Rabu, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 7 April 2010 16:15 wib
16.281 views
Bahaya Pakai Perantara dalam Ibadah dan Doa
Di antara bentuk pembatal keislaman adalah syirik terhadap Allah dalam beribadah dan berdoa. Salah satu bentuknya adalah berkorban dan berdoa kepada selain Allah.
Seseorang yang berbuat syirik dalam ibadah tidak lepas dari tiga kondisi:
Pertama, dia meyakini bahwa orang yang dituju dalam doa punya kekuasaan tersendiri yang lepas dari kendali Allah 'Azza wa Jalla. Keyakinannya sampai pada tingkat bahwa sesembahannya tadi berhak dituju dalam doa dan diminta bantuannya yang menjadi kekhususan Allah 'Azza wa Jalla. Baik dia meyakini dia itu adalah Allah atau dia mengingkari wujud Allah dan meyakini ada tuhan selain-Nya. Contohnya, orang menyembah Namrud, Fir'aun dan orang semisal mereka yang mengingkari wujud Allah sambil meyakini tuhannya itu satu-satunya tuhan yang layak disembah.
Kedua, Dia meyakini bahwa sesembahannya itu menjadi sekutu bagi Allah dan berhak dituju dalam doa bersama Allah, lalu dia berdoa kepadanya. Contohnya, orang yang berdoa kepada Isa 'alaihis salam dan ibunya.
Ketiga, dia meyakini bahwa sesembahan itu bukan menjadi sekutu bagi Allah, dan boleh jadi dia meyakininya sebagai hamba Allah yang shaleh. Tapi dia hanya menjadikannya sebagai perantara antara dirinya dengan Allah. Perbuatan ini seperti yang dilakukan sebagian musyrikin jahiliyah yang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam diutus ketengah-tengah mereka.
Kondisi pertama dan kedua termasuk perkara syirik yang membatalkan keislaman. Sedangkan bentuk ketiga sebagian orang memandangnya bukan sebagai kesyirikan, bahkan termasuk amal ibadah dengan memuliakan orang shalih. Padahal secara hakikat ini termasuk kesyirikan yang membatalkan keislaman. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Muhammad al Tamimi dalam risalahnya, "Nawaqidl al Islam" (pembatal-pembatal keislaman).
Beliau rahimahullah menyebutkan sepuluh pembatal keislaman. Beliau menempatkan syirik sebagai pembatal Islam pertama. Sedangkan yang kedua beliau sebutkan, "orang yang menjadikan sesuatu sebagai perantara (antara dirinya dengan Allah) yang dia berdoa kepada mereka dan juga kepada Allah, beristighatsah dan bertawakkal kepadanya." Dan menurut ijma’ ulama, orang yang melakukan hal itu adalah kafir.
Syaikh Tamimi menyebutkannya secara khusus karena banyaknya orang yang terfitnah dengan syirik bentuk ini. Pembatal keislaman ini juga sering dilakukan orang-orang yang menisbatkan dirinya sebagai muslim tanpa merasa berbuat syirik. Mereka itu telah berbuat syirik dalam uluhiyah, bukan dalam rububiyyah. Bentuknya memberikan ibadah kepada selain Allah.
Al-Qur'an telah menceritakan kesyirikan bentuk ini ketika Allah membongkar kesalahan kaum musyrikin.
أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
"Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya"." (QS. Al Zumar: 3)
Kaum musyrikin zaman ini yang menyembah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, para wali dan orang-orang shalih serta berdoa kepada mereka berargumen dengan alasan ini. Mereka juga menjawab bahwa ayat di atas berkaitan dengan orang-orang yang berdoa kepada berhala-berhala dari batu yang tidak bisa menimpakan kesulitan dan tidak pula kuasa mendatangkan kebaikan. Hal ini berbeda dengan orang yang berdoa kepada orang-orang shalih, para wali, dan orang-orang bertakwa.
Dan Allah telah menjawab syubuhat ini dengan sangat jelas dan menerangkan bahwa perilaku mereka pernah juga dilakukan oleh umat-umat sebelumnya. Allah Ta'ala berfirman,
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلا تَحْوِيلاً * أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ
"Katakanlah: "Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari padamu dan tidak pula memindahkannya". Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya; sesungguhnya adzab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti." (QS. Al-Israa': 56-57)
Allah menjelaskan dengan menjadikan orang musyrikin sebagai lawan bicara, bahwa orang-orang yang disembah oleh orang musyrikin adalah para muwahhidin (ahli tauhid) yang berdoa kepada Allah, berharap rahmat-Nya dan takut terhadap adzab-Nya. Dan Allah menyucikan mereka dalam ayat ini dengan menjelaskan bahwa mereka yang disembah selain Allah adalah para wali-Nya yang ikhlas beribadah kepada-Nya dan bukan patung dari batu atau pohon korma. Walau demikian, Allah tetap menyebut para penyembahnya sebagai orang musyrik, seperti orang yang menyembah batu dan pohon.
