Jum'at, 19 Jumadil Akhir 1446 H / 31 Maret 2017 22:07 wib
10.130 views
Penjajahan Intelektual Dibalik World Class University
Oleh: Lusiyani Dewi, S.Kom (Aktivis MHTI Bandung)
Di era globalisasi saat ini, pendidikan telah menjadi perkara yang sangat penting. Orang-orang mencari universitas yang berkualitas terbaik. Harvard University, Stanford University, UC Berkeley, Universitas Oxford adalah beberapa universitas yang telah dikenal sebagai top 500 universitas dunia berdasarkan Peringkat Akademik Universitas Dunia 2015. Kita sering mendengar nama-nama itu dalam kegiatan penelitian, dan universitas mereka telah menghasilkan banyak orang yang benar-benar memenuhi syarat dalam bidang mereka.
Begitupun di dunia Islam, mahasiswa Muslim mana yang tidak menginginkan menempuh studi di sebuah universitas kelas dunia? Dan dosen Muslim mana yang tidak bercita-cita memiliki sebuah lingkungan akademis yang kualitasnya kelas dunia? Slogan World Class University atau research university dalam satu dekade ini semakin gencar kita dengar. Setiap perguruan tinggi di manapun dibelahan dunia ini akhirnya bercita-cita menjadi satu diantara sekian banyak World Class University.
Secara global, pengertian world class university dapat dipahami sebagai mekanisme perankingan dalam skala internasional. Artinya segi operasional, fasilitas, metode, dan lulusan perguruan tinggi yang mampu bersaing di tingkat internasional. World class university mulai bermunculan di kawasan asia khususnya singapura, korea selatan, cina, Hongkong, Thailand, Jepang, Vietnam dan Taiwan dengan anggaran yang besar dan di dukung oleh kebijakan dari pemerintahnya.
Munculnya universitas kelas dunia di asia tentu akan bersaing dengan universitas di Eropa dan Amerika yang selama ini menguasai didunia, world class university dianggap sebagai suatu sistem kompetitif, yang mengarah pada “One-Dimensional Man” artinya menggiring pada satu sistem yang sama akibat dari adanya globalisasi dan modernisasi.
Seperti dikemukakan Philip G Albach dalam The Costs and Benefits of World-Class Universities (2005), ‘universitas kelas dunia’ adalah ‘universitas yang memiliki ranking utama di dunia, yang memiliki standar internasional dalam keunggulan (excellence)’. Keunggulan tersebut mencakup antara lain keunggulan dalam riset yang diakui masyarakat akademis internasional melalui publikasi internasional, keunggulan dalam tenaga pengajar (profesor) yang berkualifikasi tinggi dan terbaik dalam bidangnya, keunggulan dalam kebebasan akademik dan kegairahan intelektual, keunggulan manajemen dan governance, fasilitas yang memadai untuk pekerjaan akademis, seperti perpustakaan yang lengkap, laboratorium yang mutakhir, dan pendanaan yang memadai untuk menunjang proses belajar-mengajar dan riset. Dan tidak kurang pentingnya, keunggulan dalam kerja sama internasional, baik dalam program akademis, riset, dan sebagainya.
Beberapa lembaga peneliti telah berdiri untuk melakukan riset di berbagai universitas di dunia, seperti Academic Ranking of World Universities (ARWU), Times Higher Education (THE), ataupun Webometrics. Dari beragam syarat lembaga peneliti tersebut, terdapat tiga syarat inti yang patut diperhatikan pertama, bagaimana perguruan tinggi merancang kegiatan riset yang dapat menghasilkan invensi dan inovasi kualitas dunia. Kedua, bagaimana agar tulisan peneliti atau dosen dapat dipublikasikan oleh jurnal akademik internasional dan dapat menjadi referensi oleh peneliti dan dosen PT lain. Dan ketiga, bagaimana staf atau alumni suatu PT dapat meraih penghargaan-penghargaan bertaraf internasional.
