Rabu, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 28 Februari 2018 22:51 wib
6.614 views
Penguasa Juga Manusia, Kritik Untuknya Harus Tetap Ada
Oleh: Wity Ummu Khansa
Mengkritik penguasa, siap-siap dibungkam. Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden kembali muncul dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). (kompas.com)
MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.
Berdasarkan pasal 264 draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018, seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan sarana teknologi informasi dapat dipidana penjara paling lama lima tahun.
Pasal penghinaan terhadap presiden ini tak ubahnya pasal karet. Tidak ada batasan yang jelas antara menghina dan mengkritik. Sehingga, bisa saja seseorang yang mengkritik kebijakan presiden dianggap menghina presiden.
Sebagaimana pernah terjadi di era Megawati. Redaktur harian nasional Rakyat Merdeka (RM) pernah dibui karena pasal penghinaan presiden ini. Padahal, ia hanya menyampaikan kritik terhadap kebijakan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri lewat media massa.
Penerapan Pasal 134 KUHP pun pernah menimpa aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Monang Johannes Tambunan. Ucapan Monang dianggap merendahkan nama baik presiden saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu Monang memberikan orasi sebagai wujud kekecewaannya dan kawan-kawannya terhadap kinerja program 100 hari SBY yang tidak memberikan dampak signifikan terhadap masyarakat. (kompas.com)
Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dapat menjadi tameng agar posisi kepala negara tidak dapat diganggu gugat. Pasal ini pun dapat digunakan untuk menekan berbagai kritikan atas presiden dan wakil presiden. Jika demikian, jelas bahwa kepala negara ingin menjalankan pemerintahan otoriter. Anti kritik.
Manusia tetaplah manusia. Apapun jabatannya. Presiden dan wakil presiden pun tetaplah manusia biasa yang sedang mengemban amanah menjadi pemimpi negara. Mereka bukanlah malaikat yang luput dari kesalahan. Mereka juga bukan nabi yang selalu mengambil keputusan berdasarkan wahyu. Mereka hanya manusia biasa yang tak luput dari dosa.
Terlebih di dalam sistem kapitalisme-sekuler seperti saat ini. Peluang menetapkan kebijakan dzolim itu terbuka lebar. Tentu saja, karena sekulerisme mengharamkan agama terlibat dalam urusan negara. Sehingga kebijakan yang dibuat tak akan lagi mempertimbangkan hukum syara. Sebagai contoh pengelolaan SDA diserahkan kepada swasta dan asing, LGBT dilindungi, miras dilegalkan, dan lain-lain. Itu semua kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan hukum syara.
...Pasal penghinaan terhadap presiden ini tak ubahnya pasal karet. Tidak ada batasan yang jelas antara menghina dan mengkritik. Sehingga, bisa saja seseorang yang mengkritik kebijakan presiden dianggap menghina presiden...
Dalam Pemerintahan Islam (khilafah), yang menerapkan aturan dari Sang Pemilik Kehidupan sekalipun, tetap dibutuhkan adanya kritikan. Koreksi terhadap jalannya pemerintahan dan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan mutlak dibutuhkan. Agar tidak terjadi kedzaliman. Pemerintahan pun tetap selaras dengan hukum syara.
Umar bin Khathab ketika menjabat sebagai khalifah pernah diprotes oleh seorang wanita karena membatasi mahar sebanyak 400 Dirham. Wanita itu menasihati Umar seraya mengutip firman Allah SWT. QS. an-Nisa (4): 20. Umar pun berkata: "wanita ini benar, dan Umar yang salah." Kemudian beliau meralat keputusannya.
Begitulah, aktivitas mengoreksi penguasa merupakan bagian dari amar makruf nahi mungkar yang bersifat wajib, sebagaimana sabda Rasulullah Saw :
“Siapa saja diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaknya dia mengubahnya dengan tangannya. Apabila dengan tangan tidak mampu, hendaknya ia mengubah dengan lisannya. Jika ia tidak mampu mengubah dengan lisannya, hendaknya ia mengubahnya dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).
Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw telah mendorong kaum Muslim untuk menentang dan mengoreksi penguasa dzalim dan fasiq, walaupun harus menanggung resiko hingga taraf kematian.
Rasulullah Saw bersabda: “Pemimpin syuhada’ adalah Hamzah, serta laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa dzalim, lalu ia menasehati penguasa tersebut, lantas, penguasa itu membunuhnya.” (HR. Hakim dari Jabir).
Begitulah seharusnya. Kritik terhadap penguasa harus tetap ada. Karena bagaimanapun penguasa juga manusia. Tak luput dari salah dan dosa. Wallahu'alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi : Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!