Sabtu, 16 Jumadil Akhir 1446 H / 7 Oktober 2017 21:12 wib
7.737 views
Membedah Kritisisme Media dalam Global War on Terorism
Oleh: Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)
Media menjadi pihak yang paling memiliki kuasa dalam global war on terorrisme (GWOT). Peranannya mampu mengarahkan opini dan persepsi publik. Terkadang lucu dan menggemaskan dalam kaitan GWOT. Terlebih jika pelaku teror itu bukan muslim dan berciri-ciri muslim. Sudah bisa dibaca penyebutannya sekadar pelaku kejahatan atau tindakan kriminal. Peristiwa penembakan di Las Vegas dan kejadian serupa di Amerika Serikat menjadi bukti nyata. Begitu pula yang pernah terjadi pada Bom Alam Sutera di Indonesia.
Sebaliknya, jika pelakunya muslim dan berciri-ciri muslim, maka gorengannya berita semakin gurih dan renyah. Tak ada kata garing. Peristiwa bom di Paris, London, dan Jakarta menjadi berita laris manis. Dunia pun menyatakan bela sungkawa mendalam, disertai dengan tanda (#) hastage di media sosial.
Kritisisme Media
Pelaku media mainstream saat ini dapat dipahami akan lebih tendensius jika berkaitan dengan Islam dan muslim. Pada titik inilah kritisisme media diuji publik terkait keberimbangan pemberitaanya. Meski terorisme bukanlah fenomena baru, namun pemaknaanya menemukan kebaruan pada awal abad 21 setelah peristiwa WTC 11 September 2001. Kebaruan makna terorisme ini bisa disimak di Time Line of Terorrist yang disusun oleh US Departement of Defense.
Dalam rentang waktu yang dibuat meluputi tahun 1960-1969, 1980-1989, 1990-1999, dan 2000-2006, terdapat pergeseran kevendereungan peristiwa terorisme. Sebagai misal sebelum era 2000-2006, hampir semua kejadian yang dirujuk sebagai kegiatan teroris tidak terkait dengan Islam maupun Timur Tengah. Justru pada era 2000-2006, kecenderungan ini berbalik 180 derajat dan hamoir semuanya terkait dengan Islam dan atau Timur Tengah (http://www.army.mil/terrorism/1989-1980/index.html).
Jejaring media mainstream yang mengglobal tampaknya menyepakati kebaruan definisi tersebut. Makna terorisme sering ditafsirkan tunggal berdasar kepentingan media dan kekuasaan. Tak ubahnya lambat laun narasi dibangun hanya demi kepentingan bisnis dan ekonomi. Kalaulah umat Islam dikorbankan demi kepentingan ini bagi mereka tak masalah. Pikirannya sederhana: ideologi Islam sebagai musuh bersama demi kepentingan dunia.
Tak bisa dipungkiri GWOT akhirnya memasuki ranah politik. Penggunaan kata teroris sarat muatan politis, yakni penciptaan dan pencitraan yang diposisikan sebagai lawan dari kemapanan yang legitimate. Sebagaimana dinyatakan oleh Cox (2004:318). “The word ‘terrorist’ is used by established authority to stress the illegitimacy of perpetrators of irregular violence. Those people prefer words like ‘freedom fighters’ and ‘martyrs’ that lay claim to an alternative legitimacy”. (Beyond Empire and Terror: Critical Reflections on the Political Economy of World Order).
Nasib Media ke Depan
Jika media tidak bisa melepas kepentingan dalam GWOT maka akan banyak ditinggalkan pemirsa. Kecenderungan pemberitaan yang tendensius akan sangat mudah terbaca. Publik pun akhirnya mewartakan kejadian sesungguhnya melalui citizen journalism. Media sosial menjadi media paling efektif sebagai pembanding dan penyeimbang pemberitaan. Ada hal-hal baru dan menarik yang tidak terberitakan di media mainstream.
Pemberitaan peristiwa terorisme di media cenderung pada hegemoni dan monsterisasi. Hal ikhwal yang di awal memang menakutkan, namun seiring kecerdasan berfikir manusia akan tergerak mencari jawaban. Publik pun tak akan kekurangan untuk melakukan kontra pemberitaan. Pernyataan Ideologi sebagai ideologi setan dan inspirasi kekerasan, tampaknya akan mengalami kebuntuan. Pasalnya, beberapa peristiwa teror pelakunya bukan muslim atau terinspirasi ide kekerasan.
Peristiwa demi peristiwa akan semakin menyibak kekonyolan GWOT yang dilakukan di setiap negara. Begitu pun upaya untuk menanggulangi terorisme dengan beragam program akan mangkrak dan tak berguna. Media harus kembali ke jalan yang benar. Islam dan umatnya jangan terus dideskreditkan dan dipojokkan. Jika media ingin tetap eksis dalam pemberitaan dan menjadi rujukan kebaikan, bersikap kritis dan adillah. Bela kepentingan publik, bukan kepentingan pemilik konglomerasi media atau penyedia jasa.
Di sinilah kritisisme media dipertanyakan. Akankah media ke depan bisa menjadi bagian dari jurnalisme profetik dan kebenaran? Atau sebaliknya menjadi jurnalisme hoax and fake? [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!