Senin, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 25 Februari 2019 22:30 wib
4.235 views
Bumbu Hoaks dalam Pemilu
Oleh: Siti Aisah (Member AMK3 Chapter Bandung)
Pemilu yang sudah didepan mata membuat para paslon presiden dan wakil presiden, mesti bersiap bertarung ide/argumentasi dimeja debat. Debat pertama sudah usai dilaksanakan bulan lalu. Dan untuk bulan ini pun debat kedua sudah dilaksanakan dengan tema global ketahanan pangan nasional, pembangunan infrastruktur dan membuat transportasi yg aman.
Menurut Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa Tony Rasyid menyatakan bahwa pada debat kedua ini lebih bermutu, juga lebih seru. Ini diantaranya karena pertama, lebih berkualitasnya pertanyaan yang disiapkan. Kedua, tema dalam debat terkait masalah-masalah yang fundamental. Yaitu pangan, energi, hutan, lingkungan dan infrastruktur. Ketiga, kesiapan masing-masing capres.
Selanjutnya ia pun menilai diantara kelebihan Jokowi adalah bahwa ia punya data. Tapi sangat disayangkan data-data yang ada tidak tepat dan tidak pula valid. Disinilah kelemahan Incumbent. Misalnya ketika Jokowi bilang sejak tiga tahun ini tak ada kebakaran hutan. Tapi pada Faktanya, media memberitakan hasil riset PKHL Kementerian Lingkungan Hidup ada 14.604,84 Ha hutan terbakar di tahun 2016. Di tahun 2017, hutan yang terbakar ada 12.127,49 Ha. Dan tahun 2018 ada 4.666.38 Ha. Bahkan Data Citra Landsat lebih parah lagi. Tahun 2016 ada 438.361 Ha.
Sedangkan pada tahun 2017 ada 165.482. Dan hingga Agustus 2018 ada 71.958 Ha lahan hutan terbakar. Kenapa dibilang tak ada kebakaran? Inilah yang dikritik keras diantaranya oleh Greenpeace Indonesia. Toni Rasyid pun menilai Disinilah kelemahan Jokowi dari dulu. Overclaim. Suka ngasal. (Voa-islam.com. Senin, 18 Februari 2019)
Data-data yang diungkap Jokowi pada debat kedua banyak terkonfirmasi salah. Tapi Apakah Jokowi akan dijerat dengan pasal yang sama dengan Ratna Sarumpaet yang telah divonis bersalah. Faktor lupa atau tidak tahu seharusnya tidak semestinya terjadi. Sebab, ia adalah seorang presiden dan juga calon presiden. Kesalahan data sangat fatal dan ‘berbahaya’. Karena semua bisa dikonfirmasi serta dicek ulang. Ibarat bumbu masakan yang menyedapkan makanan. Hoax dalam pemilu sepertinya mubah saja. Agar bisa menarik simpati dan dukungan dari rakyat.
Sejatinya bumbu dalam memasak akan membuat sedap dimakan, tapi apalah artinya jika makanan yang akan dihidangkan menjadi tak bisa dimakan. Dan mungkin saja makanan tersebut harus dibuang karena kondisinya sudah basi bahkan bau menyengat. Kondisi ini pun sama halnya dengan saat ini. Ditengah panasnya hawa pemilihan umum (pemilu) banyak yang orang yang berharap pada pemilihan pemimpin kali ini, menjadi lebih baik. Pemilihan April 2019 mendatang akan memilih para wakil rakyat, Mulai dari tataran DPD, DPRD kabupaten, DPR pusat dan hingga pemilihan orang pertama di negeri ini.
Pihak Petahana akan selalu siap jaga kursi agar tidak ada yang merebut. Sedangkan pihak oposisi pun akan mengerahkan segala tenaga untuk merebut kursi kekuasaan. Hal yang dianggap wajar jika terjadi perdebatan atau bahkan bisa saja saling sikut. Karena di alam Demokrasi saat ini, pencitraan mutlak diharuskan. Mulai dari mencari simpati ulama dan mengambil alih hati emak-emak sampai kaum melenia generasi Z. Tak hanya itu ternyata kabar burung pun tidak lewat dari itu. Ya, virus hoaxs yang meresahkan seluruh lapisan masyarakat. Bahkan presiden Indonesia telah mengundang beberapa alim ulama ke istana untuk setidaknya menangkal virus ini.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta bantuan para ulama di wilayah Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jadetabek) untuk memerangi hoaks (hoax). Ia berharap para ulama bisa memberikan pencerahan kepada umatnya terkait dampak negatif yang bisa muncul jika isu-isu hoaks bebas berkembang. “Saya ajak para ulama agar bisa memberikan wejangan dan tausiyah kepada umat, kepada santri, ingatkan masalah-masalah yang bisa timbul atau muncul," katanya saat bersilaturahmi dengan para kiai dan habib se-Jadetabek di Istana Negara, (tempo.com.Jakarta, Kamis, 7 Februari 2019).
