Selasa, 19 Jumadil Awwal 1446 H / 17 September 2024 06:13 wib
6.702 views
Dapatkah Indonesia Stop Berutang?
Oleh: Desti Ritdamaya
Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali. Begitulah gambaran perjalanan utang negara sejak merdeka yangnaik terus tak pernah bisa turun, Pengakuan kemerdekaan dari Belanda ditebus dengan warisan utang kolonial sebesar Rp 88 triliun. 31 tahun presiden Soeharto berkuasa, utang negara melesat menjadi Rp 551 triliun. Krisis ekonomi dan gejolak politik masa presiden BJ Habibie, menyebabkan utang negara naik 70 % menjadi Rp 939 triliun.
Hanya 1 tahun berkuasa, presiden Gusdur mewariskan utang yang gemuk sebesar Rp 1.271 triliun. Naik lagi menjadi Rp. 1.298 triliun pada masa presiden Megawati. Dua periode kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), utang negara naik 2 kali lipat menjadi Rp 2.608,8 triliun. Utang membengkak luar biasa terjadi dalam dua periode kepemimpinan Jokowi. Juli lalu negara menarik utang baru sebesar Rp 266,3 triliun. Angka ini melonjak sebesar 36 % dibandingkan tahun lalu. Per juli 2024, total utang negara mencapai Rp. 8.502,69 triliun. Mengalami kenaikan 325 % dari utang masa presiden SBY. Gila.
Gelagatnya presiden terpilih Prabowo akan melanjutkan ‘proyek’ utang tersebut. Karena Prabowo berniat menambah utang untuk mewujudkan janji kampanyenya. Prabowo menegaskan tak mau ada penghalang yang membelenggu dirinya terkait utang. Artinya ke depan Prabowo setali tiga uang dengan presiden sebelumnya terkait kebijakan utang negara.
Utang Negara Aman dan Rasional?
Pemerintah selalu mengklaim utang negara aman. Karena masih berada di bawah 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pemerintah berkilah tak hanya Indonesia yang berutang. Hampir 97 % negara di dunia mempunyai utang. Negara maju pun seperti China, Rusia, Amerika Serikat, Inggris, Jepang doyan utang.
Pemerintah ingin membangun infrastruktur untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperluas kebijakan fiskal untuk meningkatkan sumber daya manusia. Sedangkan pendapatan negara dari pajak dan non pajak tak memenuhi target. Pemerintah pun berdalih utang solusi rasional menutupi defisit anggaran tersebut.
Realitanya dalam 10 tahun terakhir, pembayaran bunga utang negara nyaris menembus 500 triliun/tahun. Dengan porsi pembayaran bunga utang dalam APBN menduduki posisi tertinggi. Selalu terjadi keseimbangan primer negatif dalam APBN kecuali tahun 2023. Artinya negara terpaksa berutang untuk membayar utang dan bunganya. Gali lubang tutup lubang.
Efeknya ruang fiskal negara semakin sempit. Wajar pemenuhan kebutuhan rakyat sekarat dan kesejahteraan rakyat jauh panggang dari api. Alarm bahaya ekonomi negara sudah berbunyi. Makin ‘stres’ jika rupiah terdepresiasi karena besaran utang dan bunganya semakin membengkak. Krisis keuangan akan menjadi tsunami bagi negara. Negara bangkrut di ambang mata. Harusnya pemerintah belajar dari Srilanka, Zimbabwe, Yunani, Ghana, dan Ekuador yang bangkrut karena utang. Tak layak jatuh pada lubang yang sama.
Indonesia tanah syurga. Tongkat dan kayu menjadi tanaman. Sumber Daya Alam (SDA) melimpah ruah, tak terhitung lagi. Kemenkeu (2014) melansir bahwa jika seluruh SDA Indonesia dicairkan dalam bentuk uang akan menghasilkan ratusan ribu triliuan rupiah. Lantas rasionalkah Indonesia menggantungkan sumber pendapatan pada pajak dan utang?
Indonesia ibarat tikus mati di lumbung padi, haruslah diakui ada yang salah dalam tata kelola negara. Pajak dan utang adalah denyut nadi sistem ekonomi kapitalisme. Indonesia secara gamblang mengadopsi sistem ini. Sistem ini mengagungkan kebebasan kepemilikan individu (liberalisasi) dengan standar kekuatan modal. Termasuk kebebasan dalam kepemilikan SDA atau aset strategis negara lainnya.
