Jum'at, 18 Jumadil Akhir 1446 H / 21 April 2017 21:30 wib
9.786 views
Ketegangan di Semenanjung Korea, Bagian Langkah AS Hambat Aktivitas Militer di Laut China Selatan
Sahabat VOA-Islam...
Berdasarkan citra yang dirilis oleh AMTI (Asia Matitime Transparency Initiative) menunjukan puluhan hangar dan radar berkemampuan tinggi sebagai bagian dari Proyek Beijing di Laut Cina Selatan sudah hampir beroprasi. Hangar ini dapat menyimpan pesawat pengebom dan jet-jet tempur China. Selain itu, infrastruktur pertahanan lainnya nyaris rampung di kepulauan Spratly ini yakni di terumbu Fiery Cross, Mischief dan Subi.
Tidak hanya itu, pembangunan infrastruktur militer di kepulauan Spratly serta pulau Woody memberikan keleluasaan bagi China dalam mengendalikan kawasan laut China selatan baik sebagai benteng pengamanan posisi strategis bagi ekonomi China maupun dari ancaman militer yang mungkin datang dari negara-negara tetangga bahkan dari pengendali proksi utama, yakni AS.
Antisipasi ini tentu jelas tertunjukan kepada AS tatkala rutinitas aktivitas patroli AS yang terus menerus seiring mencuatnya konflik LCS. AS berpatroli melintasi kawasan ini, Spartly tepatnya ditahun 2015. Dengan menggunakan USS Lassen dengan fasilitas rudal, AS melakukan patroli atas kawasan ini dengan dalih bahwa perairan dimana dibangunnya fasilitas militer itu merupakan perairan internasional.
Ketegangan di Korea dan Langkah AS
Di bawah Trump, AS telah mengirimkan kapal induk Carl Vinson tepat pada 4 Maret 2017 lalu yang yang diduga membawa 60 unit pesawat tempur termasuk jet F-18. Kapal ini sebelumnya pernah berpatroli pada tanggal 18 Februari. Namun demikian, seiring meningkatnya ketegangan diperairan semenanjung Kora, USS Vinson dikirim dalam upaya menggertak Korut. Sebagai gantinya, USS Stethem AS dikerahkan untuk melakukan operasi pada tanggal 15 April 2017 yang berbasis di Yokosuka, Jepang.
Meski AS menganggap bahwa kawasan dekat kepulauan Spartly adalah perairan internasional, tampak China tidak peduli hingga mengukuhkan sikapnya dalam pembangunan infrastruktur militer dikawasan tersebut. Tak tanggung-tanggung, China telah menolak keputusan pengadilan internasional di Den Haag atas posisi LCS yang China tidak berkewenangan untuk mengklaim kawasan tersbut pada haru selasa, 12/7/2016 tahun lalu.
Pada posisi ini, tampak keputusan pengadilan internasional PBB mesti terdukung oleh negara-negara berkepentingan atas kawasan. Keputusan yang diambil sebagai jalan legitimasi atasnya bahwa LCS mesti dibatalkan terhadap klaim yang dilakukan oleh China. Seperti kebiasaannya, AS menjadi lajur penyambung hukum internasional itu, dalam implementasi dilapangan serta mengintimidasi negara-negara tertentu, termasuk China. Disamping kepentingan AS atas kawasan, keputusan tersebut menjadi kekuatan tersendiri bagi AS untuk terus mendesak. Meski pada akhirnya China bersih kukuh dalam pembangunan infrastruktur militer ini.
Hingga pada akhirnya di awal tahun 2017, Tillerson selama menjadi kandidat Menlu AS memberikan statementnya bahwa “Kami akan mengirim sinyal kepada Cina, Pertama menghentikan pembangunan di pulau-pulau itu, kedua tidak memperkenankan akses masuk ke pulau-pulau itu”. Hingga kini, Tillerson menganggap aksi China atas LCS dengan berbagai pembangunan militer diatasnya merupakan bentuk pencaplokan wilayah sebagaimana Rusia terhadap Krimea.
Sontak pernyataan Tillerson dalam beberapa topik LCS ini mendapatkan kecaman dari media China Global Times dalam sebuah editorial (13 Januari 2017): “Tillerson memiliki tulang yang lebih baik untuk strategi nuklir jika dia ingin memaksakan kekuatan nuklir besar ini menarik diri dari wilayahnya sendiri”. Provokasi reotris ini telah mengindikasikan bahwa penentangan Tillerson terhadap China mesti dilalui diatas lajur “perang nuklir”. Dalam konteks ini perlu didalami problem-problem China yang terus dieksploitasi bagi seorang Menteri Luar negeri As ini.
Terutama problem Taiwan. Tillerson tidak pernah abai terhadap realitas provinsi yang membangkan terhadap Cina, Taiwan. Tillerson pernah mengatakan “Washingotn harus menegaskan komitmen hubungannya dengan Taiwan. Taiwan dainggap sebagai provinsi yang membangkan oleh Beijing dan AS memiliki kewajiban akan penghormatan China yang satu itu”. Sejak 1979 AS mengalihkan diplomatik terhadap China, namun demikian Taiwan masih dalam jejaring sekutu dalam penyanderaan pasokan senjata terbesar dari AS.
