Ahad, 15 Jumadil Akhir 1446 H / 20 Mei 2018 00:10 wib
6.053 views
Menyibak Siapa Layak Menyandang Predikat Teroris Sejati
Oleh:Ririn Wijayanti
Indonesia kembali berduka. Bom bunuh diri kembali mengguncang di bulan Sya’ban. Isu krusial yang mencuat satu serangan terorisme. Dan pada akhirnya ustad yang mengusung ajaaran Islam kaffah di cap sebagai radikal pasca putusan PTUN terhadap salah satu ormas dakwah di Indonesia.
Minggu pagi, 13 Mei 2018, teror bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, yaitu Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Ngagel Madya; Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro; dan Gereja Pantekosta di Jalan Arjuno. Pelaku bom adalah satu keluarga, suami-istri dan empat anaknya. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Di hari yang sama, pada malam hari, bom bunuh diri terjadi di Blok B Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Wonocolo, Sidoarjo. Terduga teroris, Anton, bersama istri dan satu anaknya tewas dalam kejadian ini. Tetapi, tiga anak Anton yang lain selamat tapi kondisinya luka-luka.
Selang sehari, Senin, 14 Mei 2018, bom bunuh diri kembali terjadi di Markas Polrestabes Surabaya. Pelakunya satu keluarga, yaitu TW bersama istri dan tiga anaknya, menggunakan dua sepeda motor. Satu anaknya, perempuan berusia 8 tahun, selamat karena terlempar dari sepeda motor (Tempo, 15 Mei 2018).
Tidak lama pasca peledakan terhadap kasus tersebut muncul stigmanisasi negatif terhadap Islam, perempuan bercadar, dan pengusung khilafah. Pertanyaan yang muncul, kenapa ketika isu terorisme muncul, selalu dikaitkan dengan Islam? Bahkan belum lama ini, di Pasar Toddopuli Makasar, wanita bercadar difitnah warga beserta anaknya kemudian diteriaki dengan sebutan ISIS, teroris, cadar perusak (portalmuslim, 15/05/2018). Di sisi lain, serangan terhadap kepolisian Riau semakin menambah deretan panjang kasus terorisme di Indonesia.
Islam Mengajarkan Kekerasan?
Dalam beberapa hadits dari Rasulullah SAW, terlihat bahwasanya Islam bahkan mengecam tindakan membunuh terhadap kafir dzimmi.
"Barangsiapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka dia bukan dari kami ..." (HR. Muslim dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar ra.)
"Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun. ” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalam ayat Al-Qur’an, beberapa perintah jihad terdapat dalam ayat berikut:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya ( TQS Al-Anfal ayat 60).
Apabila kamu bertemu (di medan perang) dengan orang-orang kafir maka pancunglah batang leher mereka, sampai batas apabila kamu telah melumpuhkan gerak mereka maka kuatkanlah ikatan (tawanlah) mereka, lalu (kamu boleh) membebaskan mereka sesudah(nya) atau (kamu boleh juga melepaskannya) dengan menerima tebusan sampai perang meletakkan beban-bebannya. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang gugur pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka (TQS Muhammad ayat 4).
Pertanyaannya, jika dalam ayat suci Al-Qur’an terdapat ayat tentang berperang (qital) apakah kemudian Islam mengajarkan terorisme?
Ada baiknya kita lihat definisi terorisme terlebih dulu. Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil (wikipedia, akses 18 Mei 2018).
Nah, hal ini justru berbeda dengan jihad. Dalam asy-syakhsiyah jild 2 , Syaikh Taqiyddin An-Nabhani menjelaskan jihad adalah mencurahkan kemampuan berperang di jalan Allah sevara langsung, atau dengan bantuan harta, pemikiran, memperbanyak perbekalan, dan lain sebagainya. Sehingga jihad adalah berperang untuk meninggikan kalimat Allah. Dan perjuangan politik, bukan merupakan jihad meskipun upaya untuk menyingkirkan penguasa dzalim.
Dalam jihad, hukum memulainya adalah fardlu kifayah, manakala Khalifah tidak meminta untuk berangkat. Ketika Khalifah meminta berangkat jihad, maka hal tersebut adalah fardhu bagi kaum muslim. Sedangkan jika musuh menyerang, maka menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang diserang, dan fardhu kifayah bagi orang lain. Fardhu tersebut tidak akan gugur sampai musuh dapat diusir.
Adapun makna memulai jihad disini, yang dilakukan oleh negara bukan individu, adalah menyeru negara yang bersangkutan kepadaa Islam. Jika belum sampai dakwah pada mereka, maka tidak halal bagi kaum Muslim untuk memeranginya. Jika mereka menolak, maka diwajibkan membayar jizyah, dan jika enggan, maka perang disini terjadi (An-Nabhani, Syakhsiyah Islam 2, 254). Sehingga berjihad dalam artian menyerang adalah kewajiban negara, bukan individu.
Adapun Rasulullah SAW pernah memberikan rambu-rambu dalam berjihad ini. Sabda beliau: “Berperanglah dengan nama Allah di jalan Allah,`Perangilah orang yang kufur terhadap Allah. Berperanglah, jangan khianat, jangan melanggar janji, jangan memotong bagian tubuh, dan jangan membunuh anak kecil. Jika kamu menemui musuh orang-orang musyrik, maka serulah mereka kepada tiga pilihan. Manapun diantara ketiganya mereka pnuhi, maka terimalah dan berhentilah memerangi mereka. Lalu serulah mereka untuk berpindah dari tempat tinggal mereka menuju Daru Muhajirin. Dan beritahukanlah kepada mereka bahwa jika mereka melakukan itu, maka mereka memiliki hak seperti hak yang dimiliki penduduk Negara Islaam dan mereka memiliki kewajiban sebagaimana atas penduduk Darul Muhajirin... (HR Muslim).
Di sini jelas dengan adanya perintah jihad tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadits merupakan rambu-rambu yang diberikan kepada kaum Muslimin ketika akan berjihad. Tidak khianat, tidak melanggar perjanjian yang sudah disepakati, tidak memotong bagian tubuh, tidak membunuh anak kecil, tidak merusak tumbuh-tumbuhan serta beberapa regulasi yang harus dipenuhi kaum Muslim ketika berjihad.
Semua poin di atas tidak terdapat pada serangan brutal yang dilakukan negara-negara Israel kepada Palestina yang membunuh ribuan anak kecil dan ibu-ibu. Begitu juga serangan brutal Amerika yang meluluhlantakkan Afgahnistan dan Irak. Sampai di sini, jelas sudah siapa meneror siapa. Jadi, siapakah yang layak menyandang sebutan teroris itu? (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!