Jum'at, 27 Rabiul Akhir 1446 H / 26 Januari 2024 21:48 wib
32.259 views
Banjir, Bencana Berulang Bencana Langganan
Oleh: Sunarti
"Bagai jatuh di lubang yang sama," begitu peribahasa yang tepat disematkan di negeri ini. Berbagai bencana selalu datang di awal musim hujan. Dan bagai sudah dipastikan, banjir selalu menjadi bencana langganan. Yang tentunya mendatangkan banyak korban jiwa maupun harta benda. Pantaslah jika ibarat jatuh di lubang yang sama artinya berbuat kesalahan yang sama.
Sebut saja Jakarta. Sudah jamak diketahui banjir selalu menghampiri ibukota negara ini. Tidak hanya di Jakarta, ternyata di tempat lain juga terjadi bencana yang sama, yaitu di provinsi Riau. Dari laman CNN Indonesia disebutkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau mencatat sedikitnya 6.000 orang dari sejumlah daerah di provinsi tersebut mengungsi akibat rumah, lahan dan tempat usaha mereka terdampak banjir sejak beberapa pekan terakhir ini. Dikatakannya jika yang mengungsi berasal dari Kabupaten Rokan Hilir, Kepulauan Meranti dan Kota Dumai. Sedangkan warga dari kabupaten dan kota lain yang terdampak banjir belum tercatat ada yang mengungsi.
Jumlah korban banjir di Provinsi Riau ini terus bertambah. Pihak BPBD mencatat jumlah warga provinsi itu yang mengungsi akibat banjir sudah mencapai 6.467 jiwa. BPBD juga mencatat jumlah pengungsi terbanyak adalah warga Kabupaten Rokan Hilir, yakni 3.992 orang lantaran rumah mereka terendam banjir.
Upaya yang Belum Menuai Hasil
Meskipun berbagai upaya juga telah dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta dalam pengendalian banjir, sayangnya upaya dan langkah strategis yang dilakukan, belum menemukan hasil yang optimal. Misal di ibukota Jakarta, meskipun pada tahun 2021 kemaren penanganan banjir di DKI Jakarta jauh lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya, namun secara fakta, banjir masih menghampiri ibukota negara.
Upaya pengendalian banjir dengan tidak berorientasi pada betonisasi, seperti program Grebek Lumpur, dengan mengintensifkan pengerukan selokan, kali, situ, waduk, lalu membuat olakan-olakan, memperbaiki saluran air, mengintensifkan instalasi sumur resapan atau drainase vertikal, mengimplementasikan Blue and Green yaitu taman yang menjadi kawasan tampungan air sementara intensitas hujan tinggi, penyediaan alat pengukur curah hujan dan perbaikan pompa.
Dari hasil upaya yang telah dilakukan oleh Pemprov maupun daerah-daerah lain, belum bisa menanggulangi kembalinya banjir di tahun berikutnya. Faktanya, bencana banjir hampir selalu terjadi setiap tahun di berbagai wilayah di Indonesia.
Nampaknya upaya antisipasi dan mitigasi bencana belum diperhatikan secara serius dan seksama, padahal peringatan BMKG terus diberikan. Hal ini menunjukkan ketidak seriusan penguasa dalam mengurusi rakyatnya, khususnya dalam mitigasi bencana yang rutin terjadi. Umat membutuhkan pemimpin yang mengurus kebutuhan rakyat dengan amanah dan melindungi rakyat.
Penyebab Gagalnya Penanggulangan Banjir
Dan penanggulangan bencana banjir seharusnya tidak hanya dilakukan di daerah ibukota saja. Karena, perbaikan tata ruang harus melibatkan seluruh wilayah di Indonesia. Mekanisme desain dalam sebuah kota juga harus diperhatikan yang terkait dengan pengelolaan air. Baik itu air tanah juga air dari curah hujan. Jika hanya satu wilayah yang diperbaiki, sementara wilayah lain justru merusak ekosistem, seperti penebangan hutan, penggalian wilayah pegunungan dan juga daerah lain, tanpa mempertimbangkan akibat buruknya, maka sama saja, bencana banjir dan tanah longsor akan selalu terjadi baik di wilayah setempat atau berimbas di wilayah lain.
Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah pengalihan fungsi lahan. Yang awalnya adalah hutan lindung sebagai tanah resapan, tanah pertanian sebagai penyeimbang kadar air dalam tanah beberapa tahun terakhir telah berubah menjadi lahan industri. Dengan berbagai kebijakan yang telah ditetapkan hal ini membuat alih fungsi lahan juga mempengaruhi ekosistem alam. Maka tak heran jika banjir justru akan semakin sering terjadi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007, mengatakan bahwa Pengertian Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Maka penanggulangan bencana harus dilakukan mulai dari pusat hingga daerah-daerah secara serempak denga melihat kondisi wilayah masing-masing.
Sayangnya, sistem kapitalisme telah mengebiri kemampuan negara mendapatkan dana segar dari SDA yang ada untuk penanggulangan bencana. SDA justru dikeruk oleh asing tanpa rakyat negeri ini bisa menikmati hasilnya. SDA yang bisa digunakan untuk perbaikan berbagai wilayah yang terimbas bencana yang berulang, justru tidak mendapatkan bantuan sebagai mana mestinya. Alih-alih terselesaikan bencana di tahun berikutnya, justru bencana semakin dahsyat dan menelan korban jiwa.
