Kamis, 15 Jumadil Akhir 1446 H / 3 Mei 2018 06:20 wib
6.204 views
Nasib Pendidikan Generasi: Masihkah Ada Harapan?
Oleh: Mila Hanifa (Pemerhati Generasi dan Aktifis IdeoGen Research)
Melihat kasus pemasangan spanduk yang menyindir sikap wali murid yang tidak koperatif di Kalimantan Tengah akhir Pebruari lalu, dan kasus penganiayaan guru hingga tewas di Sampang pada bulan yang sama, semakin menambah panjang persoalan di dunia pendidikan kita. Setelah itu malah muncul lagi peristiwa kurang harmonisnya hubungan guru, siswa dan orangtua.
Dikabarkan oleh SINDOnews ( 16/3/2018) seorang guru SD berinisial RM yang memberi sanksi ta’dib (pemberian sanksi tertentu dengan tujuan mendidik) dengan menyuruh siswa menjilat WC sekolah. Akhirnya berujung booming beritanya. Bukan karena diambil dari sudut pandang kamera yang tepat, tapi memang bikin siapa pun yang mendengar kasus itu jadi mau muntah. Kok tega sekali !
Mengapa bisa terjadi?
Pendidikan di Indonesia sebenarnya bertujuan membentuk peserta didik yang beriman ,bertakwa dan berakhlak mulia. Namun kalimat ini manis didengar, susah unuk mencapainya. Karena rincian sistem dan prakteknya justru jauh dari nilai-nilai keimanan dan ketakwaan.
Apalagi soal akhlak mulia, seperti sopan santun dan hormat kepada guru yang telah memberinya ilmu, hanya diajarkan sebatas teori. Bagaimana mungkin bisa membentuk manusia berkarakter dan berakhlak mulia?
Sudah menjadi rahasia umum, nilai agama (Islam) telah tersingkir dari sistem kehidupan di negri ini, termasuk mengatur masalah sistem pendidikan nasional. Kapitalisme sekuler telah merasuk dan menjadikan asas manfaat sebagai tumpuan, sehingga pendidikan lebih menitik beratkan pada materi ajar yang bisa memberikan manfaat materialsemata untuk keperluan dunia usaha. Pendidikan akhirnya lebih fokus kepada penguasaan sains teknologi dan keterampilan.
Prestasi dan keberhasilan pendidikan diukur dari nilai-nilai akademis, tanpa memperhatikan bagaimana akhlak, karakter, kepribadian (prilaku) anak didik. Itulah yang terlihat jelas ketika merebak kasus-kasus kriminal seperti pembunuhan, pemerkosaan, tawuran bahkan kasus gaul bebas yang berujung aborsi telah biasa terjadi di kalangan pelajar.
Akifitas mengajarkan ilmu pun menjadi bagian dari proyek kapitalis. Guru hanya menjadi profesi untuk mencari uang. Sekolah menjadi lahan bisnis bagi mereka. Sangat sulit- kalau tidak boleh mengatakan mustahil- menemukan guru idealis yang berdedikasi untuk membentuk keimanan ketakwaan dan kepribadian siswanya. Hubungan antara guru dan siswa seolah hanya akad jasa dan upah mengupah.
Sehingga wajar ketika pilihan sanksi yang dilakukan guru kadang bisa tanpa standar yang tepat. Atau bisa jadi teguran atau sanksi guru terasa tidak berkenan di hati siswa, dan menjadi sumber pertikaian di antara mereka. Termasuk dengan melibatkan orangtua. Rasa hormat dan memuliakan ilmu juga memuliakan orang yang memberi ilmu (pendidik) saat ini sudah bukan style para generasi muda.
Undang-Undang di negri ini turut memberi andil sulitnya mencapai tujuan pendidikan. Pada kasus-kasus pertikaian siswa dan guru, UU Perlindungan Anak salah satunya. UU yang ditujukan untuk melindungi anak ini, kadang menjadi alasan siswa di bawah 18 tahun berkelit dari sanksi yang diberikan institusi pendidikan.
Pada kasus tewasnya guru di Sampang, pelaku mendapat perlakuan khusus selama persidangan. Termasuk pemberian sanksi pengadilan yang kurang memenuhi rasa keadilan bagi para ahli waris korban. Bahkan ada sikap tegas guru untuk menegur prilaku buruk siswa (misal : tidak sholat jamaah) dijadikan dalih untuk mengkriminalisasi para guru. Sekali lagi kita prihatin dengan segala carut marut pendidikan saat ini. Apa masih bisa kita perbaiki??