Ditariknya Tillerson sebagai Menlu bagi AS menjawab akan misi besar AS atas China dari rangkaian safari yang dilakukannya dari Jepang Korea Selatan hingga China sebelum pengkondisian di Meja Florida yakni pertemuan Xi dan Trump pada 13 Maret 2017. Pesan tegas atas kekuatan AS terhadap siapa saja yang mendominankan diri di kawasan Asia Pasifik diletupkan pada pemboman aksi moral AS sebagai wujud “serangan balasan” terhadap penyerangan senjata kimia di Suriah 7 April lalu. Veto China tak berlaku, Sikap moderat harus ditempuh China dalam menjalankan tuas pengamanan kawasan.
Seketika, beberapa hari pasca pertemuan Xi dan Trump, kondisi teritorial Korea Utara tegang baik dilangit maupun dibawah dengan asupan semangat “Hari Matahari”. Tak ketinggalan USS Carl Vinson bergerak menuju perairan semenanjung Korea pada tanggal 10 April 2017. Namun, Apakah pengarahan USS Carl Vinson ini memberikan simbol akan ‘pengabaian’ sengketa laut china selatan dengan pembangunan infrastruktur militer didalamnya yang mencuat diakhir maret lalu (29 Maret 2017)?
Boleh jadi pertanyaan tersebut terbenarkan dengan aliansi yang terbentuk dalam upaya menghadapi Korea Utara antara AS, Korea Selatan dan China. Dari sisi kebijakan kerjasama China – Korut, Beijing menghentikan impor pasokan batu bara dari Korea Utara. Bahkan disebutkan dalam Global Times China sebakat akan penjatuhan hukuman berat oleh DK PBB atas Korut bilamana membandel membuat langkah-langkah provokatif. Selain itu pada tanggal 11 April, China mengirimkan 150 ribu pasukan diperbatasan.
Namun demikian, perlu menjadi catatan apa yang menjadi agenda Tillerson adalah (1) membatalkan pembangunan infrastruktur, (2) membatasi akses China menuju LCS termasuk pulau buatan itu. Dengan kenampakan yang terjadi pasca reorika keras antara Beijing dan Washington, terlihat kumparan panas di semenanjung korea utara telah menggerakan langkah yang menyibukan bagi China dalam mengentaskan problem nuklir Korut. Dari situlah terlihat, mengapa AS tidak begitu menanggapi atas pembangunan pulau buatan walau patroli tetap dilakukan, sampai terlontar pertanyaan ini dari mulut Duterte.
Upaya ini adalah langkah perontokan kekuatan China yang harus menggeser pembangunan ekonominya kearah pembangunan benteng-benteng militer. Akses AS yang dikawasan Asia yang terus dibayang-bayangi oleh China dalam kompetisi ekonominya perlu diperlebar dengan mereduksi dominasi China dikawasan. Prosesi ini tidak dapat terjadi kecuali mengalihkan fokus utama politik luar negeri China yang tengah menghidupkan jalur sutra dari China hingga Eropa.
Betapa perbangkitan ekonomi yang menakutkan bagi AS bilamana China dibiarkan lengang membangun perekonomiannya hingga keluar batas-batas teritori sebagai adidaya pesaing AS. Alhasil, upaya mereka situasi di Korea Utara telah menjadi ruang penjepit yang memutar sejak dari Laut Cina Selatan untuk memutar moncong senjata Cina kepada riak-riak buatan itu, bukan pada AS. Tapi AS mendapatkan keuntungan akan hal itu tanpa harus membuang setetes darah!
Diungkapkan dalam respon terhadap situasi korut, Wang Yi, Menlu China mengatakan "Kami mendesak semua pihak untuk tidak lagi terlibat dalam aksi saling provokasi dan mengancam, baik melalui kata-kata atau perbuatan, dan tidak mendorong situasi ke titik di mana ia tidak berbalik dan keluar dari jalurnya," statement ini tentu mengindikasikan bahwa China tengah terdesak dari apa yang harus disibukannya itu.
Hingga pada akhirnya, China harus meminta bantuan kepada Rusia akan upaya memadamkan ketegangan ini. Satu hal, langkah-langkah China di LCS terus diintimidasi oleh “dunia internasional” sebagai bentuk aneksasi semisal Rusia. Hal yang lain, China membenarkan hal tersebut dengan berpadu pada Rusia dalam konteks yang lain terkhusus masalah Korea Utara ini dengan sikap moderatnya termasuk veto terhadap Suriah.
Dengan mengurai aktivitas-aktivitas di beberapa titik kawasan asia pasifik ini, tentu gertakan pergerakan pasukan-pasukan dan kapal induk AS menuju semenanjung Korea adalah wujud dari upaya menggagalkan LCS untuk jatuh ketangan China secara genap. Aktivitas yang dimana telah teramini oleh keputusan badan Internasional DK PBB dan dukungan negara-negara proksi AS.
Bandelnya China, tidak bisa tidak mesti ditekan dari berbagai sudut teritorinya, yakni dengan mengeksploitasi nuklir Korea Utara sebagai atmosfir ketegangan yang mengaburkan arah polugri China dalam merancang ekonomi mendatang. Alhasil, kini tinggal menanti, kapan AS mematahkan lajur akses China menuju pulau-pulau buatan itu di LCS, Laut Cina Selatan. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Aji Teja H
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!