Senin, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 14 Mei 2018 20:30 wib
4.901 views
Rusuh di Mako Brimob Menyisakan Tanda Tanya Publik
Oleh: Harits Abu Ulya (Pengamat Terorisme)
Akhir Rusuh di rutan Mako Brimob disampaikan pejabat Wakapolri di lanjutkan selang beberapa waktu oleh Menkopolhukam dan secara terpisah di sesi berikutnya kembali Wakapolri bersama komandan Brimob menyampaikan tuntasnya penanggulangan rusuh oleh napi teroris (napiter).
Jika kita memperhatikan dengan seksama dari paparan mereka, ada kesan ketidaksingkronan dan masih banyak hal yang tidak terungkap tuntas oleh awak media.
Terutama bagaimana kronologi napiter bisa menguasai senjata api, pemilikan sajam bahkan bom dan bagaimana teknis softh approach yang berakhir lepasnya sandra dan menyerahnya semua napiter. Dan apakah benar hanya soal sepele "makanan" pada hari itu yang memicu terjadinya insiden tersebut?
Analisa saya, mungkin pihak aparat menggunakan Ustad Aman Abdurrahman untuk bisa bicara dengan para napiter melalui perwakilannya misalkan seperti Alex dan Muflich.
Pihak aparat melakukan pendekatan kepada Aman terlebih dahulu agar ia bisa membantu menyelesaikan insiden tersebut. Mengingat Aman juga dikabarkan ada di rutan yang sama meski di tempat yang beda.
Dan Aman posisinya dipatuhi dan didengar pendapatnya. Dalam insiden ini, bisa jadi Aman tidak sependapat dan tidak mendukung aksi para napiter yang latar belakang aksinya adalah urusan perut atau hal tidak penting. Ditambah argumentasi dan pertimbangan lainnya. Dan itu bisa kuat pengaruhnya bagi napiter untuk berpikir lebih rasional.
Akhirnya meletakkan senjata semua dan keluar menyerah satu persatu. Jadi kemungkinan besar Aman punya peran dalam proses menyerahnya napiter.
Dari 156 orang napiter level militansinya berbeda, tidak semua masuk lingkaran inti (militan). Paling tidak dari 156 itu 10 orang yang pegang senjata adalah masuk dalam lingkaran inti dengan militansi yang lebih dibandingkan lainnya. Karena itu 145 napiter lebih mudah diajak untuk berbicara dan masih memilih tawaran rasional dari pihak aparat.
Sementara 10 orang yang militan sisanya juga tidak sepenuhnya punya sikap mandiri. Buktinya mereka sempat meminta untuk ketemu dengan ideolog dan rujukan mereka yaitu Ustad Aman Abdurrahman. Nah dari situ terlihat, meski militan tetap saja mereka manusia yang masih bisa diajak bicara untuk mencari solusi terbaik.
Yang tidak kalah penting, perlu evaluasi kinerja densus pasca investigasi dari insiden ini. Karena bisa saja insiden ini muncul karena akumulasi kemarahan napiter sebab perlakuan aparat densus yang ada di rutan terhadap mereka yang dianggap tidak adil dll. Karena bisa jadi petugas densus saat insiden adalah petugas baru dan relatif masih muda. Jika Sikap overacting itu muncul maka kerap melahirkan rasa benci pada diri napiter. Jadi bukan semata spontanitas karena soal "makanan" tapi akumulatif.
Begitun soal senpi (senjata api), sajam (senjata tajam) dan bom. Perlu investigasi adakah unsur kelalaian di dalamnya hingga para napiter dengan mudah dapat mendapatkannya dan menguasainya. Kesannya paradoks; senpi-senpi tersebut direbut dari aparat bayangkara (densus) terbaik oleh para napiter yang notabene mereka tidak terlatih dalam banyak hal.
Dan 155 orang yang menyerah tanpa timbul korban tewas itu luar biasa, dan profesionalisme polri selalu diuji untuk kedepannya dalam kasus terorisme.
Hari ini bisa dengan pendekatan lunak dan sukses. Semoga ke depan juga lebih profesional, mengingat kasus yang lalu-lalu seperti penindakan terorisme di Ciputat atau di Jawa Tengah Mojosongo dll.
Mereka jumlah sedikit dan senjata sedikit tapi jatuh korban. Ini 10 orang pegang senjata dengan amunisi yang cukup tapi happy ending. Sesuatu yang luar biasa. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!