadi pada infrastruktur lembaga penegakkan hukumnya.
Jika benar itu yang terjadi maka liberalisasi sistemik semua sektor termasuk sektor hukum benar-benar mencengkeram kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini. Sebuah kehidupan hukum dimana antara akselerasi persoalan hukumnya lebih besar daripada kinerja penyelesaian hukum.
Kenyataan inilah yang harusnya menjadi fakta keyakinan dalam bentuk realitas tanda-tanda kekuasaan Allah SWT dimana tidak ada hukum yang mampu menyelesaikan persoalan kehidupan manusia melainkan hukum Allah SWT yang memuat syareah dan khilafah.
Wallahu a'lam bis shawab.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!