Lebih lanjut lagi Presiden RI ke 7 ini menjelaskan bahwa musim hoaks di Indonesia biasanya terjadi jelang pemilihan umum atau pemilihan pemimpin di tingkat daerah hingga nasional. Sehingga ia pun mengajak para ulama untuk menyampaikan pada lapisan umat agar tidak terlibat dalam penyebaran fitnah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hoaks artinya berita bohong atau berita tidak bersumber. Beberapa penulis pun berpendapat bahwa hoax merupakan sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, namun “dijual” sebagai kebenaran ini menurut Silverman, lain halnya dengan Werme mendefiniskan hoaks sebagai Fake news atau berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu.
Dengan demikian Hoaks bukan sekedar misleading alias menyesatkan, tapi dalam hoaks pun terdapat informasi yang tidak memiliki landasan faktual, namun disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta. Bumbu hoaks dalam pemilu ini begitu pedasnya, seolah-olah menjadi hal yang wajar, apabila bumbu hoax terasa sangat mendominasi. Berbagai survei untuk meningkatkan elektabilitas partai atau pasangan kandidat pemimpin kali merebak bak jamur dimusim hujan. Isu yang diangkat pun mulai beragam, dua kali debat mungkin bisa menjadi alasan pemilihan saat ini. Tapi sangat disayangkan tidak ada paslon pun yang berjanji akan menerapkan islam secara sempurna dan menyeluruh diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Tidak hanya itu Tim kemenangan nasional (TKN) Antar kubu saling melempar tudingan hoaks. Ini bisa dilihat ketika salah satu Juru kampanye BPN Prabowo-Sandi, Ahmad Riza Patria menanggapi tudingan sumber hoax yang dialamatkan ke kubunya. Ia pun menyatakan sebagai berikut: "Benar kata Rocky Gerung bahwa pabrik hoax itu ada pada penguasa ya pemerintah. Karena pemerintah punya kekuasaan, membuat regulasi, punya aparat, punya media, punya logistik, punya banyaklah pemerintah,". Hal ini di ungkapan Riza kepada wartawan di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (4/2, politik.rmol.co).
Tak perlu heran akan adanya hoax yang bergentayangan apalagi di alam demokrasi saat ini dimana kebebasan menjadi dasar dari sistem ini. Dalam pandangan Demokrasi kebebasan berpendapat artinya manusia berhak (bebas) mengatakan pemikiran dan pendapat apa saja, dan berhak (bebas) menyerukan pemikiran dan pendapat apa saja dengan penuh kebebasan tanpa batas, apapun eksistensi pendapat dan pemikirannya, selain itu mereka pun bebas mengekspresikan semua itu dengan cara apapun, dengan media apa saja yang mereka miliki. Negara dan orang lain tidak berhak melarangnya dalam melakukan semua itu. (Muhsin Rodhi, dalam bukunya Hizb at-Tahrir, Tsaqafatuhu wa Manhaj uhuk fi iqamah Daulah al-Khilafah al-Islamiyyah: 2012)
Begitulah alam demokrasi yang mengusung konsep kebebasan diatas segalanya, bahkan tidak melihat lagi halal dan haramnya. Kekuasaan yang didapatinya menjadi alat represif untuk menekan siapa saja yang menghalanginya mendapatkan kembali kekuasaan. Bisa dilihat berbagai contoh undang-undang yang telah dibuat rezim ini. Pasal karet yang bisa ditarik ulur oleh penguasa, semakin mencintrakan semakin represifnya rezim ini. Pasal karet tersebut di antaranya adalah UU ITE yang sepertinya menekan pihak oposisi saja dan membungkam para habaib dan ulama dinegeri ini untuk menyampaikan pesan islam yang sebenarnya.
Sedangkan ketika pihak yang melanggar pasal adalah sekutunya, pasal tersebut tidak berpengaruh pada pihak yang berada dibelakang penguasa. Sangat disayangkan juga ketika ada sekelompok ormas yaitu Hizbut Tahrir di Indonesia yang ingin mengembalikan kehidupan islam yang sebenarnya, serta memperkenalkan lambang bendera islam liwa rayah ini disebut sebagai organisasi terlarang.
Padahal rezim saat ini hanya mencabut badan hukumnya saja dan menyatakan organisasi tersebut bubar. Artinya sebenarnya tidak ada satu putusan pengadilan pun yang memutuskan organisasi hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terlarang. Ini merupakan hoax Fitnah yang sangat keji, karena disamping itu pemerintah pun seakan menutup jalan bagi organisasi ini untuk membela diri.
Maka tidak heran jika politikus Australia Grey Fealy dalam wawancara nya dengan situs tirto.id mengatakan satu hal yang jokowi lakukan dan buruk bagi Demokrasi di Indonesia adalah ia menggunakan negara untuk melarang dan menindas oposisi islam, seperti pembubaran HTI.
Maka tidak ada alasan lagi untuk tetap mempertahankan rezim yang sudah berbohong kepada rakyatnya. Lantas apakah masih tetap percaya kepada sistem buatan manusia ini yang hanya berpandangan ganti rezim saja tidak sampai ganti sistem.
Masihkah tetap mempertahankan sistem ini yang sudah nyata bukan berasal dari islam dan tidak akan pernah menerapkan islam dalam kehidupan. Islam bukan saja sebagai agama tapi sebagai sistem yang mempunyai solusi atas semua permasalahan bangsa ini. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!