Selasa, 7 Jumadil Awwal 1446 H / 17 Desember 2019 13:23 wib
4.092 views
Islam, Solusi Tuntas Persoalan Pangan
Oleh:
Riska Malinda
Anggota Tim Komunitas Muslimah Menulis Depok
KETIKA kemiskinan semakin merajalela dan daya beli masyarakat menurun, masyarakat dikejutkan dengan pemberitaan dari perum Bulog. Bulog berencana membuang 2 ribu ton beras lawas. Berita tersebut justru menambah luka bagi rakyat.
Belum lagi masalah kartel pangan, kian hari semakin mendominasi penentuan harga pangan. Kartel bertanggung jawab menentukan harga sembako, membatasi suplai barang, bahkan memonopoli pasar untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Ketika harga produk dikuasai oleh para kartel, maka akan memicu laju inflasi dalam negeri yang merugikan masyarakat secara luas.
Akibat monopoli pasar oleh para kartel juga, harga komoditi suatu barang bisa dinaikkan kapan saja sesuai kemauan para kartel. Tanpa memandang kemampuan ekonomi rakyat. Akhirnya rakyat lagi yang akan merasakan secara langsung dampak dari ulah para oknum yang ingin memperkaya diri.
Padahal, kartel merupakan kelompok produsen yang independen, bukan di bawah naungan pemerintah. Tapi mereka bisa seenaknya mendominasi harga pasar, bahkan pemerintah pun tunduk dan mendukung para kartel. Kita bisa lihat, UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat hanyalah menjadi pajangan pelengkap Undang-Undang. Pada kenyataannya 94% pasar pangan di Indonesia masih dikuasai kartel.
Aksi para kartel juga seperti didukung dengan adanya impor beras oleh Kementerian Perdagangan. Data yang dimiliki, cadangan beras di gudang Bulog mencapai 2,3 juta ton. Menurut Buwas selaku dirut perum Bulog, pihaknya telah mencadangkan berton-ton beras dan menyewa gudang-gudang di sejumlah titik hingga menghabiskan dana 45 miliar. Gudang-gudang tersebut, penuh dengan stok beras yang mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri hingga akhir 2019.
Ternyata, wacana pembuangan 2 juta ton beras Bulog ini, salah satunyakarenaada sekitar 100 ribu ton beras sudah disimpan di atas empat bulan. Sementara 20 ribu lainnya usia penyimpanan satu tahun (cnnindonesia, 29/11/2019). Tumpukan beras hingga tak layak lagi dikonsumsi menandakan tidak berhasilnya pendistribusian beras ke rakyat. Jika pendistribusiannya berhasil, tidak mungkin ada istilah penumpukan beras di Bulog, tidak mungkin pemerintah impor beras karena Indonesia adalah negara agraris, kaya akan sumber daya alamnya, tidak mungkin pula rakyat sengsara karena kelaparan bahkan sampai ada yang meregang nyawa.
Tidak dapat ditutup-tutupi, negara dengan ideologi kapitalis membuat semua urusan publik bukan lagi untuk mensejahterakan rakyat, atau menjamin kebutuhan dasar rakyat, namun, negara malah lebih terlihat sebagai fasilitator penyubur penderitaan rakyat.
Berbeda jauh sekali ketika negara menggunakan sistem berasaskan aturan Islam. Dalam Islam, para pejabat negara menjalankan pemerintahan berdasarkan ketaatan kepada Allah dan menjalankan urusan negara sesuai dengan apa yang telah Rasulullah SAW contohkan tanpa mengesampingkan fitrah sebagai manusia. Itulah pemerintahan 'ala minhajin nubuwwah.
Islam juga punya tiga solusi tuntas terkait persoalan pangan. Pertama, menutup semua akses impor pangan. Negara secara mandiri mengoptimalkan kekuatan rakyat untuk memproduksi lahan pertanian. Impor hanya dilakukan untuk komoditi yang memang tidak dapat ditanam di Indonesia dan dalam kondisi genting. Kedua, dengan metode intensifikasi meliputi penyediaan bibit-bibit unggul, obat-obat pertanian oleh negara dan mengenalkan cara-cara modern terkait pengolahan lahan pertanian. Ketiga, metode ekstensifikasi yakni dengan memperluas area tanam yang diberikan secara cuma-cuma oleh negara kepada rakyat yang mampu mengolah tanah tersebut sehingga mampu berproduksi.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!