Kamis, 19 Jumadil Akhir 1446 H / 23 Maret 2017 20:59 wib
9.654 views
Kasus Poligami Sang Ustadz VS Kasus Penista Agama
Oleh: Wati, SPd*
"Parah! Ustad Al-Habsyi poligami bertahun-tahun tanpa sepengetahuan Putri Aisyah, Indonesia darurat Ustadz Abal-abal."
Begitu salah satu judul tulisan di salah satu web saat kita mengetik kata sandi “poligami ustadz” di mesin pencarian. Setelah sebelumnya fitnah perzinahan menimpa salah seorang ulama besar negeri ini, kembali tokoh Islam digegerkan dengan isu poligami ustadz yang satu ini. Isu yang diangkat adalah gugat cerai dari istri pertama yang merasa terzalimi setelah mengetahui sang suami sudah menikah lagi selama 7 tahun tanpa sepengetahuannya.
“Namun, hari demi hari, bulan demi bulan semua berubah ketika ia (istri pertama) mengetahui pernikahan suaminya itu," pungkas Vidi Galenso selaku kuasa hukum Putri, istri pertama ustadz Al-Habsyi. (bangka.tribunnews.com, 15/03/17)
Seperti sebuah dosa yang tak kalah besar dengan kasus penistaan agama, kasus poligami ini bak sebuah serangan balik jurus mabuk oleh para pembela penista. Kenapa demikian? Karena saya tengah membandingkan kasus poligami ini dengan kasus penistaan agama yang fenomenal itu. Dan hingga kini sidang ke-15 belum juga ada kejelasan hukum atas kasus ini. Namun terlepas dari hal tersebut sebagai muslim kita harus menempatkan setiap masalah sesuai ketetapan syariat. Baik buruk, terpuji tercela semua harus memakai standar syariat Islam. Karena kelak ini semua meminta pertanggungjawaban kita di Yaumil Hisab.
Poligami Dalam Pandangan Syariat
Poligami yang sering diklaim sunah oleh kaum adam dan sangat ditakuti oleh kaum hawa ini sesungguhnya merupakan salah satu syariat Alloh SWT yang sangat jelas penunjukan dalil-dalilnya. Syariat Islam memiliki lima standar hukum perbuatan yang dikenal dengan sebutan ahkamul khomsa, yaitu wajib, sunah atau mandub, mubah, makruh dan haram. Dalam hal ini poligami berstatus mubah, artinya bukan sunah dan juga tidak makruh apalagi haram. Konsekuensi mubah adalah tidak berdosa dan tidak berpahala jika dilakukan. Alloh SWT sebagai Zat Yang Maha Tahu menjadikannya sebagai solusi.
Bisa saja karena tak kunjung memiliki keturunan, istri sakit tidak bisa melayani, perbandingan jumlah perempuan yang jauh lebih banyak dari lelaki atau yang lainnya. Adakalanya dalam kondisi-kondisi tersebut poligami memang menjadi solusi. Namun demikian secara syariat kemubahan poligami bersifat mutlak tanpa syarat-syarat tertentu. Artinya tak harus ada alasan seperti di atas atau seperti yang sering diungkapkan orang saat ini saat menghakimi para pelaku poligami.
...Daripada energi umat Islam terselewengkan untuk menggugat sesuatu yang dalam pandangan syariat dibolehkan lebih baik kita memaksimalkan upaya menuntut keadilan pada penista agama ini...
Rasulullah melakukan poligami karena menyantuni janda, sedangkan ‘dia’ menikahi wanita lajang lagi cantik, ini namanya nafsu. Hal ini sangat berbahaya karena telah memposisikan pelaku poligami selayaknya pelaku maksiat di saat poligaminya tidak memiliki alasan khusus yang mengharuskan dilakukannya poligami. Apalagi jika sampai disetarakan dengan dosa penistaan agama.
Permasalahan yang kerap dialami keluarga poligami bak hidup di neraka. Atau dominasi fakta keluarga poligami yang dihiasi kezoliman yang dirasakan pihak istri, khususnya istri pertama, memang tidak bisa dipungkiri. Namun dalam tatanan syariat fakta tidak bisa dijadikan dalil untuk mengubah status hukum sesuatu yang telah ditetapkan secara mutlak.
