Senin, 16 Jumadil Awwal 1446 H / 21 Desember 2015 19:21 wib
5.510 views
Tolak Freeport dengan Kekuatan
Oleh : Abu Ummah Al Makassar i (Pemerhati Sosial Politik)
Sahabat VOA-Islam...
Isu Freeport bergulir bak bola liar menggelinding. Terbaru adalah pertemuan antara keluarga JK (Wapres) dengan Chairman Freeport McMoran James Robert Moffett. Ironisnya, justru peristiwa itu di tengah tuntutan masif stop kontrak karya Freeport di tanah Papua pasca sidang MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) yang berujung pengunduran diri ketua DPR RI Setyo Novanto.
Seolah semakin menguatkan dugaan bahwa ada permainan di balik tarik ulur perpanjangan kontrak yang mencuat ke permukaan. Memancing nurani publik mempertanyakan apa sebenarnya yang terjadi selama ini dan apa pula ujung dari kisruh persoalan Freeport ini ke depan ? Sementara itu desakan agar dibentuk pansus investigasi Freeport semakin menguat. Bahkan dari kalangan aktivis diperoleh info akan ada persiapan social movement yang dikomandani oleh para tokoh nasional untuk memasygulkan pemerintahan Jokowi-JK. Yang dianggap semakin meliberalkan dan menggadaikan NKRI melalui sebuah konsolidasi bernama PETISI FREEPORT.
Sementara yang lain, berbagai kelompok sibuk dengan agenda masing-masing mengikuti arah arus air yang mengalir. Diantaranya MIUMI (Majelis Intelektual Ulama Muda Indonesia) yang menggelar Silatnas di Makassar, Sahid Hotel, sejak 18 Desember 2015 lalu yang mengusung tema "Membangun Kerukunan Beragama". Sebuah tema yang berkaitan dengan pembahasan RUU KUB (Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama) baru-baru ini. Dimana ada wacana untuk memasukkan pasal dalam RUU itu kemungkinan memberi ruang kepada munculnya agama baru.
Wacana yang sengaja dikawal oleh kelomvok liberal. Nampaknya MIUMI konsen dan getol mengawal tema ini sembari mengantarkan dan melahirkan para intelektual dan ulama muda islam yang diakui otoritasnya oleh masyarakat baik secara de facto maupun de jure. Bukan ulama atau intelektual muslim yang dimunculkan dan diakui hanya oleh kelompoknya masing-masing. Sepertinya MIUMI sedang merancang rekayasa sosial yang diharapkan mampu membendung gerakan-gerakan liberal yang sudah mengendalikan sistem dan struktur pemerintahan negeri ini hingga ke akar-akarnya.
Gerakan liberal yang berhasil mengikis habis kepekaan politik kaum muslimin dari berbagai kelompok, hingga sibuk dengan tarian gerakan masing-masing. Bahkan berdebat panjang untuk membangun persepsi dan wacana yang sama. Tentang arah perjuangan yang akan dituju. Pemandangan yang berbeda dengan kenyataan musuh-musuh islam yang telah mencengkeram dengan penjajahan berbentuk liberalisasi. Yang telah membuat seluruh kelompok-kelompok islam hanya mampu berjuang di pinggiran sebagai gerakan puritan yang bisa dihabisi dengan hanya secarik kertas keputusan politik dan kekuatan massa adu domba.
Kadang-kadang dimanfaatkan melalui kanalisasi kepentingan politik, kadang-kadang juga benar-benar akan dipunahkan melalui pendekatan ala PKI menurut info dari beberapa kalangan elit politik. Wajar, muncul kekhawatiran Rizal Ramli jika Indonesia berpotensi akan dipimpin oleh sosok seperti Hitler. Seorang Kopral yang memimpin Jerman pasca negara itu sebagai salah satu pusat dari peradaban Eropa terutama musik dan filsafat.
Pasca Pilkada Serentak yang dipenuhi oleh golput yang tinggi, penggelembungan suara pasca pilihan, politik uang, kampanye hitam, dan sengketa antar paslon di akhir rekapitulasi penghitungan suara nampaknya Freeport tetap menjadi topik utama yang menyita perhatian publik. Di antara alasannya antara lain :
Pertama, Freeport di Grasberg Papua adalah satu-satunya lokasi penambangan emas terbesar di dunia.
Kedua, jika kontrak karya itu diserahkan sesuai dengan masa akhir kontrak 2021 menurut Rizal Ramli maka terdapat cadangan emas sejumlah 17 Juta kg emas. Sebuah cadangan melebihi berkali-kali lipat jumlah cadangan BI yang hanya sejumlah 100 ribu kg emas. Bahkan melebihi jumlah cadangan emas China. Jika itu dimasukkan ke dalam BI maka bisa menyebabkan rendahnya nilai dollar terhadap rupiah sekitar Rp 2.000 sd Rp 3.000 per US Dollar.
