Selasa, 10 Jumadil Akhir 1446 H / 2 Juli 2024 05:41 wib
10.548 views
Refleksi atas Penyelenggaraan Ibadah Haji 2024: Tantangan dan Solusi
Penulis: Naila Zayyan
(Forum Muslimah Indonesia ForMind)
Pelaksanaan ibadah haji 2024 diwarnai oleh kritik tajam dari berbagai pihak, terutama dari para jemaah haji Indonesia yang mengeluhkan pelayanan yang jauh dari harapan. Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR turut menyuarakan kekhawatiran tersebut, dengan sorotan utama pada kondisi akomodasi yang memprihatinkan, terutama kapasitas tenda yang sempit dan fasilitas toilet yang tidak memadai sehingga mengharuskan jemaah antre berjam-jam.
Ketua Timwas Haji, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), mengungkapkan keprihatinannya terhadap tenda yang terlalu sempit, yang membatasi ruang gerak jemaah hanya sekitar satu meter. Akibatnya, banyak jemaah tidak mendapatkan tempat tidur di dalam tenda. Selain itu, fasilitas toilet yang minim juga menjadi keluhan utama jemaah, yang harus antre dalam waktu yang lama. Masalah ini tidak baru; pada tahun 2023, masalah serupa juga terjadi, terutama terkait akomodasi dan transportasi jemaah selama Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina). Banyak jemaah terlantar di Muzdalifah dan kesulitan mendapatkan makanan.
Kritik atas Penyelenggaraan Ibadah Haji
Ade Marfuddin, pengamat haji dari UIN Syarif Hidayatullah, menilai bahwa fasilitas yang disediakan pemerintah tidak sebanding dengan biaya besar yang telah dikeluarkan oleh jemaah. Menurutnya, manajemen pelayanan haji selama ini belum ditata secara komprehensif oleh pemerintah, sehingga kekurangan yang sama terus berulang setiap tahun.
Ade menyoroti pentingnya pemerintah untuk melakukan pemetaan dan mitigasi risiko di setiap prosesi haji, khususnya di wilayah Armuzna, yang selalu menjadi titik krusial setiap tahun. Ia menyarankan adanya zona pemisahan antara area yang berpotensi ramai dan area yang relatif aman, agar fokus perhatian dapat lebih tertuju pada zona-zona yang berisiko tinggi.
Ade juga mengusulkan pembangunan bangunan bertingkat untuk tempat berdiam jemaah di Mina, mengingat wilayah Mina sangat terbatas. Selain itu, ia mengkritik keputusan pemerintah yang tidak lagi menggunakan Mina Jadid seperti tahun-tahun sebelumnya, yang mengakibatkan penumpukan jemaah di Mina lama. Menurutnya, keputusan ini adalah langkah manajemen yang keliru.
Kritik juga datang dari anggota Komisi VIII DPR, Luluk Nur Hamidah, yang menilai bahwa pemerintah tidak serius dan tidak totalitas dalam menyelenggarakan ibadah haji. Menurutnya, perlu ada perubahan menyeluruh, progresif, dan revolusioner dalam seluruh aspek terkait ekosistem haji. Ia juga menyoroti kekurangan dalam fasilitas yang disediakan bagi jemaah lanjut usia, yang sering kali tidak mendapatkan tempat yang layak di pemondokan dan harus berada di lorong dalam kondisi panas.
Luluk juga mengkritik adanya dugaan praktek rente dalam penyelenggaraan haji, yang menguntungkan sebagian kecil pihak dan mengabaikan esensi pelayanan kepada jemaah. Ia menegaskan bahwa perbaikan pelayanan mutlak menjadi kewajiban pemerintah dan hak dasar bagi para jemaah. Transparansi dalam seluruh proses penyelenggaraan haji juga dianggap sangat penting untuk mengakhiri praktek rente ini.
Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, mengaku akan tetap mengevaluasi penyelenggaraan ibadah haji untuk perbaikan ke depan. Ia menegaskan bahwa evaluasi dilakukan secara kontinyu di lapangan, dan pemerintah berupaya responsif terhadap aduan-aduan yang muncul selama pelaksanaan haji. Namun, Yaqut juga menyadari bahwa untuk meningkatkan layanan jemaah secara signifikan, diperlukan evaluasi yang lebih komprehensif.
Anggota Timwas Haji DPR, Cucun Ahmad Syamsurijal, mengusulkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Haji DPR untuk menyelesaikan berbagai permasalahan terkait penyelenggaraan haji. Menurutnya, permasalahan haji melibatkan banyak aspek, mulai dari kesehatan, imigrasi, hingga pelayanan jemaah, sehingga memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif. Ia juga menegaskan bahwa masalah ini tidak cukup diselesaikan oleh Komisi VIII DPR RI saja, tetapi memerlukan keterlibatan dari berbagai komisi lain yang terkait.
