Ahad, 16 Jumadil Akhir 1446 H / 19 November 2017 22:30 wib
6.227 views
'The Untouchable Papah', Korupsi dan Solusi Islam Mengatasinya
Oleh : Wardah Abeedah*
Jagat maya kembali heboh dengan drama baru Ketua DPRD Setya Novanto yang mengalami kecelakaan. Sejak beberapa kali lolos dari jeratan hukum yang menjadikanya tersangka, apapun kejadian yang menimpa politisi berjuluk ‘Papa” ini selalu menarik perhatian publik.
'Kesaktian’ Setya Novanto yang kerap dijuluki ‘The Untoucable' ini terbukti dari beberapa kasus yang sempat menjeratnya. Peradilan masih tak sanggup mengadilinya apalagi mendakwanya. Meski si Papa sering bolak-balik ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa sebagai saksi, seperti korupsi e-KTP, suap Ketua MK Akil Mochtar, hingga kasus PON Riau, namun stempel tersangka yang diberikan KPK di kasus e-KTP dicabut di pra peradilan meja hijau.
Kasus “The Untouchable Papa SetNov ini bukti kuat bahwa hukum di Indonesia kita tercinta masih tebang pilih. Hukum kita masih tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Seringkali kita tonton berita soal nenek miskin yang diduga mencuri piring atau mencuri pohon yang divonis bulanan bahkan tahunan di penjara. Atau kasus anak yang mencuri sandal jepit di masjid yang dituntut lima tahun penjara beberapa tahun yang lalu. Kasus-kasus kecil yang menjerat para fuqoro’ dan masakin seperti ini selalu saja dapat diselesaikan dengan proses hukum yang mudah dan cepat.
Beda ceritanya jika kasus hukum menimpa tokoh-tokoh yang memiliki uang apalagi kuasa. Masih lekat dalam ingatan bagaimana si Gayus Tambunan menghebohkan publik dengan foto santainya di beberapa negara meski saat itu berstatus tahanan. Ataupun kasus-kasus terdakwa korupsi yang seringnya mendapat vonis ringan. Kasus tabrak maut anak pejabat yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden juga hilang begitu saja tanpa menyentuh tersangka.
Begitu juga dengan kasus dijadikannya tersangka beberapa ulama yang dianggap menebarkan ujaran kebencian atau makar. Di lain pihak OPM yang jelas-jelas makar masih melenggang. Dan para buzzer sosmed yang berkicau cadas menebarkan permusuhan pada pihak-pihak Islam masih aman melakukan aksinya tanpa terjerat UU ITE.
Tak hanya di Indonesia, di negeri yang menganut demokrasi lainnya, banyak ditemukan fakta serupa. Di negara pengekspor demokrasi, Amerika sana, Presiden mereka Donald Trump bahkan terjerat 3500 kasus hukum. USA Today melaporkan kasus hukum yang melilit Trump meliputi kasus pribadi dan perusahaan-perusahaannya yang terjadi sejak 30 tahun lalu. Trump terlibat dalam 1.900 kasus sebagai penggugat, tergugat 1.450 kasus, dan sisanya 150 kasus pailit atau yang merujuknya sebagai pihak ketiga. 1.700 diantaranya kasus bisnis kasino, selain tuntutan hukum properti yang bernilai jutaan dolar. Meski begitu, di 2016 Trump tetaplah lolos menjabat orang nomer satu di Negeri Paman Sam tsb.
Di Israel, Presiden Benjamin Netanyahu yang kini berkuasa juga ramai diberitakan terjerat kasus hukum Agustus lalau. Di dalam satu dokumen yang diajukan ke satu pengadilan, polisi mengkonfirmasi untuk pertama kali bahwa Netanyahu adalah tersangka dalam dua kasus korupsi yang sedang diselidiki. (republika.co.id)
Keadilan Sistem Peradilan Islam
Islam bukan sekedar agama ritual sebagaimana agama-agama lainnya. Islam adalah sebuah ideologi yang memiliki akidah sebagai landasan, juga memiliki sistem hidup yang terpancar dari akidah tersebut. Al-Quran dan as-sunnah memuat berbagai sistem dan hukum, baik itu sistem ekonomi, sistem pemerintahan, hingga sistem peradilan.
Jika saja Islam hanyalah sebuah agama ritual sebagaimana agama lainnya, mungkin tak butuh 30 juz, 144 surat dan 6000-an ayat al-Quran untuk menjelaskan ajaran Islam. Pun tak perlu ratusan ribu hadits dan banyak kitab-kitab hadits yang tebal-tebal untuk mengetahui petunjuk Tuhan soal kehidupan. Namun kesempurnaan Islam bisa kita ketahui dari kayanya khazanah tsaqafah atau keilmuan dalam Islam, termasuk dalam sistem peradilannya.
Dalam sistem peradilan Islam, semua warga Negara Islam berkedudukan sama di mata hukum. Islam ataupun non muslim, si miskin atau si kaya, mustahiq atau muzakki, pejabat ataupun rakyat melarat.
Tak ada yang namanya kekebalan hukum bagi siapa pun warga Negara khilafah, termasuk bagi pejabat termasuk khalifah sebagai pemimpin Negara khilafah. Bahkan dalam sistem Islam terdapat sebuah mahkamah khusus untuk aduan rakyat terhadap kedzaliman pejabat dan penguasa. Mahkamah Madzalim namanya. Qadli atau hakim di dalamnya memiliki wewenang untuk menghukum para pejabat dan penguasa hingga mencopot khalifah sekalipun jika dia sudah memenuhi syarat pemakzulan yang ditentukan syariat.