Akibatnya pengelolaan SDA bukan pada tangan negara. Tetapi diserahkan pada pemilik modal berupa badan usaha (korporasi) baik atas nama swasta, asing maupun aseng. Negara hanya berperan sebagai regulator. Dari peran ini negara hanya mendapat ‘jatah’ yang tak sepadan. ‘Jatah’ ini lah yang masuk ke negara sebagai sumber pendapatan non pajak. Liberalisasi ekonomi hari ini, terbukti tak memberikan keuntungan finansial bagi negara. Wajar akhirnya negara buntung.
Stop Utang dengan Penerapan Sistem Islam Kaffah
Setiap utang luar negeri pastilah disertai dengan bunga (baca riba). Dalam syari’at Islam riba termasuk dosa besar karena telah diharamkan oleh Allah SWT.
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟
Artinya : Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al Baqarah ayat 275)
الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
Artinya : Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi).
Legalnya transaksi riba bahkan menjadi penopang ekonomi negara termasuk pelanggaran syari’at Islam secara sistemik. Jelas hal ini menjadikan kehidupan tak aman karena akan mengundang azab Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda :
إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
Artinya : Apabila telah marak perzinaan dan praktik ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah(HR. AlHakim).
Tak hanya itu, utang luar negeri juga menjadikan negara tak aman dari sisi ekonomi dan politik. Sudah menjadi rahasia umum setiap utang no free lunch. Ada udang di balik batu. Dari sisi ekonomi, negara/lembaga kreditur (pemberi utang) mendapatkan keuntungan finansial besar dari sistem ribawi tersebut. Keuangan negara debitur (penerima utang) akan terkuras hanya untuk membayar utang dan bunganya. Utang dijadikan sarana mengeksploitasi kekayaan negara debitur. Negara debitur akan ‘termiskinkan’, tak mandiri dan tak mendapatkan apa-apa selain dari ketergantungan yang semakin menjerat.
Acapkali negara/lembaga kreditur memberikan persyaratan tertentu sesuai kepentingan politik/ideologi mereka. Secara tak langsung utang menjadi senjata untuk memaksakan kepentingan politik atau ideologi pada negara debitur. Negara debitur pun hanya menjadi ‘pengekor’, lemah politik luar negerinya dan mudah ‘dikuasai’.
Dari bahaya ini, utang negara menjadi haram karena menjadi sarana timbulnya berbagai kemudharatan pada kaum muslim. Allah SWT berfirman :
وَلَن يَجْعَلَ ٱللَّهُ لِلْكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
Artinya : Dan sekali-kali Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mukminin(QS An Nisa’ ayat141)
Jelas negara harus menghentikan utang luar negeri yang ribawi. Negara akan berusaha memperoleh pendapatan halal sesuai syari’at Islam. Dalam Islam pendapatan negara diperoleh dari kepemilikan negara dan umum. Kepemilikan negara berupa harta fa’i, ghanimah, jizyah, kharaj, ‘usyur, khumus, rikaz dan zakat. Kepemilikan umum berupa air (laut, sungai, danau, rawa dan sebagainya); padang (termasuk isi perut bumi yang mengandung berbagai SDA) dan api (sumber energi panas bumi, gas, tenaga surya, api menyala dan sebagainya). Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW :
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Artinya : Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR.Abu Dawud dan Ahmad).
Syari’at Islam memberikan kekuasaan pada negara untukmengelola harta kepemilikan umum dan negara. Diharamkan pengelolaannya diserahkan pada individu atau badan usaha (baik dalam negeri atau asing). Pengelolaan oleh negara bervisi melayani kebutuhan rakyat.
Pengelolaan harta kepemilikan umum dan negara secara syar’i, dapat menjadikan negara tak tergantung pajak dan utang. Kesejahteraan rakyat pun menjadi niscaya. Begitu sempurna syari’at Islam mengatur perekonomian negara. Sudah seharusnya negara ini menerapkan syariat Islam secara kaffah sebagai bentuk ketaqwaan pada Allah SWT. Wallahu a’lam bish-shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!