Program WCU di Indonesia
World Class University (WCU) mulai dikenal luas diIndonesia sejak akhir Januari 2006 ketika Departemen pendidikan Nasional (Diknas) membentuk Tim Gugus Tugas Penetapan 10 Perguruan Tinggi (PT) yang dipersiapkan untuk menjadi universitas kelas dunia. Tahun berikutnya, Diknas kembali menyiapkan 50 PT untuk tujuan yang sama; terdiri dari 27 PT negeri dan 23 PT swasta. Dari persiapan tersebut pihak Diknas kemudian mendorong ke 50 PT untuk melakukan dialog dengan sejumlah rekanan mulai dari tingkat ASEAN hingga ketingkat dunia, juga menjanjikan akan memberikan fasilitas untuk mengikuti akreditasi internasional.
Pada tahun-tahun berikutnya berbagai PT di Indonesia berlomba-lomba untuk menjadi universitas berskala internasional. WCU tampaknya telah menjadi syarat utama bagi PT di Indonesia untuk meningkatkan kualitas agar mampu bersaing dengan PT luar negeri. Kemenristekdikti menjadikannya arus dengan agenda yang dinamakan “Peningkatan Reputasi Perguruan Tinggi Indonesia Menuju World Class University (WCU)”.
Melalui agenda ini, tahun 2010 pemerintah menargetkan 11 perguruan tinggi negeri (PTN) besar di Indonesia untuk bisa masuk ke dalam kelompok World Class University (WCU). Namun pada awal tahun 2015 menunjukkan baru dua kampus (UI dan ITB) yang memenuhi target tersebut. Mandat tersebut diberikan kepada UI, ITB, UGM, Unair, IPB, Undip, UNS (universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta), ITS Surabaya (Institut Teknologi Sepuluh November), Universitas Brawijaya, Unpad dan Unhas. Lima perguruan tinggi di Indonesia ditargetkan masuk dalam jajaran 500 perguruan tinggi top di dunia pada 2019 yakni Unair, ITS, UGM, ITB, dan UI.
Pemerintah akan mengucurkan dana sebesar Rp5 miliar per tahun kepada lima perguruan tinggi itu. Dana tersebut digunakan sebagai pembiayaan atas solusi jangka pendek seperti memperbarui data-data dosen asing, meningkatkan jumlah peneliti dan mahasiswa internasional, dan mengumpulkan data-data penelitian. Selain itu, ada lembaga khusus (bisa merupakan bagian kerja sama internasional) yang disiapkan mengurusi soal perbaruan informasi data ke lembaga pemeringkatan.
Karena bukanlah rahasia lagi, bahwa tidak banyak PT di Indonesia yang mampu bersaing di tingkat internasional, bahkan untuk level nasional saja, sebagian besar belum memenuhi harapan. Banyak faktor penyebabnya sejak dari tradisi universitas yang relatif baru, hanya sejak masa pasca Kemerdekaan Indonesia mulai memiliki universitas, pembiayaan yang minim, kualifikasi sumber daya dosen yang rendah, fasilitas yang tidak memadai, tidak ada atau kurangnya jaringan nasional dan internasional, dan sejumlah faktor lainnya. Tak kurang pentingnya, Pemerintah Indonesia dalam kebijakan politik pendidikannya sejak masa kemerdekaan hampir tidak pernah memprioritaskan pendidikan tinggi. Hal inilah yang membuat berkumandangnya seruan berulang untuk meningkatkan peringkat universitas di Indonesia agar menjadi universitas 'kelas dunia'.
Neoimperialisme di Balik WCU
Penjajahan gaya baru sangat tampak dibalik World Class University. Barat melalui lembaganya yaitu WTO yang diprakarsai oleh Amerika Serikat, yang berdiri pada tanggal 1 Januari 1995, dijadikan kendaraan politik untuk proses globalisasi aspek pendidikan. GATT-WTO sebagai salah satu skema penghisapan yang mengikat bagi seluruh negara anggotanya dalam aspek perdagangan, telah menjalankan skema liberalisasi tidak hanya dalam aspek perdagangan, namun juga menarik sejumlah sektor publik kedalam sektor jasa sehingga dapat diperdagangkan dan memberikan keuntungan yang melimpah. Dibawah kesepakatan General Agreement on Tariffs and Service (GATS-WTO), WTO telah meletakkan liberalisasi perdagangan sektor jasa pendidikan berdampingan dengan liberalisasi layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, serta jasa-jasa lainnya.