Kaum musyrikin dalam menjadikan perantara berargumen bahwa mereka tidak menyembah sesembahan-sesembahan mereka kecuali agar mendekatkan diri mereka kepada Allah. Berarti kesyirikan ini mengandung dua hal:
Pertama, para sesembahan memiliki kemuliaan dan kedudukan terhormat di sisi Allah yang tidak dimiliki oleh selain mereka.
Kedua, orang-orang yang berdoa membutuhkan para perantara yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah, dikarenakan para perantara tadi memiliki kedudukan yang dekat dengan-Nya.
Begitu juga yang dilakukan kaum musyrikin masa sekarang. Mereka berdoa kepada para wali dan orang shalih dengan beralasan, "mereka adalah orang-orang shalih yang tidak mungkin Allah menolak permintaan mereka. Sedangkan aku orang yang banyak dosa, yang doaku tidak layak dikabulkan. Karenanya, aku berdoa kepada wali ini agar doaku dikabulkan dengan kemuliaannya ketika dia berdoa kepada Allah supaya mengabulkan permintaanku." Fenomena ini mengungkap dua hal: yang dituju dengan doa memiliki kemuliaan di sisi Allah dan orang yang berdoa membutuhkan sesembahan yang dituju dengan doa tadi karena kedudukannya yang dekat dengan Allah.Karena ini, orang yang berdoa tadi menjadi musyrik dalam mengambil perantara jika dia memohon kepada orang yang ghaib (tidak ada di hadapannya), sekecil apapun permintaan itu, sebagaimana orang yang memohon pertolongan kepada orang yang ghaib agar membantunya untuk mendaki gunung dan semisalnya.
Sama juga, ketika dia meminta kepada seseorang (yang ada di bersamanya) sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah, seperti orang yang meminta ampunan untuk dosa-dosanya atau agar terhindar dari maut dan semisalnya. Dan jika meminta kepadanya sesuatu yang mampu dikerjakannya, seperti meminta kepada dokter untuk mengobatinya yang menjadi sebab kesembuhan, dan meminta sekian rupiah kepada saudaranya, maka hal ini sifatnya mubah-mubah saja.
Petunjuk yang membedakan dua hal ini adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Yang pertama yaitu ketika beliau mendatangi orang musyrikin yang meminta sesuatu kepada berhala atau kepada orang shalih yang tidak kuasa melakukannya kecuali Allah, seperti menolong dalam menghadapi musuh, begitu juga yang meminta kepada orang yang tidak ada di hadapannya, lalu beliau menjelaskan bahwa hal itu adalah kesyirikan dan kekufuran, dan Allah juga menghukumi dalam kitabnya, bahwa hal itu termasuk syirik.
Kedua, orang-orang musyrikin meminta kepada sesama mereka kebutuhan duniawi yang telah Allah jadikan sebagai sebab alamiah, seperti orang yang minta bantuan untuk melakukan satu pekerjaan dan semisalnya. Lalu Allah tidak melarangnya, bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya melakukan hal ini juga.
Bentuk pertama adalah termasuk kesyirikan berdasarkan nash Al-Qur'an, Sunnah, dan ijma'. Sedangkan bentuk kedua, perkara yang mubah berdasarkan nash Al-Qur'an, Sunnah, dan ijma'.
Contoh bentuk kesyirikan dalam mengambil perantara adalah orang yang bertawakkal kepada perantara-perantara tersebut, dan ini termasuk syirik. Banyak kaum musyrikin masa dahulu dan sekarang terjerumus ke dalamnya, khususnya orang yang mendekatkan diri kepada sesembahan selain Allah dengan bentuk memberikan sesajen dan korban. Setelah melakukan itu, dia merasa aman dari rasa takut dan mara bahaya lalu meyakini sesembahannya itu selalu menjaganya dan tidak akan menelantarkannya setelah ia mendekatkan diri kepadanya dengan beberapa sesaji dan korban tadi. Wallahu A'lam.
Oleh: Badrul Tamam
(PurWD/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!