Masalah pelayanan haji yang berulang setiap tahun mencerminkan adanya masalah mendasar dalam sistem penyelenggaraan haji di Indonesia. Dalam konteks sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, penyelenggaraan ibadah haji tidak lepas dari ajang bisnis bagi kelompok tertentu. Dampaknya, jemaah tidak mendapatkan kenyamanan dalam beribadah di tanah suci. Usulan untuk membentuk pansus mungkin tidak akan mampu menyelesaikan persoalan secara mendasar, karena akar masalahnya adalah paradigma pelayanan haji dalam sistem kapitalisme.
Islam menetapkan negara sebagai pelayan rakyat yang akan mengurus rakyat dengan baik, terutama dalam menunaikan ibadah. Dalam Islam, pemimpin harus amanah dan sadar akan adanya hari penghisaban kelak. Selain itu, Islam juga memiliki mekanisme birokrasi yang sederhana, praktis, dan profesional, sehingga dapat memberikan kenyamanan kepada rakyat.
Dalam menghadapi tantangan pelayanan haji, penting bagi pemerintah untuk mengadopsi prinsip-prinsip yang menempatkan pelayanan kepada rakyat sebagai prioritas utama. Transparansi, evaluasi komprehensif, dan peningkatan manajemen yang terintegrasi adalah langkah-langkah penting yang harus diambil. Selain itu, perlu adanya dialog yang lebih intensif antara pemerintah Indonesia dan otoritas Arab Saudi untuk memastikan peningkatan layanan jemaah.
Kritik tajam terhadap penyelenggaraan ibadah haji 2024 seharusnya menjadi pemicu bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan menyeluruh dan komprehensif dalam manajemen pelayanan haji. Dengan demikian, jemaah haji Indonesia dapat melaksanakan ibadah dengan nyaman dan khusyuk, sesuai dengan harapan dan hak mereka sebagai umat yang menjalankan rukun Islam kelima.
Solusi Islam Kaffah dalam Penyelenggaraan Haji
Dalam sistem Islam, negara berperan sebagai pelayan umat, bukan sebagai entitas yang mencari keuntungan. Dalam konteks penyelenggaraan ibadah haji, negara harus memastikan setiap jemaah mendapatkan pelayanan terbaik, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kemaslahatan umum.
1. Kepemimpinan Amanah dan Bertanggung Jawab: Pemimpin dalam Islam dipilih berdasarkan kemampuan dan amanahnya. Mereka sadar akan tanggung jawab di hadapan Allah SWT, sehingga berusaha sebaik mungkin dalam menjalankan tugas, termasuk dalam penyelenggaraan ibadah haji. Kesadaran akan hari penghisaban kelak membuat pemimpin bekerja dengan integritas tinggi dan kejujuran.
2. Manajemen yang Efisien dan Profesional: Sistem birokrasi dalam Islam dirancang untuk efisiensi dan efektivitas. Proses yang sederhana, cepat, dan tepat akan menghindarkan dari praktek rente dan korupsi. Manajemen pelayanan haji harus terintegrasi dan berorientasi pada kebutuhan jemaah, mulai dari akomodasi, transportasi, hingga fasilitas kesehatan.
3. Transparansi dan Akuntabilitas: Setiap aspek penyelenggaraan haji harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Pemerintah harus memberikan laporan yang jelas dan terbuka tentang penggunaan dana haji, sehingga jemaah mengetahui bagaimana uang mereka digunakan untuk pelayanan.
4. Kerjasama Internasional yang Kuat: Pemerintah harus menjalin kerjasama yang baik dengan otoritas Arab Saudi untuk memastikan bahwa fasilitas dan layanan yang disediakan sesuai dengan kebutuhan jemaah. Dialog intensif dan perjanjian bilateral yang menguntungkan kedua belah pihak akan memastikan peningkatan kualitas pelayanan.
5. Perencanaan dan Evaluasi yang Berkelanjutan: Pemerintah harus melakukan perencanaan yang matang dan evaluasi berkelanjutan terhadap penyelenggaraan haji. Identifikasi masalah dan solusi yang tepat harus dilakukan setiap tahun, agar kekurangan yang sama tidak terus berulang. Dengan evaluasi yang komprehensif, setiap tahun akan ada perbaikan yang signifikan.
6. Pemanfaatan Teknologi dan Inovasi: Penggunaan teknologi dalam manajemen haji dapat meningkatkan efisiensi dan kenyamanan. Misalnya, sistem pemesanan akomodasi dan transportasi yang terintegrasi, aplikasi untuk memantau kondisi kesehatan jemaah, dan sistem informasi yang memberikan update real-time tentang kondisi di lapangan.
Dengan mengadopsi prinsip-prinsip Islam kaffah, penyelenggaraan ibadah haji akan lebih terorganisir, adil, dan memberikan kenyamanan maksimal bagi jemaah. Pemerintah yang berperan sebagai pelayan rakyat akan memastikan bahwa setiap jemaah dapat melaksanakan ibadah dengan tenang dan khusyuk, sesuai dengan nilai-nilai Islam yang luhur. Kritikan yang muncul harus dijadikan bahan evaluasi untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan, demi kemaslahatan umat dan keberhasilan ibadah haji di masa mendatang. Wallahu a'lam bish-shawwab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!