Kamis, 16 Jumadil Akhir 1446 H / 10 Desember 2015 13:45 wib
13.926 views
Mahar Politik Mahal, Wajah Buruk Korupsi Mengakar
Oleh: Nining Tri Satria, S.Si
(Ko. Media Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Dewan Pimpinan Daerah I Provinsi Bengkulu)
“Hidup Sedehana tak punya apa-apa tapi banyak cinta, hidup bermewah-mewah, punya segalanya tapi sengsara, seperti para “koruptor”
Indonesia dapat disebut sebagai negara dengan tingkat korupsi yang masuk dalam kategori paling luas (pervasive) di dunia. Salah satu indikatornya adalah laporan dari Transparansi Internasional yang selalu menempatkan Indonesia termasuk negara yang paling korup di dunia. Indeks tingkat korupsi di Indonesia tahun 2012 dilaporkan naik dari peringkat 100 menjadi 118.
Survei tersebut dilakuan terhadap 176 negara di seluruh dunia. Peringkat tersebut menempatkan Indonesia sebagai “jawara” korupsi di Asia. Lalu bagaimana keadaannya di tahun 2015? apakah berkurang? Saya rasa tidak.
Meskipun program antikorupsi dilakukan sejak awal reformasi, belakangan ini kasus korupsi ternyata memperlihatkan angka dan jumlah yang fantastis. Keragaman aktor dan bentuk korupsi juga semakin bervariasi. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pun mengakui adanya peningkatan kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat daerah. Modusnya pun beragam.
Setiap hari kita disajikan berita mengenai kasus korupsi yang selalu terjadi dan itu tidak hanya dilakukan oleh satu dua orang, bahkan dari pejabat desa hingga pejabat senayan. Jika sudah begini, bagaimana nasib bangsa ini kedepannya? tak ayal, kasus korupsi telah menjadi rahasia umum bagi semua orang. Praktek sesat korupsi seolah sebuah hidangan santapan lezat yang dijadikan satu tujuan untuk memperoleh kekayaan secara praktis. Dalam kondisi seperti ini uang menjadi panglima yang menjadi tujuan kepentingan manusia dan paling mempengaruhi manusia.
Salah satu penyebab perilaku korupsi dikalangan pejabat yaitu sebagai mahar mahal dalam membeli kekuasaan. Masih terus berlanjut praktek korupsi yang dilakukan pejabat senayan, kembali pejabat elit negeri ini menampakkan wajah buruknya dalam berpolitik. Praktek korupsi pun ibarat panglima yang merambah di semua lini, sampai kapan ini berakhir?
Masih teringat jelas oleh kita kasus korupsi yang menimpa petinggi partai yang berasas islam bebrapa tahun yang lalu. Meskipun masih tersangka dan harus dibuktikan oleh pengadilan, tak ayal lagi bagi kita umat Islam, “musibah” ini tentu menyedihkan. Kita juga berharap tuduhan korupsi itu tidak terbukti secara hukum. Menyedihkan karena menimpa tuduhan korupsi menimpa aktivis partai yang secara resmi mengatakan asasnya Islam. Akibatnya, serangan bukan hanya kemudian ditujukan kepada individu atau partai, tapi juga Islamnya.
Kasus ini menjadi santapan lezat kelompok-kelompok sekuler sebagai jaringan media yang mereka kuasai untuk menyerang Islam. Muncullah berbagai ‘sesat pikir’ yang menyerang Islam. Seperti tuntutan agar Islam dipisahkan dari politik, Islam dipisahkan dari partai. Tuntutan yang jelas tidak nalar dan sekaligus tidak nyambung. Bagaimana mungkin Islam yang disalahkan, padahal sangat jelas, korupsi adalah hal yang diharamkan oleh Islam. Korupsi jelas merupakan penyimpangan dari ajaran Islam.
Pertanyaannya, yang marak melakukan korupsi adalah partai sekuler, yang berideologi sekuler, kenapa tidak ada tuntutan untuk mencampakkan ideologi sekuler? Apalagi pada faktanya korupsi yang sekarang terjadi sekarang bersifat sistematis, menyeluruh, dan mengakar. Sampai-sampai ketua DPR-Marzuki Ali- mengatakan: pasti ada lagi yang korupsi , omong kosong kalau enggak! Artinya apa, korupsi yang terjadi bukan hal kasuistik tapi sistemik.
Ditambah realita sistem demokrasi yang memang mahal. Terjadilah politik transaksional, jual beli kekuasaan. Disinilah sistem sekular menjadi pangkal korupsi untuk membiayai mahar politik yang mahal atau mempertahankan kekuasaan yang membutuhkan modal yang besar. Balas budipun harus dilakukan kepada pemberi modal politik. Terjadilah lingkaran syaitan, money to politics dan politics to money. Kebijakan politik bukan lagi untuk kepentingan rakyat tapi kepentingan elit politik dan pemilik modal.
Jadi yang seharusnya dilakukan bukan menjauhkan Islam dari politik, atau memisahkan partai dari Islam. Atau memisahkan negara dari Islam. Politik justru menjadi kotor ketika Islam tidak lagi menjadi landasannya dan syariah Islam tidak lagi menjadi pedomannya. Negara sekuler gagal dengan berbagai persoalannya karena tidak berdasarkan kepada Islam dan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh.
Meskipun genderang perang tindak pidana korupsi telah ditabuh pada saat pergantian pemimpin ternyata hasilnya belum menunjukkan perubahan yang signifikan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini diakui oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad. Ia memaparkan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crimes), karena sudah merasuki ke semua lembaga negara dan semua sektor dari daerah hingga pusat.
Bahkan korupsi sudah menjadi fenomena transnasional sehingga perlu ditangani secara meluas dan komprehensif. Menyedihkan. Negeri yang mempunyai kekayaan alam yang sangat luar biasa sekarang ini sudah bukan lagi menjadi milik rakyat Indonesia. Sekarang ini perusahaan asing telah mendominasi. Bahkan memonopoli kekayaan alam Indonesia. Korupsi yang berasal dari kebijakan negara yang salah inilah yang layak disebut sebagai mega-korupsi.
Oleh karena itu, bertepatan dengan momen Hari Anti Korupsi tahun ini, mari kita sebagai generasi muda bangsa indonesia memulai untuk berfikir cerdas, kritis, peka dengan kondisi ummat dan mampu menjauhi praktek korupsi dimulai dari diri sendiri, keluarga dan ruang lingkup negara serta menginginkan perubahan sistem agar keluar dari zona keterpurukan yang berkepanjangan. Karena menyelesaikan kasus korupsi di Indonesia hanya dengan mengandalkan aparat penegak hukum yang sekarang ini ada, termasuk di dalamnya adalah KPK, tidaklah mencukupi.
Indonesia memerlukan perubahan yang besar dan yang lebih fundamental untuk menghadapi kasus-kasus korupsi yang terjadi, apalagi untuk menghadapi kejahatan korupsi korporatokrasi. Perubahan tersebut tidak lain adalah perubahan yang bersifat mendasar dan sistemik, yaitu dengan menggantikan sistem hukum sekular saat ini dengan hukum syariah di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Wâllah a’lam bi ash-shawâb. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!