Kepentingan ekonomi negara-negara majulah sesungguhnya yang berada di balik agenda liberalisasi pendidikan. Paling tidak, ada tiga negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari bisnis pendidikan, yaitu Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $14 milyar. Di Inggris sumbangan ekspor pendidikan mencapai 4 persen dari total penerimaan sektor jasa negara tersebut.
Demikian juga dengan Australia, yang pada tahun 1993, ekspor jasa pendidikan dan pelatihan telah menghasilkan AUS $1,2 milyar. Tidak mengherankan tiga negara tersebut yang amat getol menuntut sektor jasa pendidikan melalui WTO. Melihat data-data tersebut, menjadi mudah dimengerti bahwa perdagangan jasa pendidikan sebenarnya digerakkan untuk mengejar keuntungan ekonomi semata oleh negara-negara maju. Tujuan pendidikan akhirnya digantikan dengan hitungan untung rugi dalam logika bisnis.
Indonesia sendiri mulai mengikatkan diri dalam WTO sejak tahun 1994. Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization”. Tahun 2001 pemerintah Indonesia kembali meratifikasi kesepakatan internasional, yakni kesepakatan bersama tentang perdagangan jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dimana pendidikan dijadikan sebagai salah satu dari 12 komoditas (barang dagangan).
Dengan demikian para investor bisa menanamkan modalnya disektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi). Pada akhirnya semakin melegitimasi adanya komersialiasi pendidikan tinggi, pelepasan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dan berdampak pada semakin rendahnya akses pendidikan tinggi yang mampu dinikmati oleh rakyat Indonesia.
Indonesiapun telah mengadopsi KBE (Knowledge Based Economy, Ekonomi Berbasis Pengetahuan).WCU sendiri merupakan salah satu capaian program KBE tersebut. Arti penting capaian WCU bagi kesuksesan agenda KBE adalah posisi strategis institusi pendidikan tinggi sebagai inti dari sistem ilmu. Dimana menurut World Bank, pendidikan adalah salah satu dari 4 pilar yang sangat penting agar suatu negara dapat berpartisipasi sepenuhnya dalam knowledge economy.
Indonesia menjadikan KBE sebagai arah pembangunan nasional. Ini sebagaimana yang tercantum dalam RPJPN tahun 2005-2025. “Pengembangan iptek untuk ekonomi diarahkan pada peningkatan kualitas dan kemanfaatan iptek nasional dalam rangka mendukung daya saing secara global. Hal itu dilakukan melalui peningkatan, penguasaan, dan penerapan iptek secara luas dalam sistem produksi barang/jasa, pembangunan pusat-pusat keunggulan iptek, pengembangan lembaga penelitian yang handal, perwujudan sistem pengakuan terhadap hasil pertemuan dan hak atas kekayaan intelektual (HAKI)...”.
WCU melalui konsep HAKI-nya akan mengakibatkan para intelektual muslim ikut terseret dalam arus yang makin menjauhkan mereka dari idealisme intelektualitasnya. Dengan adanya WCU, aktualisasi keilmuan mereka bukan untuk kemaslahatan umat, tetapi untuk aspek ekonomi/bisnis. Bahkan secara tidak sadar, mereka dijadikan alat oleh penjajah.
Sekulerisasi pendidikan pun tampak dalam program WCU, kaum intelektual muslim seakan dituntut menguasai pengetahuan dan kemampuan yang dapat digunakan sebagai modal utama memasuki ekonomi pasar bebas, tujuannya agar dapat berkompetisi dan memenangkan kompetisi global itu. Dampak globalisasi membuat negara-negara berkembang merasa harus menyetarakan kualitas dirinya sejajar dengan negara-negara maju dilihat dari Human Development Index (HDI), Program for International Student Assessment (PISA), dan lainnya.
