Rabu, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 29 September 2021 20:51 wib
4.080 views
Ironi Guru Honorer, Meniti Asa dalam Kompetisi PPPK
Oleh:
Emil Apriani, S.Kom || Pemerhati Sosial dan Generasi
GURU sejatinya adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang memiliki peran penting dalam mencerdaskan generasi bangsa. Namun, sungguh miris kondisi guru honorer di negeri ini dengan segala permasalahannya. Mulai dari ketidakjelasan status hingga jaminan kesejahteraan menjadi hal yang dilematik. Masih banyak guru berstatus tenaga honorer dengan bertopang hidup dari honor yang jauh dari cukup. Sehingga tidak sepadan dengan apa yang dikerjakan.
Para guru honorer kini tengah berjuang, meniti asa, meraih harapan untuk memperbaiki nasib dengan mengikuti ujian seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK). Mereka berharap dengan menjadi bagian dari PPPK, kehidupan mereka akan sedikit melegakan meski sebatas pegawai pemerintahan berstatus kontrak dalam jangka waktu tertentu.
Pelaksanaan seleksi kompetensi I PPPK untuk sejuta guru honorer yang telah dilaksanakan pada 13-17 September 2021 lalu, banyak menuai kritik dari berbagai pihak. Perhimpunan Pendidik dan Guru (P2G) menemukan beberapa kendala selama proses seleksi PPPK Guru 2021 berlangsung. Mulai dari kecemasan guru akibat penyampaian informasi yang kurang optimal hingga soal tes yang dirasa sulit.
Koordinator Nasional P2G, Satriawan Salim mengungkapkan ada setumpuk kendala yang dialami guru honorer selama proses seleksi berlangsung. Di antaranya mengenai kebutuhan formasi yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan dan ketidaksesuaian data. Selain itu ada nilai ambang batas (passing grade) yang terlalu tinggi, kebijakan afirmasi yang tidak adil. Dan soal tes kompetensi yang dirasa sulit di mana soal-soalnya jauh dari apa yang dipelajari dalam bimtek (detik.com, 15/09/2021).
Berbagai kisah pilu dan juga kekecewaan diungkapkan pula oleh guru honorer yang mengikuti seleksi, terutama yang berusia lanjut. Mereka yang telah puluhan tahun mengabdi, harus berkompetisi dalam ujian seleksi PPPK tersebut. Para guru honorer usia lanjut harus bersaing dengan guru honorer lainnya yang masih fresh graduate atau pun dengan yang memiliki kompetensi lebih.
Beberapa dari mereka, saat mengikuti seleksi PPPK ada yang harus dibantu dengan dipapah oleh pengawas agar bisa sampai ke ruangan untuk mengikuti ujian. Sistem ujian berbasis komputer pun menjadi kendala bagi mereka. Membuat mereka sulit untuk bisa menyelesaikan tepat waktu. Wajah yang awalnya penuh harapan, berubah dengan wajah yang penuh kecemasan dan keputusasaan bisa lulus passing grade dengan nilai yang telah ditentukan oleh pemangku kebijakan.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat Iwan Fecho pun mengkritik pengangkatan proses guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang harus melalui seleksi. Menurutnya, guru yang telah cukup masa mengabdinya seharusnya tidak mengikuti proses seleksi lagi karena akan mengalami kesulitan bersaing dengan guru yang masih muda masa pengabdiannya (sindonews.com, 19/09/2021).
Program PPPK ini seolah memberi harapan bagi guru honorer untuk mengubah statusnya agar tidak lagi menjadi guru honorer yang menjadi warga kelas dua. Gaji tak seberapa, nasib digantung tidak jelas dan kesejahteraan pun tidak didapat. Padahal tugas dan tanggung jawabnya sama dengan guru berstatus ASN.
Inilah potret memilukan guru honorer dalam sistem kapitalis, meski sudah mengabdikan waktunya untuk mengajar puluhan tahun bahkan mengajar di pelosok-pelosok daerah. Namun kehidupan dan kesejahteraan hidup mereka harus ditentukan dari lolos atau tidaknya tes PPPK.
Para guru honorer tersebut tidak serta merta mendapat perhatian dan apresiasi dari pemerintah atas pengabdiannya. Di mana jiwa pengabdian dan kesungguhan mereka dalam mengajar, mendidik dan membimbing adalah sesuatu yang tidak bisa digantikan dengan apa pun.
Tentunya berbeda dengan sistem pendidikan Islam. Hal tersebut bisa ditelusuri dari fakta sejarah peradaban Islam yang memimpin dunia selama 14 abad. Karena Islam memahami bahwa membangun generasi unggul dimulai dengan sistem pendidikan yang berkualitas.
Di dalam sistem Islam, posisi guru adalah aparatur negara. Tidak ada pembeda antara guru PNS atau honorer, semua guru dimuliakan dalam Islam. Dan pendidikan adalah hak dasar bagi seluruh warga negara, baik siswa dan para gurunya dijamin hak-haknya oleh negara.
Mengingat pentingnya pendidikan bagi masa depan generasi, maka sistem Islam memberi penghargaan tinggi termasuk di dalamnya memberikan kesejahteraan bagi para guru, yaitu berupa gaji yang tinggi dan layak. Khalifah Umar bin Khattab ra, pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah sebanyak 15 dinar, jika dikonversi ke harga emas (di mana 1 dinar = 4,25 gram emas) maka setara dengan 51 juta Rupiah tiap bulannya. Dan seluruh pembiayaan pendidikan pada Daulah Khilafah diambil dari Baitul Mal.
Oleh karenanya, dalam sistem Islam guru akan mendapatkan jaminan kesejahteraan tanpa ada perbedaan statusnya. Sehingga para guru akan fokus dalam melakukan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak generasi unggul yang dibutuhkan negara dalam membangun peradaban agung nan mulia. Wallahu’alam bishawab.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!