Selasa, 4 Rabiul Akhir 1446 H / 21 Mei 2024 13:53 wib
4.664 views
Benarkah Janin adalah Parasit bagi Ibu yang Mengandung?
Oleh: Ameena N
Di sebuah platform diskusi, seseorang membagikan pengalamannya ketika berkonsultasi dengan dokter. Dokter tersebut menyebut bahwa janin itu ‘parasit’ secara harfiah lantaran sifat alaminya yang menyerap nutrisi sang ibu ketika dalam kandungan. Ternyata, banyak netizen yang menganggap serius hal ini lalu pro. Mereka sepakat bahwa bayi adalah satu parasit yang merugikan ibunya karena semasa di kandungan, dia menyerap nutrisi dan merusak tubuh sang ibu ketika selesai dilahirkan. Setelah semua diskusi pro tersebut, sontak orang-orang yang memiliki pandangan kontra pun banyak yang menimpali dengan narasi ketidaksetujuan.
Apakah benar bayi adalah parasit?
Kenyataannya, bayi bukanlah parasit, dan tidak pantas disebut parasit. Menurut wikipedia, parasit adalah organisme yang hidup pada atau di dalam makhluk hidup lain (disebut inang) dengan menyerap nutrisi, tanpa memberi bantuan atau manfaat lain padanya.
Garis bawahi kalimat menyerap nutrisi tanpa memberi bantuan atau manfaat padanya (inang yang dihinggapi). Definisi kata parasit sangat bertentangan dengan peran janin dalam kandungan sang ibu. Respon tubuh ibu ketika menyambut kehadiran sang bayi tidaklah menentangnya atau bahkan pasrah begitu saja selayaknya korban parasit.
Masa kehamilan adalah masa di mana sang bayi dan sang ibu saling memberikan manfaat, yang mana hubungan ini bersifat mutualistik. Ketika bayi ada di kandungan sang ibu, lapisan dinding rahimnya menebal. Janin menyerap nutrisi sang ibu, dan sebagai gantinya, sang bayi memberikan sebagian dari selnya kepada sang ibu, yang mana dari sel-sel tersebut bermanfaat untuk perbaikan organ-organ tubuh dan menambah imunitas sang ibu sejak plasentanya terbentuk. Tak peduli apakah sang bayi akan berakhir lahir ke dunia atau tidak, sang ibu akan tetap mendapatkan manfaat dari kehadirannya tersebut.
“Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, apa yang kurang sempurna dan apa yang bertambah dalam rahim. Dan segala sesuatu ada ukuran di sisiNya.” (Ar-Ra’d: 8)
Menyebut bayi parasit hanya karena sang bayi menyerap nutrisi sang ibu, lantas merusak tubuh sang ibu adalah kekeliruan. Satu satu ahli parasit dari Florida State University menentang penyebutan parasit pada janin, karena dianggap tidak sesuai dan tidak pantas. Baginya, parasit dan janin adalah jenis dan spesies yang berbeda. Walaupun katakanlah memang kehamilan membuat seorang wanita harus melalui banyak sekali kesakitan dan ketidaknyamanan, tetap saja, sifat bayi dan parasit sangat jauh berbed. Hal ini mengingat manfaat yang diberi oleh sang janin ketika dalam kandungan dan setelah dilahirkan sangatlah banyak. Saat di dalam kandungan dia memberikan banyak sekali hormon dan imunitas baru yang akan dibutuhkan oleh sang ibu di kemudian hari. Ketika ia lahir, ia memberikan kebahagiaan dan manfaat dari emosional kepada ibu dan orang-orang di sekitarnya.
“Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ali Imran: 6)
Bayi dan ibu adalah satu spesies yang sama, yang mana sang ibu sendiri pernah menjalani proses yang kini disebut parasit itu. Dari paragraf di atas pun, kita bisa simpulkan bahwa kondisi hubungan antara ibu dan janin bukanlah kondisi hubungan parasitisme, melainkan simbiosis mutualisme. Tidak hanya menguntungkan satu pihak, namun juga kedua pihak bersangkutan. Jika janin adalah parasit, maka kita semua adalah parasit. Tidak ada inang yang akan melindungi dan memberikan banyak sekali kasih sayangnya pada parasit yang merugikannya. Tidak akan pernah pula Allah memerintah para orang tua tersebut agar bertanggung jawab, mendidik, dan membesarkan anak dengan baik jika benar mereka adalah parasit. Karena parasit bukan untuk dipelihara, melainkan dibuang. Maka dari itu, sebutan kata parasit pada bayi sama sekali tidak cocok dari segi mana pun—secara harfiah, metafora, maupun analogi.
Penyebutan parasit terhadap bayi ini seringnya dipakai oleh kaum feminis yang memang sangat anti terhadap apa-apa yang sudah menjadi fitrahnya manusia, khususnya wanita. Fitrah wanita adalah menstruasi, mengandung, melahirkan, lalu menyusui. Yang mana hal ini tidak Allah berikan kepada laki-laki. Jika pengungkapan ini disebut sebagai ekspresi empati terhadap kaum wanita, Allah lebih empati lagi. Oleh sebab itu Allah siapkan banyak sekali hadiah dan keistimewaan bagi para wanita yang menjalankan fitrahnya tersebut. Salah satu perlakuan istimewa yang Allah minta agar seluruh manusia lakukan adalah menghormati orang tuanya, terkhusus lagi ibunya.
Dari Abu Hurairah dia berkata, “Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?’ Rasul pun menjawab, ‘Ibumu’. ‘Lalu siapa lagi?’, ‘Ibumu’. ‘Siapa lagi?’, ‘Ibumu’. ‘Siapa lagi?’, ‘Ayahmu’.”
Sekilas, opini mengenai bayi adalah parasit ini tampak seperti pengungkapan rasa empati, padahal sebenarnya sedang menghinakan semua aspek dari objek pembahasan. Allah, sang janin, dan bahkan bagi sang ibu sendiri. Karena bagi banyak sekali ibu yang sudah merasakan kehamilan dan kelahiran yang sangat luar biasa sakitnya, mereka merasa tidak terima dan terhina ketika janin yang susah payah mereka usahakan kehadirannya itu malah disebut dengan sebutan yang tidak pantas. Alih-alih parasit, bagi mereka, bayi mereka adalah hadiah serta anugerah hidup yang Allah berikan kepada mereka.
Bayi itu sebuah amanah. Tidak ada parasit yang dijadikan amanah. Bayi itu akan tumbuh dan berkembang sebagaimana orang tuanya membesarkannya. Jika pendidikan dan pembimbingannya baik sekaligus benar, maka ia akan tumbuh dengan baik dan bermanfaat. Parasit tidak memiliki konsep maupun sifat tersebut. Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!