Ahad, 23 Jumadil Awwal 1446 H / 6 Desember 2015 23:57 wib
15.323 views
Upaya Kontrol Populasi Dibalik Larangan Nikah Dini (Bagian 2-Selesai)
Sahabat VOA-Islam...
Bukti lainnya, pada bulan Mei 1991,pemerintah AS telah mengekspose beberapa dokumen rahasia yang isinya berupa pandangan pemerintah AS bahwa pertambahan penduduk dunia ketiga merupakan ancaman bagi kepentingan dan keamanan AS. Salah satu dokumen itu ialah instruksi Presiden AS nomor 314 tertanggal 26 November 1985 yang ditujukan kepada berbagai lembaga khusus, agar segera menekan negeri-negeri tertentu mengurangi pertumbuhan penduduknya. Diantaranya negeri-negeri itu adalah India, Mesir, Pakistan, Turki, Nigeria, Indonesia, Irak dan Palestina.
Dokumen itu juga menjelaskan pula sarana-sarana yang dapat digunakan secara bergantian, baik berupa upaya untuk meyakinkan maupun untuk memaksa negeri-negeri tersebut agar melaksanakan program pembatasan kelahiran. Diantara sarana-sarana untuk meyakinkan program tersebut, ialah memberi dorongan kepada para penjabat/tokoh masyarakat untuk memimpin program pembatasan kelahiran di negeri-negeri mereka, dengan cara mencuci otak para penduduknya agar memusnahkan seluruh faktor penghalang program pembatasan kelahiran,yakni faktor individu, sosial, keluarga, agama yang kesemuanya menganjurkan dan mendukung kelahiran.
PBB juga telah mensponsori konferensi pertama mengenai masalah ini pada tahun 1994 di Kairo untuk menganalisa masalah overpopulasi dan mengajukan sejumlah langkah untuk mengkontrolnya. Pada konferensi itu diperdebatkan sedemikian banyak pendekatan untuk mengkontrol fertilitas, seperti: dipromosikannya penggunaan alat kontrasepsi, perkembangan ekonomi liberal dan diserukannya peningkatan status wanita. Dasar dari konferensi itu adalah suatu penerimaan atas anggapan bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan kemorosotan ekonomi dan dilakukannya usaha-usaha untuk mengkontrol pertambahan penduduk di Dunia Ketiga terhambat oleh keyakinan agama yang mendorong dimilikinya keluarga yang besar dan kurangnya pendidikan bagi wanita.
Usaha-usaha semacam itu menyebabkan diterimanya pandangan bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan efek-efek negatif seperti kemerosotan dan kemandegan ekonomi, kemiskinan global, kelaparan, kerusakan lingkungan dan ketidakstabilan politik.
Di Indonesia pun telah dibuat program-program yang mendukung upaya kontrol populasi untuk berbagai komunitas yang dikomandoi BKKBN dan LSM lokal, nasional dan asing, diantaranya : untuk kalangan Ibu diterapkan KB dengan slogan hindari 4Ter (Terlalu muda,Terlalu tua, Terlalu sering dan Terlalu dekat). Untuk kalangan bapak diarahkan untuk melakukan kondom dengan segala fasilitasnya dan larangan untuk berpoligami. Untuk kalangan remaja adanya pembatasan usia dewasa 18 tahun sehingga dilarang melakukan pernikahan dini dan pendidikan seks/reproduksi dengan istilah Kesehatan Reproduksi Remaja/KRR yang merangsang munculnya naluri seksual dengan slogan “SAVE sex” dan melarang pernikahan dini.
Untuk kalangan remaja telah dikeluarkan suatu program yang disebut program Dunia RemajaKu Seru (DAKU). Awalnya program DAKU dikenal di negara Uganda, Afrika, dengan nama The World Start With Me, lalu diadaptasi ke beberapa negara seperti Thailand, Vietnam, Kenya, Afrika Selatan, Mongolia, Cina, Pakistan, serta Indonesia. Program ini seperti nya didesain untuk negara-negara yang memiliki populasi banyak. Untuk di Indonesia telah diberlakukan sebagai percontohan di Jakarta pada beberapa sekolah sejak tahun 2005, 2006, 2007 di 12 SMU-SMK Jakarta.
