Rabu, 23 Jumadil Awwal 1446 H / 13 Februari 2019 19:51 wib
6.079 views
Sekolah Ibu untuk Perempuan, Perlukah?
Oleh: Fatimah Azzahra, S.Pd
Tingginya angka perceraian di Kabupaten Bandung Barat, membuat pemerintah mencetuskan ide mengadakan sekolah ibu. Program sekolah ibu ini sudah terlebih dulu diterapkan di kota Hujan, Bogor. Sekolah Ibu di Bogor didirikan berawal dari keresahan masyarakat akan fenomena sosial, salah satunya yaitu tingginya angka perceraian. Sekolah Ibu di Bogor berjalan mulai pertengahan Juli 2018. Wakil Bupati Kabupaten Bandung Barat, Hengky Kurniawan, mendapat banyak testimoni dari Para Peserta Sekolah Ibu bahwa setelah mengikuti Sekolah Ibu mereka lebih mudah berkomunikasi dan memahami suami dan anak-anak. Sehingga keharmonisan dalam rumah tangga terbangun (detik.com, 30/12/2018).
Kontroversi mulai terjadi karena pernyataan sang wakil bupati yang seolah menyalahkan ibu sebagai penyebab perceraian. Komisioner Komnas Perempuan, Riri Khariroh, menanggapi wacana Hengky. Menurutnya, program ‘Sekolah Ibu’ sangat patriarki. “Secara tidak langsung bahwa ujung tombak masalah perceraian adalah perempuan, sehingga yang harus sekolah adalah para ibu,” katanya (idntimes.com, 31/12/2018).
Pengambilan entri poin yang sensitif, perceraian, disinyalir menjadi awal mula kontroversi program sekolah ibu ini. Dengan adanya sekolah ibu, para ibu bisa lebih memahami suami dan anak-anak sehingga angka perceraian bisa ditekan. Ini logika yang muncul. Dan akhirnya terkesan bahwa ibulah sumber utama terjadinya perceraian. Padahal, faktanya banyak sekali alasan terjadinya perceraian, termasuk KDRT yang dilakukan suami. Wajar, akhirnya jika program ini menuai pro kontra.
Kebutuhan Sekolah bagi Ibu
Ummu madrasatul ula, ibu adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Mendidik satu wanita sama dengan mendidik satu generasi. Wanita itu tiang negara. Apabila wanitanya baik, maka baik pula suatu negara. Begitu penting peran wanita bagi peradaban, bagi negara, bagi generasi. Sayangnya, hal ini kurang ditopang oleh ilmu yang memadai tentang menjalani peran tersebut. Banyak sekolah, perguruan tinggi yang mengajarkan ilmu saintek, tapi masih sedikit ilmu bagi wanita dalam menjalani peran fitrahnya sebagai istri, sebagai ibu.
Dengan kesadaran masih kurangnya ilmu dan institusi yang mengadakan pendidikan bagi para ibu dan calon ibu, banyak orang, public figure yang akhirnya mengadakan sekolah orangtua. Parenting kini ramai dijumpai. Mulai dari metode A, B, hingga Z. Bahkan program sekolah orangtua atau sekolah bagi para ibu yang online pun ramai peminat. Ada Intitut Ibu Profesional yang digagas oleh Ibu Septi Peni Wulandani dan suami. Ada Kelas Belajar Jadi Suami/Istri oleh Kang Ulum dan The Pepew. Ada Bengkel Diri yang digagas oleh Ummu Balqis. Belum lagi parenting offline.
Ramainya peminat sekolah tentang rumah tangga ini, khususnya sekolah bagi para ibu, ini menjadi salah satu bukti kesadaran akan penting dan perlunya pendidikan bagi para orangtua. Untuk keberlangsungan menjalankan perannya sebagai istri/suami, sebagai orangtua, juga sebagai anak.
Harapan vs Kenyataan
Harapan yang terbesit dengan adanya sekolah-sekolah semacam sekolah ibu ini bisa menjadikan kehidupan rumah tangga lebih harmonis, lebih kokoh. Sayangnya, banyak faktor yang melatarbelakangi perpecahan dalam rumah tangga. Memang, istri memiliki peran besar. Tapi, peran suami pun tak kalah besar. Karena istri itu makmum, sedangkan suami itu imam. Imamlah yang harus membimbing makmum agar lebih baik lagi.
Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, Abdul Manaf, mayoritas penyebab perceraian didorong dua persoalan besar yang sering dialami dalam gugatan perceraian yakni persoalan ekonomi dan perselisihan yang tidak berkesudahan dalam membina mahligai rumah tangga. “Sekarang ini tampaknya trennya soal ekonomi. Sebagian besar istri-istri pada menggugat. Mohon maaf, pada umumnya kurangnya tanggung jawab (suami) menjadi penyebab tingginya angka perceraian,” ungkapnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK, Venny Octarini Siregar pun menambahkan, berdasarkan data LBH APIK, lebih fokus pada perceraian akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Menurutnya, kekerasan dalam rumah tangga tak hanya berbentuk kekerasan fisik, tetapi termasuk psikis, seksual, dan ekonomi. Itu sebabnya banyak dari pihak perempuan/istri yang berani mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. (hukumonline.com, 18/6/2018).
Angka perceraian yang kian meningkat tentu membuat kita prihatin. Istri mana yang mau menjadi janda? Semua istri pasti berharap kehidupan rumah tangganya bisa berlangsung hingga ke surga. Tapi, jika pembenahan hanya dilakukan disatu sisi. Menitik beratkan pada istri. Alangkah beratnya beban istri. Ketika mengalami KDRT ia harus menahannya demi terhindar dari status broken home. Fisik terluka, mental menderita. Akankah ibu yang mengalami hal ini bahagia dalam mendidik anak-anaknya? Di kasus lain, suami tak bertanggung jawab. Tak mampu memberikan nafkah. Sehingga istri yang maju ambil peran. Demi sesuap nasi untuk buah hati tersayang. Juga pendidikan agar masa depan anak cemerlang. Tapi, akhirnya lelah fisik terkuras untuk mengais rupiah. Kurang optimal membersamai anak di masa emasnya. Suami pun keenakan. Dan banyak lagi kasus lainnya.
Harapan kita semua saat menikah adalah mahligai rumah tangga ini akan kokoh berlayar mengarungi samudera kehidupan. Tetap bersama hingga Allah mempertemukan kembali di surga. Tapi, tak semua kasus bisa seperti itu. Justru dibolehkannya perceraian dalam agama menjadi satu solusi bagi kemelut rumah tangga yang tak berkesudahan.
Berbagi Beban Ibu
Alangkah beratnya beban ibu jika ia yang harus mencari nafkah, ia juga yang harus menjadi penanggung jawab pendidikan buah hatinya. Alangkah berat beban ibu, jika hanya ia yang harus sabar menahan deraan derita fisik dan mental. Butuh bantuan suami, butuh bantuan ayah dari buah hati. Karena ibu tetap makmum bagi ayah. Imamlah yang harus memimpin.
Disamping itu, butuh juga dukungan keluarga terdekat. Bukan dengan hinaan, cacian, makian, atau nasihat sinis. Tapi empati dan pelukan. Saling menguatkan. Masyarakat pun ambil bagian dengan keluarga untuk membentuk lingkungan yang positif. Peduli pada sesama, bukan kepo atau mau ngurusin urusan orang. Tapi, bentuk kepedulian dengan saling mengingatkan pada kebaikan, mencegah dari kemunkaran.
Tak berhenti disitu, negara sebagai pemangku kebijakan pun punya peran yang besar. Memberikan edukasi bagi para suami istri tentang peran dan kewajibannya. Menelurkan kebijakan yang pro dalam menjalani kewajiban para suami istri tersebut. Misalnya, suami wajib memberikan nafkah pada keluarganya. Maka, negara harus membuka peluang kerja bagi para suami, para lelaki agar bisa memenuhi kebutuhan ini. Bukan sebaliknya, seperti saat ini, dunia kerja justru lebih mudah menerima wanita.
Sekolah Ibu ala Islam, Perlu!
Tak salah mengadakan program Sekolah Ibu, bagus dan perlu diapresiasi. Namun, tak cukup sampai disana. Jika non pemerintah bisa membuat program yang serupa dengan sekolah ibu. Harusnya pemerintah one step ahead, bisa lebih dari itu. Memasukan kurikulum tanggung jawab, memahami peran sebagai perempuan dan laki-laki, suami istri ke dalam pendidikan formal. Mengeluarkan kebijakan yang memudahkan suami istri menjalani peran dan fungsinya secara optimal, dan lain sebagainya.
Lihatlah catatan tinta sejarah. Bagaimana Rasul dan para sahabat dalam mendidik generasi. Hingga Aisyah siap menjadi istri bahkan di usia belia. Fathimah ridho hidup sederhana dengan bimbingan suami, walau ayahnya seorang kepala negara dan Rasul. Inilah hasil pendidikan dalam binaan Islam. Akankah generasi emas ini kembali? Semua pilihan ada di tangan kita. Maukah kita kembali memeluk Islam secara kaffah atau masih setengah-setengah?
Wallahu’alam bish shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!