Ahad, 15 Jumadil Akhir 1446 H / 29 April 2018 23:20 wib
6.608 views
Cadar dan Konde, Bagaimana Islam Menyikapi Keberagaman
Oleh: Ririn Dyah Wijayanti
Pasca kriminalisasi niqab dan jilbab bulan lalu, awal pembuka April ini dikejutkan lagi dengan pelecehan bagi pemakai niqab pun diversuskan dengan budaya. Pemakaian konde, yang merupakan adat Jawa dianggap lebih luhur daripada penggunaan niqab. Lebih luhur budaya daripada pengaturan agama Islam, Syariat Islam yang diturunkan dari sang Pencipta.
Ketika diminta pendapat atas puisinya, jawaban beginilah Sukmawati, "Ya nggak apa-apa. Kalau saya sih jujur-jujur saja. Ibu Indonesia. Saya memang warga negara Indonesia. Saya sangat bangga dengan keindonesiaan saya. Dan keindonesiaan saya itu Bhinneka Tunggal Ika," katanya (Detiknews, 3 April 2018).
Jawaban ini seolah-olah memberi kesan bahwa Islam itu tidak Bhineka Tunggal Ika. Benarkah demikian?
Islam Itu Berwarna, Bukan Hanya Satu Warna
Frasa Bhineka Tunggal Ika adalah berasal dari berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya adalah “Berbeda-beda tetapi tetap satu” Kutipan lengkapnya Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran). Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5 (wikipedia, akses 4/4/2018). Dalam frase tersebut jelaslah perbedaan yang beraneka, namun tetap bersatu, kebenaran itu tetap satu.
Lalu, bagaimana dalam Islam? Apakah Islam juga berbhineka? Mempunyai banyak corak ragam pendapat? Menelusuri khazanah fiqh para ulama, kita akan mendapati bahwasanya perbedaan pendapat dalam Islam adalah sesuatu yang wajar. Dalam kasus niqab, kita akan mendapati pendapatan imam 4 mahzab berbeda dalam menyikapinya.
Madzhab Hanafi berpandangan bahwasanya wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
Pendapat Imam Maliki, bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.
Pendapat Imam Syafi’i mewajibkan pemakaian cadar. Aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i.
Adapun pendapat imam Hambali, wajib untuk memakai cadar.
Imam Ahmad bin Hambal berkata:
كلشيءمنهاــأيمنالمرأةالحرةــعورةحتىالظفر
“Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya” (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31)
Dan pendapat Syaikh Taqiyudin anNabhani sendiri dalam kitab Nidzam Itjima’i memamndang memakaai cadar adalah mubah. Perbedaan pendapat ini dalam Al-Qur’an berasal dari perbedaan tafsir para ulama mengenai perintah hijab.
Dalam Islam, perintah bagi wanita untuk menutup aurat mereka di atur dalam surat anNur :31 serta al ahzab 59. Perintah ini tidak lain untuk menjaga wanita atau dan dari gharizah nau yang diberikan secara fitrah oleh sang Pencipta bagi kaum Adam.
Adapun pemakaian niqab, penafsiran ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Mari kita melihat ayat qur'an Al-Ahzab 55
Artinya: “Tidak ada dosa atas isteri-isteri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai isteri-isteri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha menyaksikan segala sesuatu. (Q.S. Al Ahzab: 55).
Dan hadits nabi Muhammad
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ(رواه أَبُو دَاوُد)[10]
Artinya: “Dari Aisyah r.a.: Sesungguhnya Asma’i binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah SAW dan dipakainya pakaian yang tipis, maka Rasulullah SAW menyegahnya dan berkata: Wahai Asma’i, sesungguhnya wanita itu bila sudah datang masa haid tidak pantas terlihat tubuhnya kecuali ini dan ini. Beliau sambil menunjukkan muka*dan kedua telapak tangannya.” (H.R. Abu Dawud dari Aisyah r.a.)
Kedua landasan ini merupakan dasar dalam seseorang memilih untuk memakai cadar atau niqab. Mufasirrin pun memaknainya beragam. Sebagaimana disebutkan di atas.
Makna Toleransi dalam Islam
Lalu apakah perbedaan pendapat ini menyebabkan perpecahan dalam tubuh kaum Muslimin? Justru toleransi inilah yang perlu kita contoh. Sudah menjadi hal yang biasa, terdapat perbedaan pendapat antara Imam Malik dan Imam Syafi’i , dapat kita lihat dalam masalah niqab diatas, Imam Malik menghukumii hal tersebut adalah sunah sedangkan Imam Syafi’i melihat hal tersebut adalah suatu yang wajib.
Mengenai Imam Malik, Imam Syafi’i pernah berkata, “Aku tidak pernah menghormati seorang pun seperti penghormatanku pada Malik bin Anas.” Dalam catatan lain, Imam Syafi’i tercatat pernah berkata, “Ketika berbicara tentang atsar, maka Imam Malik adalah bintangnya.”
Ia juga pernah berkata bahwa Imam Malik adalah pendidikku dan guruku. Darinya aku menyerap ribuan pengetahuan. Tiada seorang pun yang lebih kupercayai mengenai agama Allah melebihi dirinya. Karenanya, aku menjadikannya sebagai hujjah antara diriku dan Allah.”
Sedangkan tentang Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya, “Apakah Syafi’i seorang ahli hadis?” Ia menjawab, “Ya, demi Allah, ia adalah ahli hadis.” Jawaban itu bahkan diulang tiga kali sebagai penekanan. Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah berkata tentang Imam Syafi’i bahwa “Imam Syafi’i adalah mujaddid abad kedua dan imam panutan generasi-generasi berikutnya.
Sebelum keluar dari Baghdad dan berpisah dengan muridnya, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i memberi kesaksian pada pembesar ulama di kota itu dengan mengatakan, “aku telah keluar dari Baghdad. Aku tidak meninggalkan di dalam kota itu orang yang lebih bertakwa dan lebih tahu tentang fikih melebihi Ibnu Hanbal.”
Di lain waktu, ketika Imam Syafi’i di Mesir, ia berkata pada muridnya, Ar-Rabi’ bin Sulaiman tentang Imam Ahmad bin Hanbal bahwa “Ahmad adalah seorang imam dalam delapan perkara: hadis, fikih, bahasa, kefakiran, kezuhudan, wara’, dan Sunnah.”
Di samping itu, Imam Syafi’i juga dikisahkan pernah berdebat sengit dengan muridnya, Yunus bin Abdi, hingga membuat Yunus marah dan meninggalkan majelis. Namun, Sang Imam justru datang menemui Yunus di rumahnya untuk menasihatinya bahwa perbedaan adalah lumrah dan rahmat. Diantara salah satu bait nasihatnya begini: “Engkau boleh mengkritik pendapat yang berbeda, namun tetap hormatilah orang yang berbeda pendapat.”
Inilah sedikit cuplikan sejarah keteladanan di tengah perbedaan dalam Islam. Meskipun berbeda pendapat sangat sengit dan dalam banyak perkara fikih maupun ushul fikih, termasuk juga beberapa dalam perkara politik dan kalam (teologi), mereka tetap saling mencintai dan memuji. Inilah perbedaan sesungguhnya dalam Islam. Perbedaan ini tidak menyebabkan mereka keluar dari Islam, bahkan menjadikan diri lebih tawadhu’ menggali dalil-dalil dalam Al-Qura’an dan Sunnah sebagai pemecah segala masalah.
Jadi jelas, sangat bukan pada tempatnya membandingkan cadar dengan konde. Mereka beda level. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!