Islam , Harapan Masa Depan
Islam sebagai sebuah sistem kehidupan, menjadikan aqidah (iman) sebagai asas semua sub sistem pengaturan masyarakat. Termasuk mengatur sistem pendidikan generasi. Dienul Islam berusaha mempengaruhi arah pendidikan untuk melahirkan generasi yang berkepribadian kuat, yaitu kepribadian Islam.
Pendidikan model ini menjadikan aqidah Islam sebagai tolok ukur pola pikir dan kecendrungan jiwanya, sehingga orang yang terdidik akan menyesuaikan life style-nya dengan Islam. Karena konsepnya sederhana , ilmu untuk amal. Atau dengan kata lain apa yang dipelajari dalam kurikulum pendidikan mempengaruhi peserta didik secara praktis.
Konsep ilmu untuk diamalkan secara praktis karena ada dua hal yang dipakai pendidik dalam mempengaruhi kepribadian para siswanya, yaitu: rekonstruksi dan konstruksi. Rekontruksi adalah membongkar persepsi pemikiran yang salah secara menyeluruh (revolusioner) sampai ke akarnya, kemudian dibangun kembali konstruksi pemikiran yang benar, kokoh dan kuat. Sehingga mampu berpengaruh dalam amalnya.
Sedangkan konstruksi bermakna menyusun suatu persepsi pemikiran yang kokoh dengan mengoptimalkan unsur-unsur kekuatan berfikir yang akan mendorong dia untuk beramal dengan benar.
Jadi secara garis besar ada tiga tujuan utama pendidikan dalam Dien yang mulia ini: pertama, membangun kepribadian Islam. Anak didik dibangun aqidah Islamnya sebelum mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Sehingga kokoh lah karakter terpuji pada dirinya. Cerdas intelektual karena dibangun pemikirannya. Juga berakhlak mulia karena dibimbing dan dibiasakan berprilaku terpuji.
Kedua, mengajarkan keterampilan dan pengetahuan praktis (skill) untuk kehidupan. Para murid diajarkan keterampilan dan pengetahuan yang mereka butuhkan untuk berinteraksi dengan lingkungan mereka. Seperti matematika, sains umum, serta pengetahuan dan keterampilan untuk menggunakan berbagai alat dan penemuan.
Ketiga, mempersiapkan siswa untuk memasuki pendidikan tinggi atau universitas. Di sinilah diajarkan ilmu-ilmu utama yang menjadi prasyarat, apakah ilmu budaya atau tsaqafah seperti Fiqh, Bahasa Arab, atau Tafsir Alquran, ataupun ilmu empiris seperti matematika, kimia, biologi, atau fisika. Sehingga tercetaklah generasi-generasi cemerlang penerus peradaban yang mengaplikasikan ilmunya tak lain untuk kemaslahatan umat.
Sejarah emas di masa kegemilangan Islam mencatat, pendidikan Islam menghasilkan para ahli di segala bidang. Bahkan melahirkan generasi terbaik yang tidak hanya ahli di bidang sains dan teknologi, tapi juga memiliki kepribadian Islam dan mampu menghantarkan kaum muslimin memiliki peradaban nomor satu di dunia.
Sejarah mencatat nama ilmuwan Ibnu Sina (Avicenna) yang menjadi “Bapak Kedokteran Modern”. Atau Al Khawarizmi yang menjadi ahli tidak hanya dalam ilmu syariat , tapi juga bidang falsafah, logika, aritmatika dll. Yang paling fenomenal adalah penemuan beliau tentang sistem nomor. Begitulah sistem pendidikan yang membentuk secara utuh kepribadian manusia. Sehingga tidak terjadi out put pendidikan yang punya kepribadian pecah (split personality).
Di satu sisi cerdas intelektualnya, namun parah atau buruk prilakunya. Seperti kasus cybercrime yang lagi heboh, di mana pelakunya adalah mahasiswa aktif di perguruan tinggi di Surabaya . Mereka melakukan tindak kriminal membobol akun-akun penting dengan penguasaan IT tingkat tinggi. . Atau malah sebaliknya, mulia akhlak mereka tapi buta penguasaan sains teknologi alias gatek.