Para penjajah Barat telah merancang bagi dunia Islam, sistem pendidikan dan tsaqafah atas dasar pandangan hidup ala Barat, yaitu berupa pemisahan materi dari ruh dan pemisahan agama dari negara. Penjajah Barat menjadikan kepribadian mereka sebagai satu-satunya sumber tsaqafah umat Islam. Akibatnya, menjadikan intelektual muslim berpikir dan berbuat berdasarkan standar barat. Terjadilah pergeseran paradigma berpikir mereka, tidak lagi Islam, melainkan ide-ide barat beserta turunannya. Mereka tidak lagi berjalan sebagaimana perintah Rabb-nya, tapi mereka jadi lebih patuh pada perintah tuannya.
Komersialisasi dan pembajakan riset melalui publikasi pada jurnal internasional sebagai salah satu kriteria penentu WCU terlihat dari begitu berkuasanya korporasi seperti scopus, Elsevier dan Quacquarelly Symonds dalam menentukan peta riset. Melalui kewenangannya menentukan kriteria riset yang layak dipublikasi dan kepada siapa hasil riset itu akan diberikan dan untuk kepentingan apa. Tragisnya pemerintah kita terus mendorong publikasi seperti ini.
Seperti dikeluarkannya surat edaran implementasi SNPT pada program pasca sarjana yang salah satunya berisi kewajiban publikasi bagi mahasiswa program magister dijurnal internasional. Pada tahun 2017 agar komersialisasi riset berjalan massif, Kemenristek Dikti menyediakan total anggaran Rp 390 miliar, dana ini lebih tinggi dari tahun lalu. Bahayanya, kondisi bangsa ini tetap tertinggal di bidang riset dan teknologi, namun semakin menguatnya cengkaraman kafir penjajah terhadap berbagai hasil riset yang telah menguras daya intelektual generasi bangsa.
Jenjang pendidikan tinggi adalah jenjang puncak yang paling dekat relasinya dengan dunia industri. Karena itu biasanya produktivitas riset/penelitian selalu mendapat stimulasi dari kebutuhan dunia industri yang membutuhkan inovasi tinggi. Arus WCU mengekalkan kondisi de-industrialisasi didunia Islam karena mengarahkan penelitian di dunia Islam agar melayani kebutuhan industri negara kapitalis, bukan industri nasional di negaranya sendiri.
Kriteria penilaian WCU, dilihat dari indikator THE misalnya, membuat kampus layaknya sebuah korporasi yang berupaya untuk meraup untung dari aktivitas intelektual terutama penelitian untuk dunia industri global yang jika perlu meninggalkan kepentingan negeri sendiri. Hal ini sesuai dengan arus pendidikan tinggi menjadi industri tersier yang dipelopori oleh WTO dengan menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier. Akibat desakan WTO untuk ratifikasi GATS tersebut, pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan Perpres no.111/2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Perpres tersebut telah memasukkan bidang pendidikan sebagai salah satu bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal asing bahkan dengan penyertaan modal maksimum 49%. Ini adalah jebakan hegemoni kekuatan asing pada sistem pendidikan di dunia Islam.
Khatimah
Dari sini terlihat jelas bahwasanya World Class University hakikatnya adalah penjajahan intelektual didunia Islam. Dengan tidak adanya kemandirian dalam aspek pendidikan, akhirnya pemerintah negeri muslim teramat bergantung pada barat dan miskin visi orisinil untuk memajukan pendidikan peradaban mereka sendiri.
Ketika pemerintah dunia Islam berusaha keras ingin menjadi universitas kelas dunia dengan segala persyaratannya, maka artinya sistem pendidikan di dunia Islam telah tunduk di bawah dikte perusahaan penerbitan, lembaga penelitian dan kampus asing. Oleh karena itu, WCU hanyalah skenario hegemoni barat terhadap sistem pendidikan dunia Islam. Wallahu a’lam bishawwab. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!