Kamis, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 28 Februari 2019 23:59 wib
7.751 views
Paradoks Takut Kepada Allah dalam Kepemimpinan
Oleh: Arin RM, S.Si
Takut kepada Allah adalah sifat yang layak menempati posisi istimewa di setiap hati orang beriman (mukmin). Siapapun dia, laki-laki atau perempuan, tua atau muda, kaya atau miskin, rakyat atau pemimpin negara, selama keimanan masih menghujam, maka rasa takut kepada Allah harus selalu dikedepankan. Terkait hal ini, Imam Ghazali (dalam buku Rahasia Ketajaman Mata Hati), menjelaskan bahwa mukmin ialah orang yang takut kepada Allah dengan menjaga semua anggota tubuhnya. Karena seluruh anggota tubuh menyaksiakan apa yang diperbuat dan kelak akan menjadi saksi di akhirat. Dan sifat Mahamelihat Allah tidak akan meloloskan sekecil apapun perbuatan individu dari tanggung jawab, sebagaimana firmanNya yang artinya: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (TQS. Almuddatstsir: 38).
Oleh karena itu takut kepada Allah tidak cukup apabila sekedar disimpan dalam hati, tidak cukup pula sekedar diucapkan secara lisan. Sebab hakikat takut kepada Allah itu terwujud dalam ketundukan dan kepatuhan kepada seluruh aturan Allah. Artinya siapa saja yang mengaku takut kepada Allah maka harus memodifikasi dirinya hingga menjadi hamba yang taat. Hingga tampaklah pada level individu berupa sikap dan sifatnya yang senantiasa berkepribadian Islam, sesuai antara apa yang dikatakan dan yang ditindakkan. Pada level masyarakat, takut kepada Allah tercermin dari hidupnya nuansa amar makruf di dalamnya. Sesama masyarakat akan saling menjaga agar dalam tubuhnya terbebas dari cemaran kemaksiyatan sekecil apapun. Sedangkan dalam level kenegaraan, takut kepada Allah tercermin dari diterapkannya aturan Allah semata sebagai satu-satunya aturan dalam mengelola negara.
Pada level negara ini, realisasinya teramati dari sejauh mana pemimpin mengambil aturan Islam ketika menjalankan roda pemerintahannya. Mengapa demikian? Sebab segala aturan yang berlaku dalam sebuah negara adalah hasil dari kebijakan dan pilihan yang ditentukan pemimpin. Oleh karena itu, penting sekali keberadaan pemimpin yang benar-benar takut kepada Allah, yang akan menetapkan setiap rinci kebijakannya berasaskan keimanan semata. Pemimpin seperti ini lisannya tidak akan mengeluarkan banyak kedustaan, sikapnya tidak menyalahi apa yang ia janjikan, dan tidak berani mengkhianati apa yang diamanahkan kepadanya. Pun pemimpin yang benar-benar takut Allah pasti tidak akan menolak penerapan syariahNya ataupun sekedar berani mengambil posisi memusuhi siapa saja yang lantang mendakwahkan ajaran Islam.
Dengan demikian jika ada seorang pemimpin yang mengaku takut kepada Allah, tetapi dari sisi amal perbuatannya justru melanggar aturan Allah dan memusuhi dakwah beserta aktivisnya, maka sejatinya dia berani kepada Allah. Kepada pemimpin tipe berani inilah amar makruf perlu digencarkan. Bukan dengan menyerang pribadinya, tapi dengan melakukan muhasabah atas kebijakan dan tindakannya agar kembali ke jalan yang benar. Jalan Islam yang Nabi dan sahabat contohkan, yang bersumber dari Alquran. Terlebih perintah agar mukmin patuh dan berhukum pada (syariah Islam) bertebaran dalam al-Quran, seperti dalam: QS al-Maidah [5]: 48-49; an-Nisa [4]: 59, 60 dan 65; al-Hasyr [47]: 7; al-Ahzab [33]: 36; an-Nur [24]: 63; dan lain-lain. Kewajiban ini pun berlaku untuk seluruh manusia sejak Rasulullahullah SAW diutus hingga Hari Kiamat (QS Saba` [34]: 28 dan al-Araf [7]: 158).
Muhasabah mengembalikan kepemimpinan pada jalur yang benar sejatinya merupakan upaya agar posisi pemimpin tidak ditempati oleh ruwaybidhah atau orang dungu yang berbicara tentang urusan orang banyak. Pemimpin ruwaybidhah sangat berbahaya dan sangat merusak bagi umat Islam maupun umat manusia pada umumnya. Pemimpin seperti ini dapat menjungkirbalikkan segala nilai dan tatanan. Orang jujur dikatakan pembohong. Pembohong dikatakan jujur. Pengkhianat dipercaya. Orang terpercaya malah dianggap pengkhianat. Namun sangat disayangkan, kondisi seperti ini justru banyak menggejala. Dan tentu apabila lalai dari muhasabah, akan mungkin sekali lahir deretan kepemimpinan orang-orang bodoh (imârah as-sufahâ) di kemudian hari.
Rasulullah SAW menggambarkan dengan sangat gamblang apa yang dimaksud imârah as-sufahâ`. Beliau bersabda kepada Ka'ab bin Ujrah: “Semoga Allah melindungi kamu dari imârah as-sufahâ`.” Kaab bertanya, “Apa itu imârah as-sufahâ`, wahai Rasulullahullah?” Beliau bersabda, “Mereka adalah para pemimpin sesudahku, yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak meneladani sunnahku…” (HR Ahmad, al-Hakim, dan al-Baihaqi). Karena itu kepemimpinan penguasa manapun—meski mengaku hanya takut pada Allah—yang tidak merujuk pada petunjuk dan Sunnah Nabi SAW terkategori sebagai imârah as-sufahâ’. Tegasnya, mereka adalah pemimpin yang berani meninggalkan petunjuk Alquran dan Assunnah.
Ketika Alquran dan Assunnah saja mereka berani langgar, maka kemaksiyatan lainnya pasti berani mereka kerjakan. Bahkan berbohong demi menutupi segala pelanggaran aturan Allah bisa jadi mereka jadikan kebiasaan. Jika sifat buruk itu sudah mengakar, sangat besar kemungkinan mereka kan benci jika dimuhasabahi, kendati muhasabah itu berasal dari rakyatnya sendiri. Akibatnya akan terjadi saling benci antara pemimpin dan rakyat. Persis seperti yang Rasulullah SAW sabdakan: “Sebaik-baik imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian doakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Sebaliknya seburuk-buruk imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, kalian laknat mereka dan mereka melaknat kalian” (HR Muslim).
Kepada pemimpin dengan predikat buruk seperti di atas, selain terus melakukan muhasabah kita juga harus berhati-hati. Jangan sampai turut membantunya berani kepada Allah. Sebab jika ada pemimpin yang demikian jelaslah tidak sesuai ungkapan hanya takut kepada Allah. [Arin RM].
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!