Sebenarnya ini membuktikan bahwa para pemangku kebijakan takluk dengan perusahaan besar yang ada di berbagai wilayah di Indonesia. Mulai dari SDA yang dikuasai asing, juga penebangan hutan, pemanfaatan tanah subur maupun penggalian wilayah pegunungan yang mengakibatkan banjir diikuti tanah longsor di berbagai tempat adalah bukti pemerintah yang tak berdaya terhadap para pengusaha tersebut. Ini menunjukkan ketidakberdayaan pemangku kebijakan yang nyata-nyata tidak berpihak pada rakyat, namun berpihak pada koorporat/perusahaan.
Butuh Solusi Tuntas untuk Menanggulangi Berulangnya Banjir
Bertolak belakang dengan kondisi saat ini, sistem Islam yang sempurna sebagai penjaganya akan hadir memberi solusi maksimal. Dalam perannya Khalifah sebagai pengatur urusan rakyatnya akan mengelola segala yang ada di alam untuk kepentingan umat dengan berpatokan kepada aturan Allah saja.
Tentu saja pencegahan bencana secara promotif kapada jajaran pemerintahan hingga rakyat. Diantaranya, memberi pemahaman kepada masyarakat luas tentang manfaat hutan untuk siklus alam. Hutan merupakan keindahan alam dari Sang Pencipta. Dengan fungsinya sebagai pencegah erosi akan melindungi lapisan tanah paling atas. Fungsi ini menjaga lapisan tanah tidak hanyut ketika terjadi banjir atau hujan lebat (mencegah longsor dan banjir bandang). Selain mampu mencegah erosi, hutan juga dapat menjaga lapisan bagian atas dari tanah tetap dalam kondisi sunur.
Fungsi berikutnya adalah mengatur iklim. Keberadaan hutan bisa menjaga kelembaban dan suhu udara akan tetap stabil, serta mengurangi tingkat penguapan air di dalam tanah.
Selain hal di atas hutan juga memiliki fungsi hidrologis, yaitu berperan sebagai penyimpan air di dalam tanah dan mengatur peredarannya dalam bentuk mata air. Fungsi lain yaitu hutan sangat berguna sebagai tempat hidup (ekosistem) hewan.
Upaya preventif yaitu dengan edukasi penguatan iman (wajibnya menjaga lingkungan). Perlindungan ketat terhadap hutan lindung dari para penambang liar, penebang pohon liar maupun dari kepemilikan individu dan kelompok (pengusaha) sangat dilarang. Menilik hutan adalah bagian dari kepemilikan umat yang musti kemanfaatan sepenuhnya untuk rakyat. Penebangan hutan untuk lahan perkebunan akan diatur sesuai dengan konstruktur tanah. Tidak asal tenang dan membuat ladang. Apalagi dengan menjual hutan kepada para pengusaha sungguh tidak akan dilakukan oleh penguasa.
Di sisi lain dalam usaha preventif, pemerintah akan mengadakan penelitian untuk mencegah dan mengatasi bencana (dukungan dana tak terbatas dari Baitul Mal, untuk memotivasi para peneliti demi mencari solusi terbaik). Khilafah juga akan mencegah aset negara dan umum dikuasai oleh individu atau korporat.
Demikian pula akan diatur tata kota yang terkait dengan pembangunan pabrik, gedung-gedung dan juga sarana lain, yang pembangunannya memakan tanah pertanian maupun hutan serapan. Akan dialokasikan pembangunan tersebut pada daerah-daerah yang memang strategis tapi tidak merugikan masyarakat secara luas. Pembangunan berdasarkan kepentingan masyarakat dalam negeri, bukan swasta apalagi pengusaha asing. Juga bukan urusan bisnis dengan hitung-hitungan keuntungan individu dan kelompok. Tapi kembali pada unsur kesejahteraan warga negara dalam negeri.
Tindakan kuratif juga akan dilakukan. Yaitu berupa tindakan tegas berupa hukuman akan penebangan liar, pembakaran ataupun pengrusakan dan hal lain yang merusak hutan. Ini dilakukan dengan memberi hukuman tegas, untuk memberi efek jera pada pelaku dan rasa takut kepada orang-orang yang hendak melakukan pengrusakan hutan. Sebab, hutan merupakan fasilitas alam yang bisa menjaga siklus air di di atas dan di dalam bumi.
Cuaca seharusnya menjadi acuan bagi Pemerintah untuk menanggulangi akibat bencana agar tidak berulang. Harus ada upaya agar kasus serupa tidak terulang. Harus ada upaya serius dari Pemerintah, dengan memaksimalkan potensi yang ada,untuk melakukan upaya promotif, preventif dan kuratif.
Demikianlah Islam juga mengatur persoalan bencana juga. Bagaimana pencegahan dan penanggulangan juga tindakan cepat-tanggap menghadapi bencana. Jadi sudah seharusnya masyarakat serta pemangku kebijakan untuk muhasabah atas segala bencana yang terjadi. Sebenarnya tidak semata kejadian alam sahaja. Namun ada peran tangan manusia yang merusaknya.
Allah SWT. berfirman yang artinya Artinya: "Telah tampak kesusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (TQS. Ar Rum: 41). Wallahu alam bisawab. (rf/voa-islam.com)
ILustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!