Selasa, 15 Jumadil Akhir 1446 H / 1 Mei 2018 21:57 wib
8.189 views
Polemik Beragama, Siapa Pemicunya?
Oleh: Siti Wahyuni S.Pd
Polemik agama di negeri Papua tak pernah sepi dari berita. Pada tahun 2015 misalnya, telah terjadi pembakaran Masjid di Tolikara (Republika, 17/07/2015).
Pun kini, kita dikejutkan berita dari Persekutuan Gereja-gereja di Kabupaten Jayapura (PGGJ) yang menolak pembangunan Masjid Agung Al-Aqsha di Sentani. Diantara alasannya, menara masjid lebih tinggi dari gereja di sekitar lokasi di Jalan Raya Abepura (Tirto.Id, 20/03/2018).
Menurut saya alasan tersebut tidak masuk akal. Seolah ada kecemburuan yang dipaksakan. Namun kejadian yang remeh temeh ini tak jarang menjadi pemicu konflik beragama.
Menurut Tirto.Id (17/07/2015) kecemburuan ini muncul sebab adanya sikap penolakan agama yang sama ketika sejumlah warga muslim diluar papua menghambat kebebasan beribadah penganut Kristen. Setidaknya inilah pendapat Madubun, ketua GP Ansor Papua.
Namun fakta ini terbantahkan dengan pertumbuhan gereja sangat pesat dan subur di Indonesia. Dijakarta misalnya, jumlah gereja mengalami peningkatan sebanyak 1.098 unit pada tahun 2014. Sebelumnya hanya berjumlah 902 unit pada tahun 2011. Rekomendasi pendirian gereja pada 2013 – 2016 berada di peringkat paling atas dengan total 22 unit (Republika, 24/03/2016). Bukti bahwa kaum muslim memiliki toleransi dalam keberagaman.
Mayoritas yang Tertindas
Muslim adalah umat mayoritas di Indonesia, sebab itulah kita sering dituntut untuk bersikap toleransi dalam beragama. Namun tak jarang toleransi ini malah memaksa kita mencopot identitas kita sebagai muslim. Misalnya tetap berada didalam rumah ketika perayaan nyepi yang diselenggarakan di Bali. Dan seperti kejadian yang setiap tahun viral, pro dan kontra dalam mengucapkan perayaan natal. Kedua contoh ini, berulang kali dihembuskan oleh media dan dunia.
Memaksa kita ikut merayakan perayaan mereka. Padahal ini melanggar syariat islam, membuat kita menanggalkan identitas kita sebagai muslim. Ketika kita istiqomah memegang syariat islam. Bersiaplah sebab intoleransi akan menjadi julukan baru kita.
Namun ironi, saat muslim bertempat dibumi minoritas. Hak muslim selalu terenggut bahkan tertindas. Empat dari 8 poin surat pernyataan PGGJ menyinggung persoalan hukum yang isi pelarangannya adalah kewajiban dasar yang harus dilakukan kaum muslim. Seperti melarang anak memakai seragam dengan nuansa agama tertentu. Bahasa sederhananya adalah melarang anak memakai hijab. Innalillah, bagimana mungkin kita bisa menerima keinginan mereka?
Bagi muslimah, hijab adalah harga mati yang tak boleh ditawar. Hijablah yang akan membedakan kita dengan kafir. Tapi lagi-lagi, sebab kita minoritas maka wajib hukumnya menaati mayoritas. Kita harus meminta restu kepada mereka untuk hal ihwal internal keagamaan.
Kita harus meminta restu kepada mereka atas apa yang Allah tetapkan pada diri kita. Ini lucu, bersifat ibadah internal tapi rasa muamalah. Dan yang paling menyedihkan adalah tak satupun media dan dunia berteriak intoleransi pada mereka.
Label toleran sudah diatur dengan pas oleh islam. Tanpa menyinggung atau bahkan tidak sedikitpun mengambil jatah dalam kemayarakatan. Islam mengatur seluruh segmen kehidupan. Tiga garis besar aturan itu adalah; pertama, mengatur hubungan (urusan) manusia dengan Allah penciptanya. Misalnya melaksanakan solat, puasa, zakat, haji, sedekah dan amalan-amalan internal yang bersifat nafsiah.
Kedua, mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri seperti memenuhi makan, minum, dan cara berpakaian. Ketiga, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya. Misalnya jual beli, kesehatan, bertetangga dan muamalah lainnya.
Urusan pertama dan kedua kental akan urusan internal. Dengan kata lain wajib dilakukan oleh muslim atau muslimah. Jika tidak islam, maka tidak boleh dilakukan. Wajib bagi yang beragama islam menjaga makanan dari yang haram sejenis babi. Wajib bagi muslimah memakai kerudung dan gamis, kalau tidak pertanda dia kafir. haram bagi muslim dan muslimah mengucapkan perayaan kafir. Biarkan mereka beribadah tanpa kita ikut campur didalamnya.
Berbeda halnya bila menyangkut urusan ketiga. Adakalanya tidak perlu islam terlebih dahulu. Seperti bermuamalah dalam kesehatan. Ingin periksa gigi, tapi dokternya kafir. Ini tidak masalah. Misal lainnya adalah berjual beli dengan kafir, pun ini tak masalah yang penting sama-sama memberikan hak dan kewajiban sesuai porsi peran individu.
Maka menjaga adab, berbuat baik dalam berinteraksi itu penting sebab masih dalam aturan islam. Namun adakalanya pula muamalah yang mengharuskan islam terlebih dahulu. Seperti memilih pemimpin muslim menjadi hukum final atas orang-orang yang mengaku islam. Kafir tidak dipaksa memilih muslim, mereka diberikan hak suara tanpa paksaan.
Sesungguhnya islam sudah mengatur sedemikian apik dan sempurna interaksi manusia yang beragam ini. Namun keharmonisan ini hilang sejak Demokrasi memaksa kita mengambil paham yang merusak dan memecah belah. Toleransi adalah bukti kerusakan itu.
Dengan landasan yang rapuh, tidak jelas bahkan sarat akan kepentingan nafsu manusia. Mudah bagi mereka meneriakkan intoleransi pada kaum muslimin, disaat dunia tutup mata akan kedzoliman atas nasib muslim di negeri minoritas islam. Begitulah Demokrasi dua sisi, dia akan berteriak sesuai kepentingan duniawi.
Polemik yang kian hari menjadi isu perpecahan beragama ini terus membuat kita risau. Isu toleransi yang memudarkan identitas diri membuat kita semakin sadar akan pentingnya sebuah penjaga haqiqi. Penting adanya sebuah institusi khilafah islamiyah sebagai alat penjaga yang menerapkan hukum qur'an. Sebab Allah sang pencipta keberagaman, maka kembalikanlah urusan ini kepada sang pencipta.
Dialah Allah yang paling mengerti peran dan aturan terbaik dalam menyelesaikan keberagaman. Selama 13 abad lamanya kita hidup damai dalam keberagaman. Pada saat itu islamlah yanh menjadi sistem bernegara yang disebut sebagai daulah khilafah islamiyah. Untuk itu kawan, mari kita berjuang bersama demi tegaknya islam dalam naungan khilafah.
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) islam, sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Al Baqarah:256). Wallahua'lam. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!