Rabu, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 20 Agutus 2014 00:17 wib
12.609 views
Parodi Sengketa Pilpres 2014
Oleh Hanif Kristianto (Lajnah Siyasiyah HTI Jawa Timur)
Barangkali ada yang menarik dari beberapa sidang gugatan pilpres di MK. Betapa tidak, perebutan RI-1 menjadi kian penting bagi elit politik yang dekat dengan sumber kekuasaan. Belum lagi, pemilu yang disangka demokratis penuh dengan manipulasi dan pembodohan rakyat. Sikap berbeda ditunjukan rakyat negeri ini. Pasca mereka mencoblos, mereka tak banyak berkomentar siapa yang akan terpilih. Bagi rakyat, bisa makan setiap hari sudahlah beres. Rakyat pun terngiang dengan jargon “Sek enak jamanku toh?”
Persengketaan kalah-menang di MK sejatinya tidak menyetuh pada persoalan yang dihadapi rakyat. Justru semakin menunjukan kepada publik bahwa elit politiklah yang akan mempolitisasi kepentingan atas nama rakyat. Bisa ditebak, rakyat akan kembali tersandera. Karena kehidupan mereka tidak akan berubah. Kalaupun berubah, pasti tambah terpuruk.
Rakyat Tersandra
Peristiwa sengketa gugatan di MK hendaknya menjadi pelajaran bagi rakyat. Melek politik dan tambah informasi layaknya dijadikan sebagai alat ukur kesungguhan penguasa mengurusi rakyatnya. Jargon “demi rakyat” yang sering didengungkan tak terbukti rakyat menjadi perhatian. Sengketa itu hakikatnya, buah kekecewaan pada demokrasi yang membawa luka. Meskipun mereka tak sadar telah memanipulasi kepentingan rakyat untuk kepentingan pribadi.
Sengketa pilpres di MK tidak semata antara dua pasang capres. Rakyat juga dilibatkan dengan luapan emosional. Tak jarang muncul saling klaim dan melaporkan ke pihak kepolisian. Akibat sengketa ini rakyat tersandera atas nama konstitusi dan keadalian. Konflik terjadi antar kelompok yang memperebutkan hal yang sama, tetapi konflik akan menuju ke arah kesepakatan (konsensus)( Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik:190).
Sengketa Pilpres di MK, tampaknya juga akan menuju konsensus di balik meja dan di luar persidangan. Konsensus politik tidak akan pernah diketahui oleh rakyat. Karena rakyat sudah tidak dibutuhkan dalam kepentingan ini. Rakyat hanya dibutuhkan dalam masa pemilihan, bukan turut campur menentukan arah pemerintahan. Hal yang bisa dilakukan rakyat sekadar mengkritik dan mengkritisi. Inilah kamuflase demokrasi untuk menjebak rakyat.
Kemunculan konsensus di luar konstitusi terjadi diakibatkan beberapa hal. Pertama, tidak mungkin lagi KPU akan menyelenggarakan lagi pemilu ulang. Karena biaya pemilu sangat mahal. Belum lagi panitia penyelenggara pemilu tidak ingin kerja lagi. Kedua, ada orang-orang yang menjadi think tank di belakang kedua kubu yang bersengketa. Mereka juga tidak menginginkan negara ini buyar hanya karena segketa pilpres. Ketiga, jika mereka saling ngotot, rakyat akan menilai bahwa presiden terpilih haus akan kekuasaan dan tidak dewasa. Keempat, pemerintahan SBY tentu ingin pemerintahannya berakhir khusnul khotimah. Hal itu sebagai bentuk pencitraan positif selama 10 tahun masa pemerintahannya. Serta ingin dikenang sebagai model pemilihan presiden langsung oleh rakyat yang demokratis. Kelima, masyarakat Indonesia bukan tipe bergerak berdasarkan pemikiran. Apalagi menjadikan kekerasan untuk sebuah revolusi. Sama sekali ini tidak terpikir dalam benak masyarakat. Jika kekerasan yang digunakan, rakyat rugi sendiri dan menjadi korban. Keenam, pejabat negara saat ini jarang yang bersih dari banyak tuduhan kejahatan. Semua sudah mempunyai kartu AS masing-masing. Tak ingin dirinya tersandera dan masuk jeruji besi, mereka meminta perlindungan diri. Jika pejabat besar ketahuan belangnya. Ibarat buruk rupa cermin dibelah. Tak ada harga diri di hadapan rakyatnya. Ketujuh, pemilu dalam demokrasi dilaksanakan bukan untuk merubah sistem politik. Apalagi pemilu Indonesia tidak terlepas dari campur tangan asing melalui lembaga donor dalam bentuk dana, penyusunan DPT, sosialisasi, dan pemantau.
Beberapa konsensus di atas menunjukan jika Indonesia masih terjebak dalam sistem politik (demokrasi) yang korup dan bobrok. Indonesia juga tidak ingin kehilangan muka dalam pentas internasional. Indonesia dijadikan dunia internasional sebagai contoh negara muslim demokratis. Indonesia seolah dipuja-puja, sementara rakyatnya menderita dalam pujian yang hakikatnya racun.
Titik Balik Kesadaran
Pemilu dalam sistem demokrasi tidak akan pernah ada yang namanya “jujur, adil, dan bebas”. Justru demokrasi mengajarkan “manipulasi, perpecahan, dan kesengsaraan”. Hal ini bisa dibuktikan dalam pemilu legislatif. Misalnya, caleg rela menghamburkan uang untuk membeli suara rakyat yang dianggap suara tuhan. Syahwat kuasa yang ada pada diri manusia, mengalahkan logika untuk menjadi insan bertaqwa dan dicintai manusia. Pilpres pun demikian. Manipulasi data, memecah belah rakyat dengan menggunakan dalil agama sebagai pembenaran, tak lagi dianggap sebagai bentuk dosa besar membohongi rakyat. Presiden terpilih pun hanya melanggengkan status quo pemerintahan sebelumnya. Selama ini presiden terpilih sering identik dengan presiden boneka asing berwajah lokal. Pemilu di Afghanistan, India, Pakistan, Irak, Mesir dan negeri muslim lainnya bisa jadi pelajaran. Sesungguhnya demokrasi hanya mengokohkan penjajahan asing (AS dan sekutunya) dalam menjajah politik negeri kaum muslim.
Selayaknya ini menjadi titik kesadaran awal bahwa demokrasi sekadar janji. Tak lebih sebuah sistem jahat yang menjadikan umat islam ini terjebak dalam permainan kafir penjajah. Memang asing tidak lagi menjadikan militer sebagai bentuk penjajahannya. Mereka merekrut orang lokal untuk menjadi jongos bagi penjajah. Bermanis muka dan merakyat. Tapi berhati serigala yang mengorbankan rakyatnya demi melayani kepentingan tuannya.
Demokrasi bukanlah sistem kehidupan ideal. Demokrasi juga tidak bersumber dari Islam. Kondisi umat Islam saat ini hidup bukan di alamnya. Mereka hidup dalam lumpur demokrasi. Sehingga umat terjebak dan berlepotan dosa-dosa yang tidak diketahuinya. Oleh karena itu, sistem politik Islam mengajarkan bahwa pemimpin adalah penggembala rakyatnya. Merekalah diminta mengurusi urusan rakyat dalam negeri dan luar negeri. Menjaga keamanan rakyatnya, mencukupi kebutuhan pokoknya, dan menerapkan syariah kaffah dalam kehidupannya.
Wallahu a’lam bis-shawwab.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!