Program ini disosialisasikan terlebih dahulu oleh suatu LSM yaitu World Population Foundation dan LSM lokal Yayasan Pelita Ilmu. Program yang diperuntukkan bagi anak-anak usia 12-19 tahun, dirancang berbasis teknologi informasi membuat anak-anak remaja bisa langsung secara mudah mengakses berbagai modul-modulnya. Dan yang cukup menarik dalam modul-modul tersebut anak diajarkan untuk bercinta yang sehat tetapi tidak melalui pernikahan dini. Hal ini berarti legalisasi hubungan lawan jenis bahkan di fasilitasi untuk menyalurkan naluri seksualnya tanpa harus dengan pernikahan.
Selain itu anggapan bahwasanya menikah dini, kondisi pasangan belum matang secara emosional adalah alasan yang mengada-ada. Karena sesungguhnya kematangan emosional tersebut dalam arti kesiapan menanggung beban pernikahan dan adanya pemahaman yang benar terhadap sistem pergaulan adalah kewajiban negara yang harus mempersiapkannya. Dan inilah pendidikan "seks" sesungguhnya. Bukan pendidikan seks seperti saat ini yang malah merangsang remaja untuk berpikir aspek seksualitas tanpa paham hukum Allah yang berkaitan dengannya.
Sistem sekuler seperti sekarang ini, penyelenggaraan pendidikan tidak mengarahkan siswa memiliki kematangan mental (emosional dan spiritual) sehingga rawan terpelanting saat menghadapi situasi sulit. Ilmu yang dipelajari hanya menjadi memori singkat, tanpa mengerti bahwa ilmu itu harus menjadi alat untuk menyelesaikan masalah kehidupan. Sebagai contoh, siswa (laki-laki) SMP/SMA yang sudah baligh seharusnya memiliki pemahaman bahwa pada dasarnya ia diberi beban untuk menghidupi dirinya sendiri. Ia tidak harus bergantung pada walinya.
Kemandiriannya dituntut berkembang saat menjelang baligh hingga saat baligh ia memiliki konsep hidup untuk berusaha tidak menyerahkan perwaliannya kepada ayahnya. Begitu pula bagi siswi perempuan, sistem pendidikan sekuler tidak cukup memberi bekal ketrampilan hidup termasuk ketrampilan kerumah tanggaan. Dengan demikian, tatkala ia harus berumah tangga (meski di usia belia) ia tak cukup memiliki kesiapan.
Anak tak pernah mendapatkan informasi dan pelajaran bagaimana hidup bertanggung jawab. Anak tak pernah dibekali informasi tentang kewajiban-kewajiban yang harus mereka pikul begitu mereka beranjak dewasa. Tak prnah diajarkan: bagaimana menjaga kehormatan dan memelihara kemuliaan diri; bagaimana menutup aurat dan tidak menghinakan diri; bagaimana bergaul dengan lawan jenis; bagaimana memenuhi kebutuhan hidup dengan baik, halal dan bertanggung jawab; serta bagaimana peduli terhadap persoalan yang menimpa kaum muslim.
Media-media massa yang ada justru membombardir mata masyarakat dengan tayangan-tayangan pornografi, pornoaksi dan kehidupan seks bebas. Sarana internet yang seharusnya menjadi alat bantu bagi dunia pendidikan justru mempercepat hancurnya moral bangsa. Wajarlah jika anak-anak kita tak pernah dewasa, tak mampu menjadi pemimpin bahkan untuk dirinya sendiri.
Jelaslah bahwa seharusnya persoalan anak adalah tanggung jawab negara. Sebab, seluruh skenario keji untuk menghancurkan sebuah bangsa ini ada di bawah payung kebijakan-kebijakan negara.
Pandangan Islam
Islam telah memberikan keleluasaan bagi siapa saja yang sudah memiliki kemampuan untuk segera menikah dan tidak menunda-nunda pernikahan bagi yang sudah mampu yang akan dapat menghantarkannya kepada perbuatan haram. Selain itu Rasulullah telah memberikan panduan bagi laki-laki untuk mencari pasangannya yang memiliki potensi subur untuk memiliki banyak keturunan. Rasulullah jelas-jelas sangat menginginkan umatnya nanti di yaumil akhir adalah umat yang terbanyak yang dapat beliau banggakan.
