Rabu, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 24 Februari 2021 19:30 wib
3.104 views
Islam Solusi Kekerasan Seksual pada Perempuan
Oleh:
Fita Rahmania, S. Keb., Bd
PERJALANAN RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) baru-baru ini mendapatkan angin segar setelah kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021. Sejak awal diajukan tahun 2012, substansi RUU ini terus menuai pro kontra baik di tengah masyarakat maupun anggota dewan yang duduk di kursi DPR RI.
Komnas perempuan selaku penggagas mengaku akan mengawal ketat babak baru RUU PKS. Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan dalam wawancaranya bersama detik.com menyatakan bahwa Komnas Perempuan mengapresiasi DPR RI yang telah menetapkan RUU PKS dalam Prolegnas Prioritas 2021. RUU PKS diusulkan sejak 2012, artinya, pengesahannya sudah 8 tahun ditunda. Theresia menambahkan pihaknya bersama sejumlah organisasi terlibat penuh dalam mengadvokasi RUU tersebut. Ia menjelaskan RUU PKS ini merupakan UU yang susun berbasis dari pengalaman, pendampingan korban kekerasan seksual.
Akan tetapi, terdapat beberapa sebab urung disahkannya RUU PKS. Dilansir dari kompas.com Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan terdapat tiga poin, pertama ada perdebatan dalam menentukan judul RUU PKS. Kedua, mengenai definisi yang dinilai masih memiliki makna ganda. "Satu, mengenai judul. RUU Penghapusan Kekerasaan Seksual. Kedua, definisi. Definisi ini oleh teman-teman anggota panja menganggap bermakna ambigu. Kalau dipahami sebaliknya bisa menjadikan undang-undang ini terlalu bebas," kata Marwan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/9/2019).
Marwan mengatakan, poin ketiga yang diperdebatkan adalah terkait pidana dan pemidanaan. Menurut Marwan, anggota panitia kerja (Panja) RUU PKS tidak ingin RUU tersebut bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berdasarkan hal itu, pihaknya sudah berkonsultasi dengan Komisi III, ditemukan ada 9 pemidanaan yang sudah masuk KUHP, seperti pasal terkait pencabulan dan pemerkosaan.
Lebih dari itu, Anggota Komisi Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Wido Supraha menyebutkan enam kelemahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS.
Pertama, RUU PKS tidak komprehensif, melainkan parsial. Misalnya dalam kasus KDRT hanya berlaku di lingkungan rumah tangga, sedangkan sodomi tidak diatur. Seharusnya perlu diatur secara komprehensif.
Kedua, RUU PKS dibangun di atas narasi paham dan teori feminisme, tanpa adanya perspektif agama dan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Agama dengan feminisme radikal berseberangan.
Ketiga, RUU PKS lemah dalam pembuktian kekerasan seksual yang terjadi pada korban. Keempat, dia menyebut RUU PKS mendikte Kepolisian, Jaksa dan Hakim menabrak KUHP, UU Kehakiman, Kejaksaan dan Kepolisian. Kelima, RUU PKS memuat hukum acara pidana sendiri, terpisah dari hukum acara pidana nasional yaitu KUHP. Keenam, RUU PKS menggabungkan hukum formal dan materil. Hal ini tentu sangat ditolak oleh pakar hukum Indonesia.
Kekerasan seksual pada perempuan memang sedang tinggi-tingginya di negeri ini. Kehormatan perempuan menjadi barang mahal. Pelakunya pun bukan hanya oleh orang yang tidak dikenal, namun yang memiliki tali keluarga pun bisa melakukannya.
Solusi yang diambil tentu tidak boleh hanya berkutat pada akibat tapi harus juga sebab musabab. RUU PKS yang berfokus pada tindak kekerasan tanpa membidik persoalan penyimpangan seksual menambah titik kelemahan RUU ini. Contohnya tentang pelacuran, yang dipermasalahkan adalah kekerasan dalam praktik tersebut, bukan pelacurannya. Penyimpangan seksual semacam LGBT juga tidak diatur, padahal perilaku ini sudah sangat meresahkan masyarakat dan kasusnya semakin banyak. Jadi, apa pun tindakan seksual yang dilakukan dengan dasar suka sama suka, baik itu perzinaan, perselingkuhan, LGBT, dll., tanpa disinyalir ada kekerasan di dalamnya, akan dibiarkan saja berkembang.
Terlebih lagi, RUU PKS merupakan produk hukum yang kental dengan asas pemisahan agama dari kehidupan. Mereka tidak membiarkan agama menjadikan satu-satunya solusi dalam memberantas kekerasan seksual yang menimpa kaum perempuan. Padahal Islam telah memberikan solusi bagi kasus kejahatan seksual, baik untuk penanggulangannya (kuratif) maupun pencegahannya (preventif) dengan tiga mekanisme.
Pertama, menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan baik dalam ranah sosial maupun privat. Dasarnya adalah akidah Islam. Sistem Islam akan menutup celah bagi aktivitas yang mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Sebab, kejahatan seksual bisa dipicu rangsangan dari luar yang kemudian memengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’).
Kedua, Islam memiliki sistem kontrol sosial berupa amar makruf nahi mungkar. Saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga menyelisihi terhadap segala bentuk kemaksiatan. Tentu semuanya dilakukan dengan cara yang baik. Ketiga, Islam memiliki sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zinâ, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun, jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah).
Dengan solusi yang menyeluruh seperti yang dibawa oleh ajaran Islam, kasus kekerasan, kejahatan hingga penyimpangan sesksual dapat dihentikan. Karena, tidak ada selain aturan/ hukum Allah SWT yang layak bagi seluruh manusia.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!