Senin, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 29 April 2019 11:37 wib
6.132 views
Garis Keras atau Kode Keras?
Oleh:
Karnali Faisal, Kolumnis
NIATNYA baik menyerukan rekonsiliasi agar masyarakat bersatu kembali. Sayangnya niat baik tersebut diimbuhi komentar yang tidak perlu.
Dalam video yang beredar, Prof Mahfud MD, sosok yang menyerukan rekonsiliasi tersebut, menyebut kemenangan Jokowi sudah tidak bisa berubah lagi.
Adapun Prabowo, dari sisi sebaran pemilih, menang di Provinsi-provinsi yang dulunya garis keras dalam agama. Provinsi-provinsi tersebut adalah Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan.
Sepertinya Prof Mahfud lupa kalau di Madura, Prabowo juga menang mutlak. Di Nusa Tenggara Barat juga sama. Prabowo menang tipis di Bengkulu dan provinsi-provinsi lainnya. Bahkan mengacu pada QC, Tribunnewscom sempat menyebut Prabowo menang di 20 Provinsi.
Dari sisi populasi, kemenangan terbesar Jokowi sebenarnya hanya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dua provinsi yang memiliki jumlah pemilih sebanyak 60 juta atau 30% dari jumlah pemilih.
Jika nanti KPU menetapkan Jokowi sebagai pemenang Pilpres, dua provinsi inilah yang sebenarnya menjadi kunci kemenangannya. Selebihnya, jika pun menang mutlak, populasinya relatif sedikit. Ini berbeda dengan Prabowo yang populasi pemilihnya relatif lebih menyebar di hampir semua provinsi.
Maka menyebut Prabowo menang di provinsi-provinsi -meski dengan embel-embel kata dulu- garis keras dalam agama, sebenarnya tidak lagi relevan. Kalaupun pernah ada kesan itu, fase waktunya sudah lebih dari 50 tahun lalu.
Dari sisi pemilih yang saat ini mayoritas berusia di bawah itu, penilaian tersebut tidak tepat sasaran. Bahkan Karni Ilyas turut meluruskan, Sumatera Barat yang masuk dalam penilaian Prof Mahfud MD, tidak termasuk dalam "dulunya garis keras dalam agama".
Mungkin Prof Mahfud MD perlu membaca ulang buku yang ditulis C. Van Dijk yang berjudul "Darul Islam: Sebuah Pemberontakan". Buku ini merupakan disertasi C. Van Dijk yang secara khusus meneliti tentang latar belakang peristiwa tersebut.
Alhasil, ketimbang mempersoalkan latar belakang sejarah dan pemahaman agama yang secara generasi sudah banyak terlupakan, mungkin lebih baik memberi masukan kepada presiden yang nanti ditetapkan sebagai pemenang.
Kekalahan Jokowi atau Prabowo di sejumlah provinsi seharusnya dimaknai sebagai "Kode Keras" dari masyarakat. Jokowi kalah di sejumlah provinsi di Sumatera, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, NTB, Sulawesi Selatan dan irisan daerah lainnya. Sedangkan Prabowo kalah telak di Jawa Tengah, NTT, Papua, serta daerah-daerah lainnya.
Mungkin perlu ada tim bagi capres terpilih untuk mengkaji kekalahan itu. Bagi Jokowi, kekalahan tersebut bagus untuk menata ulang konsep pembangunan yang selama ini sudah dijalankan. Termasuk evaluasi pertumbuhan ekonomi yang rata-rata hanya lima koma sekian persen.
Sedangkan bagi Prabowo, kekalahan di Jawa Tengah dan Jawa Timur tak perlu terlalu dirisaukan. Yang perlu dicermati justeru kekalahan di NTT, Sulawesi Utara dan Papua atau yang populer dengan sebutan Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Sejauh ini masyarakat di KTI memang sangat merasakan kepedulian Jokowi dalam berbagai bidang pembangunan. Karena itu, jika terpilih, sejauh mana pemerintahan Prabowo tetap komitmen untuk membangun KTI agar sejajar dengan Kawasan Barat Indonesia. Komitmen ini perlu agar pembangunan yang sudah dijalankan Jokowi bisa terus berkelanjutan.
Membaca "Kode Keras" seperti itu sebenarnya jauh lebih relevan ketimbang menyodorkan analisa "Garis Keras" yang memicu polemik tak berkesudahan.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!