Langkah edukasi tentang poligami adalah hal Yang penting bagi kita agar tidak menjudge semaunya mengenai poligami ini. Dan dalam Islam pemahaman tentang syariat Islam khususnya bagaimana harusnya membina hubungan rumah tangga itu menjadi bagian tak terpisahkan dari kurikulum pendidikan negara. Sehingga setiap orang sebelum memasuki masa baligh dipastikan telah memahami semua hukum syara yang kelak akan diembannya dan akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Alloh SWT. Termasuk di dalamnya ilmu khusus terkait kehidupan rumah tangga.
Dengan demikian setiap insan akan sangat berhati-hati dalam memutuskan setiap aktivitasnya apalagi terkait keputusan untuk monogami atau poligami ini. Karena selain nafkah dan mahar, tambahan kewajiban bagi laki-laki adalah menciptakan hubungan suami istri yang menentramkan dan membahagiakan. Meski di pundak lelakilah kepemimpinan itu diberikan akan tetapi kepemimpinan suami istri dalam Islam sangatlah unik. Yaitu kepemimpinan dalam persahabatan bukan seperti atasan dan bawahan apalagi seperti hakim dan terdakwa.
Tiap lelaki akan memahami bahwa perkara kehidupan rumah tangga yang dibinanya ini kelak akan menjadi tanggung jawab besar di Yaumil Hisab. Pemahaman inilah yang akan menjadi pemandu bijak para suami dalam mengambil keputusan.
Izin istri pertama bukanlah syarat sah pernikahan kedua atau selanjutnya dalam rumah tangga poligami. Namun selayaknya seorang sahabat suami diwajibkan untuk menjaga suasana kebahagiaan sahabatnya. Seorang sahabat sudah seharusnya memahami hal apa saja yang bisa membuat bahagia dan apa saja yang membuat sedih hati sahabatnya. Dengan memperhatikan ini maka pola rumah tangga baik poligami maupun monogami dalam Islam akan diliputi suasana ketengangan dan ketentraman pada seluruh anggota keluarga. Sehingga sekali lagi letaknya adalah pada pemahaman yang dimiliki oleh para pelaku dan ini tidak lepas dengan sistem pendidikan yang melingkupi kehidupan pelaku, maka negaralah yang paling bertanggung jawab.
...Daripada energi umat Islam terselewengkan untuk menggugat sesuatu yang dalam pandangan syariat dibolehkan lebih baik kita memaksimalkan upaya menuntut keadilan pada penista agama ini...
Fokus Pada Tuntutan Keadilan Penista Agama
Berbeda dengan kasus penistaan agama, yang sudah jelas dosa besar dan hukuman bunuh bagi pelakunya jika muslim dan begitu juga jika pelakunya non muslim kecuali dia memilih bersyahadat maka diampunkan kesalahannya. Dengan demikian maka kita harus bijak memberikan penilaian terhadap fakta yang terjadi. Jangan sampai pelaku kemubahan kita posisikan selayaknya pendosa besar sementara pendosa sesungguhnya kita biarkan lewat begitu saja. Apalagi sampai memberikan pembelaan. Naudzubillah.
Daripada energi umat Islam terselewengkan untuk menggugat sesuatu yang dalam pandangan syariat dibolehkan lebih baik kita memaksimalkan upaya menuntut keadilan pada penista agama ini. Dan tentunya keadilan itu tak akan kita dapatkan dalam sistem hukum demokrasi yang memang dirancang untuk menistakan umat Islam. Satu-satunya cara menegakkan keadilan adalah dengan memperjuangkan tegaknya kembali hukum-hukum Islam dalam semua aspek kehidupan di negeri ini. Hanya dengan pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT sajalah kasus penistaan ini akan selesai dan semua masalah lainnya pun akan turut terselesaikan secara proporsional dan komunal. Wallahu ‘alam bish shawwab. (riafariana/voa-islam.com)
*Pemerhati Masalah Sosial
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!