Peran orangtua dan Sanksi yang Tepat dalam Pendidikan
Di dalam sistem pendidikan Islam, orangtua terutama ibu berkontribusi besar dalam membentuk kepribadian anak. Ayah berkewajiban mendidik istri dan anak-anaknya agar menjadi pribadi yang taat kepada hukum-hukum Allah (QS. At-Tahrim :6). Sedangkan posisi ibu adalah sebagai madrasah (sekolah) pertama dalam kehidupan anak. Ini semua merupakan kewajiban yang dibebankan Allah kepada orangtua.
Ibu akan dididik dalam sistem Islam untuk menjadi sosok yang intelek. Sehingga intelektualitas ibu atau muslimah secara umum akan memiliki peran strategis sebagai berikut : 1) sebagai ibu, sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya, 2) sebagai ibu dan pendidik generasi, 3) sebagai pengemban dakwah dan pejuang Islam, 4) sebagai problem solver berbagai permasalahan umat, dan tidak tinggal diam ketika ada kebijakan - termasuk penerapan sistem pendidikan - yang merusak generasi masa depan.
Sehingga kedua orangtua akan berperan secara sinergis dengan penyelenggara praktis pendidikan untuk mencapai tujuan mulia mencetak generasi berkualitas. Bukan saling menegasikan peran, apalagi saling menjatuhkan.
Sedangkan terkait sanksi untuk mendidik (ta’dib) , Islam memandang pemberian hukuman adalah cara yang terakhir setelah cara-cara pendidikan yang lain tidak berjalan.
“Suruhlah anak-anakmu mengerjakan sholat pada usia 7 tahun dan pukullah pada usia 10 tahun, bila mereka tidak sholat . Dan pisahkan tempat tidurnya (laki-laki dan perempuan)” (HR. Al Hakim dan Abu Dawud).
Dalam tahapan usia di mana anak didik harus diajarkan kewajiban-kewajiban syariat (di bawah usia baligh atau min 15 tahun) maka ada latihan-latihan yang terus dilakukan agar tertanam kuat kepada kepribadiannya. Sehingga keluhuran, kejujuran dan kelurusan prilakunya bisa terbentuk dengan sempurna. Fase ini harus dilewati dengan pemberian nasehat, teguran, peringatan, bahkan pukulan jika dia membangkang (Tahapan Pendidikan Islam , Jurnal Al Ihsas, 1996).
Sebagaimana hadits Nabi di atas, maka baru pada usia 10 tahun boleh dijatuhi hukuman atas mereka. Dengan dipukul, misalnya. Itupun dengan pukulan yang tidak membahayakan jiwanya, misal dengan mistar kayu ke bagian kaki. Sakit pasti, tapi muncul jera dan introspeksi diri pada anak.
Namun diharamkan sampai melukai dan mengenai bagian muka, kepala, atau dada yang bisa berbahaya bagi anak. Maka menyuruh menjilat WC atau kamar mandi , jelas tidak layak sebagai sanksi bagi anak yang lupa membawa tugas sekolah. Karena tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia, menghargai martabat dia sebagai manusia, bukan menghina dan merendahkan jiwanya.
Sedangkan pada kasus kriminalitas yang pelakunya siswa yang sudah berusia di atas 15 tahun. Atau belum usia itu , namun sudah haid atau ihtilam (mimpi basah) maka sudah seharusnya pelanggaran ini mendapat sanksi hukum di pengadilan selayaknya seorang dewasa. Dalam sistem sanksi (uqubat) Islam penganiayaan terkena qishosh (jinayat).
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishosh dalam perkara pembunuhan " (TQS. al Baqarah : 178).
Berarti jika sampai menyebabkan korban kehilangan nyawa, maka pelaku harus dibalas bunuh. Tapi seandainya keluarga korban memaafkan, boleh diganti dengan diyat (tebusan) yang sesuai ketentuan syariat. (Sistem Sanksi Dalam Islam , Abdurahman Al Maliki, 1981).
Memang sangat tidak mungkin sub sistem pendidikan berdiri sendiri tanpa dukungan sub sistem kehidupan yang lain. Termasuk di dalamnya sistem sanksi , ekonomi dan sosial yang sesuai syariah Islam. Itulah alasan kuat mengapa penting menerapkan Islam secara Kaffah.
Khatimah
Potret buram pendidikan generasi hari ini, begitu nampak jelas. Masihkah kita punya harapan untuk memperbaikinya dengan sistem yang sudah semrawut ? Tentu sangat berat tanpa pertolongan dan petunjuk (aturan) dari Allah SWT, Penguasa alam semesta yang tahu persis apa yang terbaik bagi kehidupan manusia ciptaanNya. Wallahu’alam bishowab. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!