Ahad, 23 Jumadil Awwal 1446 H / 14 April 2019 00:34 wib
5.740 views
Hak Politik Perempuan dalam Islam, Sejauh Mana?
Oleh: Undiana*
Puncak pelaksanaan pesta demokrasi tahun 2019 tinggal menghitung hari. Berbagai hiruk pikuk dalam nuansa politis kian terasa. Apalagi saat ini masih berada pada suasana kampanye dua kubu yang bertarung.
Termasuk di dalamnya adalah para calon anggota legislatif (caleg) pada berbagai tingkatan pencalonan baik DPRD kabupaten/kota, provinsi, maupun pusat. Semuanya berlomba dan bersaing ketat menuju puncak kekuasaan.
Tak terkecuali keterlibatan kaum perempuan di dalamnya. Seiring dengan kuota 30 persen keterlibatan perempuan di parlemen, membuat banyak kaum hawa ikut terjun sebagai pelaku dalam kancah pesta demokrasi ini.
Pada hakikatnya, Islam juga mengatur bahwa keterlibatan kaum perempuan dalam politik adalah suatu keharusan. Ini tidak terlepas dari keberadaan perempuan sebagai bagian dari masyarakat yang juga harus turut berkiprah dalam kehidupan masyarakat.
Dalam Islam juga diatur bahwa semua kepentingan masyarakat harus diurusi oleh penguasa dengan tangan kekuasaannya. Dan untuk mengawal terlaksana atau tidaknya proses peri’ayahan (pengurusan) ini, maka butuh peran serta dari masyarakat (atau yang mewakili mereka) untuk melakukan muhasabah/koreksi atas kebijakan penguasa. Berpihak atau tidak pada urusan rakyat. Benar atau tidak pelaksanaannya sesuai syariat.
Secara lebih rinci, bentuk keterlibatan peran politik perempuan dalam Islam adalah sebagai berikut:
Pertama: Memilih dan membaiat khalifah
Dalil atas hal ini berdasarkan baiat perempuan pada masa Rasulullah saw. diantaranya dari Ayyub, dari Hafshah, dan dari Ummu ‘Athiyah berkata (yang artinya), “Kami membaiat Rasulullah Saw lalu beliau membacakan kepadaku, “Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan segala sesuatu,” dan melarang kami melakukan nihayah (histeris menangisi mayat). Karena itulah, seorang perempuan dari kami menarik tangannya lalu perempuan itu berkata: “Seseorang telah membuatku bahagia dan aku ingin membalas jasanya.” Rasulullah tidak berkata apa-apa, lalu perempuan itu pergi dan kembali lagi. (HR. Bukhari)
Dalam syarah (penjelasan) tentang hadits ini dijelaskan bahwa salah seorang dari kaum perempuan yang membaiat Rasulullah saw melepaskan genggaman/jabat tangannya karena hendak meratapi mayat sahabat yang pernah membahagiakannya. Sedangkan para perempuan lainnya tetap dalam keadaan membaiat Rasulullah.
Hadits ini sekaligus menjadi dalil bahwa para perempuan tersebut membaiat Rasulullah dan Rasulullah pun menerima membait mereka.
Sementara itu, di sisi lain juga diketahui bahwa sejarah panjang umat Islam tidak pernah terlepas dari keberadaan sistem kekhilafahan dengan seorang khalifah yang memimpin mereka. Sistem khilafah baru sirna dihapuskan secara resmi oleh Mustafa Kamal Attaturk di Turki tahun 1924. Dan kini perjuangan menuju penegakan Khilafah masih terus berlanjut. Kelak, ketika tiba saatnya khilafah tegak dan kaum Muslim diwajibkan membaiat seorang Khalifah, peran serta kaum perempuan dalam pembaiatan ini akan bisa terwujud secara real dalam kehidupan.