Islam juga telah mengatur bahwa setiap anak memiliki rizki tersendiri bahkan Allah SWT telah memberikan rizki kepada binatang melata apalagi seorang anak manusia yang kedudukannya lebih mulia dibandingkan binatang. Anjuran untuk memiliki banyak keturunan tidaklah bermakna Islam akan menelantarkan mereka, tetapi Islam juga telah menjelaskan hak-hak anak untuk dipenuhi baik berupa kebutuhan pokok (fisik, psikis dan intelektualnya) yang dibebankan kepada orangtua, kerabat/wali dan Negara.
Negara dalam Islam menjamin kesejahteraan bagi seorang anak karena berada dalam pengasuhan dan tanggung jawab orangtua secara penuh. Bila kedua orangtuanya tidak memiliki kemampuan mendidik anak usia dini maka Negara akan memfasilitasi pembinaan kepada kedua orangtua (khususnya ibu). Sedangkan bila usia sekolah maka anak berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas secara cuma-cuma. Bila kepala keluarga kesulitan mendapatkan pekerjaan maka Negara akan memfasilitasi pemenuhan pekerjaan.
Selain itu Negara juga memberikan lingkungan yang kondusif bagi anak-anak agar tidak mengkonsumsi produk-produk yang berbahaya serta mencegah terciptanya lingkungan yang tidak sehat yang dapat membangkitkan munculnya naluri seksual. Penyelenggaraan pendidikan juga mengarahkan proses pembentukan kematangan kepribadian yang mampu berpikir dan bersikap dengan standar nilai Islam sehingga tidak mudah tergoda rangsangan-rangsangan yang muncul dari luar. Dengan penataan demikian, ketika anak menginjak usia baligh (dewasa) menjadi mukallaf, ia mampu menanggung beban kewajiban dari Sang Khaliq termasuk ketika dia menikah. Misalnya, mendidik saat seorang laki-laki sudah tidak harus bergantung kepada ayahnya, saat seorang perempuan baligh layak/ dibolehkan untuk menikah, saat mereka harus menata emosi meski berusia muda agar tidak menentang syariat dan sebagainya.
Sistem pendidikan Islam akan mampu mencetak remaja berkepribadian Islam yang memiliki kesiapan menikah saat kapanpun kesempatan itu datang . Mempersiapkan menikah seharusnya diberikan sejak mereka baligh. Sebab saat itulah mereka dianggap oleh syara’ telah layak untuk menikah. Dengan demikian, usia belia yang dianggap sebagai ancaman bagi pernikahan bukan lagi masalah. Secara fisik maupun mental mereka mampu, jika dipersiapkan. Inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian pemerintah dan kaum muslim dalam menilai berbagai persoalan yang mengiringi pernikahan dini.
Oleh karena itu, tatanan sistem Islam mempersiapkan anak-anak untuk bisa menikmati tumbuh kembang yang sempurna. Mereka bisa melalui tahapan golden age dalam binaan penuh sang ibu yang cerdas dan terdidik, dimana keberlangsungan pemenuhan hak-hak mendasarnya memang djamin oleh sistem Islam, baik kebutuhan ekonominya, pendidikan, kesehatan maupun keselamatan diri dan jiwanya. Jaminan ini, bahkan terus berlangsung hingga anak tumbuh dewasa dan menjadi “manusia sempurna”.
Sementara itu, para ibupun bisa menikmati karunia Allah berupa kemuliaan menjadi ibu tanpa harus dipusingkan dengan segala kesempitan ekonomi, beban ganda, tindak kekerasan dan pengaruh buruk lingkungan yang akan merusak keimanan dan akhlak diri dan anak-anaknya. Itu semua terwujud karena adanya jaminan pemenuhan oleh negara melalui penerapan seluruh hukum Islam yang satu sama lain saling mengukuhkan, mulai dari sistem ekonomi, politik, sosial, pendidikan, sistem sanksi, dan lain sebagainya di bawah naungan Khilafah. Mereka akan merasakan, betapa indah hidup dengan Islam dan dalam sistem Islam. Wallahu a'lam bi ash-showab. Selesai. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!