Keadilan sistem Islam juga berasal dari hukum-hukum di dalamnya. Hukum yang dipakai adalah hukum yang berasal dari zat yang Maha Adil. Tak ada multi tafsir, dan tak ada celah untuk mengubah hukum Allah. Terlebih hukum yang bersifat qath’iy dalam hal peradilan, seperti hudud misalnya. Hudud atau had-had berupa hukuman yang telah ditentukan al-Quran dan as-sunnah secara qath’i semisal potong tangan bagi pencuri, cambuk 100 kali bagi pezina yang belum pernah menikah (ghoiru muhson), dll tak akan bisa diubah melalui legislatif, melalui undang-undang yang baru. Karena perbedaan terbesar antara sistem pemerintahan demokrasi dengan sistem pemerintahan Islam berupa khilafah/imamah terletak pada kedaulatan.
Dalam Islam, kedaulatan atau yang berhak membuat hukum adalah Allah, Sang Pembuat Syariat. Maka sulit mencari celah bagi siapa pun untuk lolos dari satu pasal dengan cara berlindung di balik pasal lainnya, seperti yang terjadi saat ini. Meski dalam kasus hukum yang tak termasuk hudud qadli akan berijtihad, tetap saja tak ada celah untuk bebas dari sangsi karena jenis-jenis sangsi (uqubat) yang dibolehkan syara’ untuk dijatuhkan sudah ditentukan syariat dengan nash-nash yang jelas.
Dalam proses peradilannya, ijtihad-ijtihad yang dilakukan juga memiliki pakem yang sama dalam pengambilan dalilnya. Ini membuat perbedaan yang ada antar satu qadli denga qadli lainnya tak akan jauh berbeda dan tetaplah adil karena bersumber dari quran dan sunnah. Berbeda dengan saat ini, pengambilan hukum tak memiliki pakem sebaik standard ijtihad, namun lebih diserahkan kepada suara terbanyak di legislatif. Padahal tak semua legislator paham persoalan peradilan dan tak semuanya adalah sososk yang adil dan hanif.
Keadilan dalam sejarah peradaban Islam
Peradaban Islam yang pernah menguasai 2/3 dunia selama 13 abad menorehkan tinta emas dalam keadilan sistem peradilannya. Pada masa awal berdirinya di Madinah, ketika rasulullah SAW memimpin, terdapat seorang wanita bangsawan yang mencuri. Beberapa tokoh pada masa itu meminta Rasulullah SAW untuk tak mengadilinya. Namun bagaimana respon Rasulullah? Beliau bahkan bersabda dengan perkataan yang masyhur hingga zaman ini, “Demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya aku memotong tangannya.” (HR. Bukhari Muslim)
Di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, belaiu ra. pernah berselisih dengan seorang rakyatnya yang beragama Yahudi. Baju besi milik sang Khalifah terjatuh dan hilang. Lalu dia menemukannya berada di tangan seorang Yahudi. Namun saat keduanya berada di pengadilan, dan saling mengklaim atas kepemilikan baju besi tersebut, Syuraih Sang qadhi saat itu justru memenangkan si Yahudi tadi.
Ini karena Khalifah Ali tak memiliki saksi kecuali anaknya, sedangkan kesaksian anak tidak diterima dalam peradilan Islam. Hingga akhirnya keadilan sistem uqubat Islam ini menjadikan si Yahudi merengkuh hidayah Islam. Si Yahudi mengakui kesalahannya, mengembalikan baju besi tersebut dan masuk Islam. Kemudian khalifah Ali menghibahkan baju besi tadi kepadanya dan menambahkan baginya hadiah.
Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah pernah mengadili putra Gubernur Mesir masa itu, Muhammad bin Amr bin Ash. Putra Sang Gubernur dilaporkan telah mencambuk Pemuda Mesir karena telah mengalahkannya dalam sebuah perlombaan. Pengaduan ini diterima oleh khalifah, beliau memanggil gubernur beserta anaknya. Sesampainya mereka di Madinah, Umar meminta pemuda tadi untuk mencambuk Muhammad bin Amr bin Ash.
Beginilah potret keadilan dalam Islam. Hukum-hukum peradilannya bersumber dari nash yang diturunkan Zat yg Maha Adil. Sistem peradilan itu didukung dengan sistem pendidikan yang bertujuan mewujudkan ketakwaan di tengah-tengah masyarakat. Sehingga ketakwaan individu menjadi benteng yang kuat untuk menghindarkan masyarakat dari perbuatan kriminal, selain hukuman tegas dan memberi efek jera menjadi kontrol negara. Sehingga keadilan, ketentraman dan keamanan terwujud dalam negara, dirasakan oleh semua pihak siapa pun orangnya.
Jadi kesimpulannya, andai The Untoucable Papa hidup di masa khilafah bagaimana? In sya Allah tak akan ada The Untouchable Papa, mama, khalifah atau siapa pun. Karena peradilan Islam yang ditopang oleh sistem pemerintahan Islam yang menerapkan sistem ekonomi Islam dan sistem pendidikan Islam sekaligus akan mampu menutup celah untuk tercetaknya koruptor yang Untouchable. Allahu a’lam bis showab. (riafariana/voa-islam.com)
*Penulis, Muballighoh
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!