Kamis, 16 Jumadil Awwal 1446 H / 10 Desember 2015 21:20 wib
15.983 views
Pilkada Serentak Hanya Memberikan Pepesan Kosong
Sahabat VOA-Islam...
Pada 9 Desember 2015 diselenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 269 daerah. Berdasarkan data di situs KPU, Pilkada serentak diikuti oleh 830 pasangan calon (paslon). Sebanyak 20 paslon di 9 propinsi, 698 paslon di 224 kabupaten dan 112 paslon di 36 Kota. Pilkada serentak membawa cacat besar karena tak sesuai aturan.
Sesuai aturan, ambang batas keterpilihan dalam Pilkada adalah 30%. Artinya, pasangan calon yang mendapat suara minimal 30% pada ranking tertinggi bisa disahkan sebagai pemenang Pilkada. Putaran kedua hanya akan dilakukan jika tak satu pun calon meraih suara sah 30% ke atas. Ketentuan ini menyimpang dari rumus 50% + 1 yang menjadi acuan universal demokrasi tentang keterwakilan mayoritas yang sah. Hasilnya, pemerintahan daerah sebenarnya didukung oleh minoritasTak Masuk Akal
Pilkada serentak hanya memberikan pepesan kosong. Hasil Pilkada Serentak pada akhirnya tak beda dari Pilkada sebelumnya. Pertama: Kekuasaan tetap dikendalikan oleh sekelompok kecil elit daerah. Kedua: Korupsi, suap dan penyalahgunaan wewenang akan tetap marak. Ketiga: Perselingkuhan penguasa dengan pengusaha akan terus berlanjut. Keempat: Akibat dari semua itu, pemimpin daerah akan lebih mengutamakan kepentingan dirinya, kelompok, partai dan pemodalnya. Sebaliknya, kepentingan dan kemaslahatan rakyat akan dipinggirkan.
Berbeda dengan demokrasi, Islam menetapkan bahwa wewenang menunjuk dan memberhentikan kepala daerah ada di tangan Khalifah/Imam sebagai kepala negara. Ia berwenang memberhentikan kepala daerah kapan saja dengan atau tanpa sebab. Hal itu ditunjukkan oleh sirah Rasul saw dan ijmak Sahabat. Dengan itu kepala daerah khususnya dan pejabat serta masyarakat umumnya paham bahwa jabatan kepala daerah adalah jabatan biasa, bisa diberhentikan kapan saja.
Dengan begitu, jabatan kepala daerah tidak akan diagungkan. Orang juga tidak akan terdorong untuk mengejar jabatan itu seperti sekarang. Lalu bagaimana dengan peran rakyat? Dalam Islam, rakyat sangat menentukan kelangsungan seorang kepala daerah. Jika penduduk suatu daerah menampakkan ketidakridhaan dan mengadukan kepala daerahnya, maka Khalifah wajib memberhentikan kepala daerah tersebut.
Dengan ketentuan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah seperti itu, pengangkatan kepala daerah dalam sistem Islam akan: Pertama, sangat efektif dan efisien, biaya sangat murah bahkan nyaris tanpa biaya. Problem biaya politik tinggi dan akibatnya tidak akan terjadi. Uang rakyat tak tersedot untuk Pilkada yang hasilnya jauh dari harapan layaknya saat ini.
Kedua, pertanggungjawaban kepala daerah akan terjamin. Kepala daerah bisa diberhentikan segera jika melakukan pelanggaran atau kezaliman, lamban dan tidak cepat tanggap, bahkan tanpa kesalahan sekalipun termasuk untuk penyegaran dan peningkatan. Program Pemerintah akan berjalan efektif. Keharmonisan pemerintah dari pusat hingga struktur aparatur paling bawah terwujud.
Ketiga, partisipasi rakyat akan tinggi dan kontrol terhadap kepala daerah akan mudah. Pada proses awal, rakyat dan wakil mereka bisa memberikan masukan sosok kepala daerah yang diinginkan. Khalifah akan sangat terdorong memenuhi aspirasi itu. Sebab, jika rakyat atau wakil mereka menampakkan ketidakridhaan atas kepala daerah itu, khalifah harus memberhentikan dia. Partisipasi rakyat dalam mengontrol kepala daerah akan bangkit.
Semua itu akan menjadi jaminan sehingga kepala daerah akan menjadi sosok penguasa daerah yang benar-benar melayani kepentingan rakyat. Namun harus diingat, hal itu hanya akan terwujud jika syariah Islam diterapkan secara kâffah. Tentu juga hanya bisa dengan sistem Islam, yaitu Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Mutrya Ningsih
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!