Rabu, 15 Jumadil Awwal 1446 H / 1 Desember 2021 04:22 wib
28.668 views
Pembuka Hidayah Jilid 2: Novel Uwa Ajengan (Resensi Buku, Bagian 3-Selesai)
Di bagian akhir sub judul novel ini yakni ke Manonjaya, di sinilah titik nol perubahan perjuangan Choer Affandi dari yang awalnya jihad bil qital dengan mengangkat senjata di gunung, sekarang berubah dengan jihad bil fikroh, yakni berperan menjadi seorang Ulama Warasatul Anbiya.
Pertama yang ditemui oleh Choer Affandi setelah turun gunung adalah putra putrinya yang dititipkan kepada orang-orang yang bersedia mengurusnya. Ia ingin membangun keluarga kembali.
Setelah turun gunung, Choer Affandi tetap mesti laporan sepekan sekali ke Bandung. Momen ini digambarkan Fauz Noor begitu lengkap bagaimana saat itu Choer Affandi memulai dakwahnya dari nol, menjadi tabib, laporan setiap pekan ke Bandung, menempuh perjalanan jauh harus ke stasiun yang menyebabkan beliau akhirnya pindah ke Manonjaya untuk mendekati rel kereta api.
Bagaimana Choer Affandi merintis usaha dan tidak malu malu berdagang bahwa sebenarnya ia berdagang dengan Allah, bakti sosial bahasanya, karena tak jarang ia mendapatkan rugi daripada untung.
Penulis menggambarkan, saat Choer Affandi di Bandung menemukan anak-anak yang bajunya compang camping. Choer Affandi memberikan baju kepada mereka, ia pun sering menengok anak-anak yatim fakir gelandangan. Kejadian seperti itu tak hanya sekali beliau lakukan, tetapi hampir tiap hari dan sepanjang hari.
Saat Choer Affandi mulai merintis dakwah, Fauz Noor kembali membawakan suasana haru. Bagaimana saat itu Choer Affandi dibelikan rumah panggung oleh jamaah pengajian di Ciherang dan dibantu Ajengan Udin dan Ajengan Busthami yang mana rumah tersebut diangkut oleh jamaah pengajian Ciherang dari Ciherang ke Manonjaya.
Sungguh suasana yang sukar dipercaya ternyata rumah itu benar-benar diangkat, bagaimana kecintaan dan ketulusan para warga wabil khusus ajengan Busthami dan Ajengan Udin terhadap Choer Affandi dengan tulus memberikan rumah untuk dirinya dan keluarganya. Dapat dibayangkan suasana saat itu mengangkut rumah tentu menjadi tontotan setiap orang yang melihatnya, tak sedikit yang berdecak kagum melihat kecintaan jamaah terhadap gurunya.
Fauz Noor mampu menjelaskan bagaimana nama Choer Affandi mulai dikenal dalam mimbar-mimbar ketika saat itu ada kejadian beliau yang awalnya mau thulab mendengarkan ceramah gurunya Rd. KH. Didi Abdul Majid, namun berhubung saat itu gurunya tidak hadir, panitia mempercayakan Choer Affandi untuk berbicara dihadapan ribuan orang. Disinilah awal nama Choer Affandi mulai di kenal luas.
Terakhir novel ini berhasil ditutup dengan alur yang membuat setiap pembaca semakin penasaran untuk melanjutkan membaca novel jilid 3. Ketika peristiwa G30S/PKI dan pasca itu simpatisan PKI menjadi buruan warga tak terkecuali di Tasikmalaya. Ajengan Choer Affandi saat itu teringat peristiwa yang menimpa gurunya, Ajengan Masluh dan ulama sepuh Tasikmalaya yang dihormati KH. Fakhrudin yang terbunuh diisukan oleh Darul Islam, hasil investigasinya pelaku pembunuhan bukan anak buahnya anggota DI/TII.
Setelah ngawuruk santri pada malam yang pekat di sekitar daerah Cineam, Choer Affandi sudah ditunggu oleh empat orang yang sedang ngudud daun kawung. Ternyata empat orang tersebut bekas anak didiknya di Darul Islam dahulu. Dari hasil percakapan tersebut, ternyata anak buahnya masih semangat dan setia terhadapnya, dan yang membuat kaget ternyata ia memberikan kertas kepada 4 anak buahnya, di kertas tersebut ada dua nama lengkap dengan alamatnya adalah pembunuh Ajengan Masluh dan KH. Fakhrudin.
Disinilah novel pembuka hidayah jilid 2 sukses ditutup dengan narasi menggantung, yang akan membuat para pembaca bertanya-tanya siapa dua nama yang membunuh 2 ulama Tasikmalaya waktu itu, apa yang akan dilakukan oleh 4 orang mantan DI/TII tersebut, dan bagaimana akhir cerita dari novel pembukan hidayah ini ?
Membaca buku ini, saya semakin kagum ketika mendengar nama Choer Affandi. Bagaimana seorang ulama yang mau mengorbankan segalanya demi wujudnya Syariah Islam di tanah Jawa Barat, bahkan harus berjuang bersama istrinya di gunung selama 12 tahun, dan setelah turun dari gunung harus membangun kehidupan baru dari nol dengan kesan yang masih melekat sebagai mantan tokoh DI/TII tentu bukan hal yang sangat mudah.
Hal terpenting, Novel ini tidak memakai kaca mata hitam-putih dalam membaca realitas. Satu yang utama, dalam novel ini diselipkan narasi-narasi dari Fauz Noor untuk terjadinya rekonsiliasi, terutama dalam ukhuwah Islamiyah. Di sisi lain, masih banyak pesan yang tersirat dan tersurat dari novel pembuka hidayah jilid 2 ini yang bisa dijadikan pelajaran untuk kita yang hidup saat ini dan generasi selanjutnya. Terharu, itu kesan saya setelah membaca buku ini. Sekali lagi apresiasi untuk Fauz Noor dan kita pun menunggu novel pembuka hidayah jilid ke-3 nya. [selesai].
IDENTITAS BUKU
Judul: Pembuka Hidayah Novel Biografi Uwa Ajengan Buku Kedua
Pengarang: Fauz Noor Zaman
Penerbit : Tapak Sabda (Sabda Book’s)
Cetakan 1: Oktober 2021
ISBN: 978-62391126-9-1
Tebal: xii + 239 halaman
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!