Ahad, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 20 Mei 2018 00:04 wib
5.510 views
Tahan Jempolmu, agar Tak Tersesat Jalan Menuju Pulang
Hiruk-pikuk medsos benar-benar terasa bising. Andai seluruh status di FB, WA, cuitan di twitter, belum lagi instagram, line, dan banyak lagi aplikasi medsos lain di’suara’kan, duh...tak terbayang betapa ramainya dunia. Tanpa mereka bersuara secara gelombang audio pun, keberadaannya sungguh terasa hingar-bingar dan gegap-gempita. Ramailah intinya.
Nyaris tiap hari ada saja peristiwa yang membikin sesuatu atau seseorang menjadi viral. Hampir semua orang berlomba menekan tombol ‘share’ untuk memberitahu yang lain bahwa dia tahu lebih dulu.
Tak jarang, berita atau konten hoax juga menyebar gara-gara nafsu bernama ‘share’ tadi.
Tak jarang pula, terjadi kericuhan saat sesuatu yang hoax tadi mendapat teguran. Terjadilah ketegangan, tak jarang antar teman atau bahkan saudara. Aksi tekan tombol blokir dan ‘unfriend’ pun marak terjadi.
Bukan itu saja, efek mudahnya jempol bergerak kesana-kemari juga bisa membuat seseorang berakhir di balik jeruji besi alias penjara. Bisa dengan tuduhan ujaran kebencian, pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan atau bahkan dianggap sebagai bagian dari terorisme. Duh!
Di zaman serba fitnah seperti saat ini, alangkah baiknya bila kita menahan jempol agar tidak makin menambah runyam suasana. Ada beberapa teman yang sempat curhat, berdiskusi atau bahkan mengadu pada saya tentang kejadian A, B, atau C. Kejadian yang membuat harga dirinya sebagai umat Islam merasa tersinggung. Dan ujung pangkalnya adalah status teman yang itu semua berawal dari ringannya jempol berkomentar untuk sesuatu yang kita tidak tahu secara pasti.
Saya hanya membayangkan, satu hari saat mulut terkunci. Saat itulah bukan saja tangan, kaki dan anggota badan lain bersaksi, tapi jempol pun pastilah unjuk diri.
Bagaimana bila ternyata yang kita klik ‘share’ adalah berita hoax atau palsu?
Bagaimana bila kalimat status yang kita tuliskan ternyata menyakiti orang lain?
Parahnya lagi, bagaimana bila tulisan yang seolah heroik dengan banyak like dan share ternyata hanya memuaskan ago kita? Sementara tanpa sadar kita mengolok-olok agama sendiri.
Kita tampil dengan sok membela HAM, mengagungkan kebebasan dan pluralisme. Saat yang sama kita meludahi aturan syariat yang mulia. Kenapa? Ya hanya demi like, share dan pujian serta sanjungan sana-sini. Sukur-sukur diundang kesana-kemari dan mendapat amplop tebal sebagai ganti.
Parahnya, kesombongan itu dilanjut dengan menulis status menantang semisal ‘lebih baik masuk neraka daripada di surga bersama si A, si B atau si C’. Naudzubillah min zalik. Status rusak demikian langsung disambut dengan puja dan puji serta tepukan membahana. Ngeri!
Bila menyaksikan fakta demikian, tak putus istighfar terus menerus saat bermedsos. Semoga Allah menjaga kita, ego dan nafsu kita berikut dengan jempol ini agar tidak tersesat jalan. Itu karena setiap ketukan jempol dan jari, kelebatan niat dan isi hati, yang diwujudkan dalam perbuatan sehari-hari, adalah sebentuk dari doa dan upaya kita agar terus mendapat kasih sayang dari Allah.
Kasih sayang ini tidak diperoleh gratis. Kasih sayang ini tidak bisa disandingkan dengan ego dan kesombongan. Kasih sayang ini hanya bisa teraih saat kita menundukkan diri di depan ilahi rabbi. Karena sungguh, tanpa kasih sayang ini tentulah kita termasuk ke dalam orang-orang yang tersesat. Dan seburuk-buruknya tersesat adalah saat ujung perjalanan bukan menuju ke surgaNya.
Semoga Allah menjaga kita dari ketersesatan demikian, yaitu seburuk-buruknya jalan saat lupa arah pulang. Pulangnya seorang mukmin adalah pulang ke tempat terbaik yaitu jannah sebagai tujuan dengan ridha Allah sepanjang perjalanan. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!