Ketiga, terdapat dugaan praktek bagi-bagi saham para pemimpin negeri ini yang melingkupi di hampir semua titik investasi asing termasuk Freeport. Sebagaimana yang disampaikan oleh Maroef Sjamsoeddin pada kasus Setyo Novanto dan Reza Khalid. Dimana saat terjadi divestasi saham Freeport, menurut Maroef Sjamsoeddin Setyo Novanto dan Reza Khalid meminta 20 persen saham yang dimiliki oleh share holder dari bagian go public internasional. Sebagaimana diketahui hanya 9,36 persen dimiliki oleh BUMN dan sisanya menjadi milik go public internasional dan akan menjadi 30 persen melalui divestasi saham. Maroef juga menyampaikan tidak saja saham yang diminta melainkan juga proyek PLTA yang akan dikembangkan oleh Freeport di tambang bawah tanah Urumuka senilai 2,1 Milyard US Dollar. Rencananya dari rekaman pembicaraan Setyo Novanto 20 persen saham yang diminta itu akan dibagi-bagi di antara Jokowi, JK dan Luhut Pandjaitan. Sebagai catatan terhadap penambangan Freeport di Papua ini, Indonesia hanya mendapatkan royalti dan pajak yang sangat kecil. Dan sudah begitu itupun juga menjadi bancakan para elit politik.
Keempat, kebijakan terhadap Freeport melibatkan campur tangan pemerintah AS bahkan diduga melibatkan operasi CIA untuk menentukan tetap langgengnya operasi Freeport di Papua. Campur tangan itu antara lain : 1) Sebagaimana dituturkan oleh Anhar Gonggong, CIA melalui kepalanya Alain Delles telah berhasil melengserkan Soekarno yang tidak setuju pengelolaan Grasberg oleh Asing. Bahkan Alain Delles berada di balik kematian John F Kennedy karena masih ingin mempertahankan Soekarno waktu itu. CIA juga diduga kuat berada di balik peristiwa G 30 S PKI yang memunculkan Soeharto sebagai Presiden RI. Melalui rezim Orba inilah kran pintu investasi asing dibuka lebar-lebar. Operasi penambangan itu akhirnya dilakukan, 3 tahun sebelum dilakukan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) apakah menjadi Papua Merdeka atau bergabung dengan RI. 2) Bukan hanya Soekarno dilengserkan melainkan juga Gus Dur yang sangat vokal menyoroti masalah Freeport juga dilengserkan pula.
Kelima, penambangan Freeport bahkan mampu mengendalikan kebijakan negara melalui berbagai perubahan UU yang melegitimasinya. Secara kronologis, kontrak pertambangan selama 30 tahun ditanda tangani pada 5 April 1967 antara Menteri Pertambangan Slamet Bratananta dan perwakilan Freevort Sulfur. Selisih 19 tahun dari pertambangan emas oleh Newmont perusahaan milik AS juga di NTB pada tahun 1986.
Sejarah tentang UU pertambangan ini berawal pada tahun 1959 terdapat Mosi Teuku Hasan yang menuntut : I. Membentuk komisi negara urusan pertambangan yang berisi a) Menyelidiki pengolahan pertambangan di Indonesia b) Mempersiapkan rencana UU Pertambangan c) Mengatur pengolahan minyak d) Mengatur status pertambangan di Indonesia e) Menetapkan pajak dan harga minyak f) Mengusulkan pertambangan sebagai sumber penghasilan negara. II. Menunda pemberian izin dan memperpanjang eksplorasi pertambangan di Indonesia. Saat itu dibuatlah naskah RUU Pertambangan dengan semangat nasionalisasi meski ditentang oleh Bung Hatta. Euforia nasionalisasi pertambangan bekas pengelolaan Belanda dan menandai berakhirnya sistem pengelolaan tahun 1899 warisan kolonial dengan terbitnya UU Pertambangan tahun 1960 an. Sayangnya, tidak disertai oleh kesiapan manajemen dan SDM. Terjadi mismanagement dan korupsi besar-besaran saat itu.
Pada moment itulah Freeport kemudian melakukan ekspedisi hingga diteruskan dengan eksplorasi dan eksploitasi emas beserta hasil tambang lainnya termasuk uranium. UU Pertambangan kemudian mengalami beberapa perubahan menjadi UU No 36 tahun 2008 dan terakhir menjadi UU No 4 tahun 2009. Yang di dalamnya mengatur seputar berapa jumlah prosentase pajak, royalti, dan masa kerjasama serta mekanisme perpanjangan kerjasama. Semuanya benar-benar dibuat untuk membuka lebar-lebar pintu investasi asing. Bahkan baru-baru ini Jokowi di sidang APEC menyampaikan bahwa Indonesia menunggu kedatangan para investor asing secara terbuka.
Jika mencermati bagaimana kuatnya cengkeraman asing AS melalui Freeport di Papua. Di tengah profil para pemimpin baik dari kalangan legislatif maupun eksekutif yang sarat dengan conflict of interest, maka dibutuhkan kesiapan SDM dan sistem yang mampu menjawab persoalan semuanya. Tidak cukup dengan hanya dibentuk Pansus Investigasi Freeport dan Petisi Freeport jika ujung akhirnya nanti hanya memperbaiki konsesi kontrak karya.
Belajar dari sejarah maka semangat Stop Freeport harus didukung oleh kekuatan SDM, manajemen dan sistem politik yang kuat. Yang bisa melepaskan dari segala ketergantungan ekonomi dan politik serta berani menghalau segala bentuk intervensi dan invasi militer, politik dan operasi intelijen yang mencengkeram negeri ini. Wallahu a’lam bis showab. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!