Kedua: Memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat
Hal ini didasarkan pada riwayat shahih dari Ibnu Hisyam, dari Ka’ab bin Malik terkait dengan Baiat Aqabah II. Disebutkan bahwa setelah 73 orang laki-laki dan dua orang perempuan dari suku Aus dan Khazraj yang datang dari Madinah melakukan baiat Aqabah II, Rasulullah memerintahkan kepada mereka untuk memilih wakil-wakil mereka. Rasuluillah berkata kepada mereka, “Datangkanlah dua belas wakil kalian yang akan bertanggungjawab atas kabilahnya masing-masing…”
Seruan ini ditujukan kepada laki-laki dan perempuan sekaligus memberikan hak untuk memilih wakil yang akan mewakili kaumnya kepada keduanya. Selain itu, Rasul juga tidak menentukan bahwa wakil rakyat yang dipilih itu harus laki-laki saja. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan punya hak yang sama untuk menjadi wakil rakyat.
Para wakil rakyat yang terpilih inilah yang nantinya akan berkumpul pada lembaga negara yang dinamakan majelis umat. Tugas majelis ini adalah melakukan koreksi atau memberikan nasihat kepada khalifah. Mereka mengajukan hal-hal yang dibutuhkan oleh rakyat sekaligus memberikan saran terkait bagaimana kebutuhan tersebut bisa terpenuhi.
Selain itu, mereka juga mengoreksi tindakan penguasa, jika dalam tatacara pemenuhan kebutuhan masyarakat yang ditetapkan khalifah terdapat hal yang bertentangan dengan syariat.
Hanya saja perlu dipahami bahwa lembaga ini bukanlah lembaga kekuasaan sebagaimana dalam sistim demokrasi. Majelis umat tidak melakukan legislasi undang-undang sebagaimana dewan perwakilan rakyat pada masa kini.
Ke tiga: Menasihati dan mengoreksi penguasa
Rasulullah saw bersabda (yang artinya): “Agama itu nasihat.” Ditanyakan, “Kepada siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Kepada Allah, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan rakyat mereka.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menegaskan bahwa jika para penguasa melakukan suatu pelanggaran terhadap hukum syariat atau terdapat kekeliruan dalam mengurusi urusan atau memenuhi kebutuhan rakyat, maka kaum muslim berkewajiban untuk melakukan muhasabah kepada penguasa supaya kesalahannya bisa diperbaiki.
Dalam hal ini, bisa disampaikan langsung kepada penguasa atau melalui wakil mereka di majelis umat. Salah satu kisah masyhur terkait hal ini adalah ketika Umar bin Khattab dikoreksi oleh seorang perempuan terkait kebijakan pembatasan jumlah mahar.
Ke empat: Melakukan amar ma’ruf nahi munkar
Amar ma’ruf nahi munkar sejatinya adalah kewajiban bagi kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 104 yang artinya: “Hendaklah ada segolongan umat diantara kalian yang meyerukan kebaikan (Islam) serta melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mereka itulah golongan yang beruntung.”
Maka, keterlibatan perempuan dalam politik juga sekaligus untuk memenuhi tuntutan ayat ini dalam menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar. Aktivitas tersebut bisa juga dijalankan melalui keterlibatannya dalam partai politik. Hanya saja, perlu dicatat bahwa keterlibatan perempuan dalam politik ini bukan untuk memuluskan jalan menjadi penguasa, sebagaimana dalam sistim demokrasi.
Terkait hal ini, Rasulullah saw sendiri telah melarang perempuan sebagai pemegang tampuk kekuasaan dengan sabda Beliau (yang artinya): “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang urusan (kekuasaan pemerintahannya) diserahkan kepada seorang perempuan.” (HR. Bukhari).
Keterlibatan perempuan dalam politik, selain untuk amar ma’ruf nahi mungkar juga supaya maksimal menjalankan perannya dalam membina kesadaran politik umat. Yaitu dengan melakukan edukasi tentang hak dan kewajiban pemimpin terhadap rakyatnya. Sehingga rakyat memahami kewajibannya sebagai rakyat. Sekaligus mengetahui hak yang harus diberikan kepada pemimpin. Sehingga mereka menjadi warga negara yang taat, namun tetap kritis dalam memberi koreksi jika ada kebijakan penguasa yang menyimpang dari ketetapan Allah dan Rasulnya. Wallahu’alam. (rf/voa-islam.com)
*Penulis adalah Pemerhati Perempuan, Keluarga dan Generasi.
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!