Senin, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 24 Mei 2021 21:35 wib
12.371 views
Bukan Salah Nikah Muda Bila Cinta Kandas di Tahun ke-Lima
Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S
(Penulis Buku "Menikah Rasa Jannah")
Pernikahan putra sulung ulama kondang Arifin Ilham, yakni Alvin Faiz dan istrinya Larissa Chou harus kandas di tahun ke-5. Masih segar di ingatan publik saat Larissa dan Alvin menikah di usia yang sama-sama belia. Ketika itu, Alvin berusia 17 tahun dan Larissa 20 tahun. Awal pertemuan mereka adalah di jejaring media sosial. Larissa kerap berdiskusi dengan Alvin soal agama, hingga akhirnya gadis keturunan Tionghoa itu pun masuk Islam. Tak lama setelah itu, Alvin menikahinya.
Kini, kandasnya rumah tangga mereka dengan meninggalkan seorang buah hati, cukup menjadi sorotan publik. Banyak yang menyayangkan terjadinya perceraian tersebut, banyak juga yang akhirnya menyudutkan soal nikah muda. Betapa tidak, Alvin dan Larissa sebelumnya menjadi tokoh inspirasi pasangan nikah muda, namun nyatanya gagal menjalani biduk rumah tangga.
Namun demikian, kita harus jernih dalam memandang persoalan ini agar bersikap adil dan tak salah dalam menghukumi. Sejatinya, perceraian merupakan langkah terakhir yang bisa saja diambil dalam rangka menyelesaikan persoalan dalam rumah tangga, setelah dilakukan langkah-langkah untuk mempertahankan pernikahan, seperti memanggil pihak ke-3 sebagai juru damai, saling berintrospeksi diri, dll. Karena sejatinya mempertahankan sebuah pernikahan adalah jauh lebih baik ketimbang mengakhirinya. Namun, jika semua langkah tersebut ternyata menemui jalan buntu, dan perceraian adalah satu-satunya solusi terbaik, Islam pun menghalalkannya.
Dalam pandangan Islam, hak untuk menceraikan ada di tangan suami, namun demikian istri pun punya hak untuk menceraikan dirinya sendiri, yakni dengan gugat cerai (khulu). Akan tetapi, hal tersebut tidak boleh menjadi sesuatu yang dimudah-mudahkan bagi istri untuk meminta cerai. Sebab sejatinya Allah membenci perempuan yang mudah meminta cerai dengan tanpa alasan yang syari. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Siapa saja perempuan yang meminta (menuntut) cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan maka diharamkan bau surga atas perempuan tersebut.” (HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Keputusan cerai yang diambil Alvin dan Larissa sebetulnya sah-sah saja di mata syariat Islam. Masyarakat tak berhak menghakiminya dengan berbagai tuduhan miring yang belum tentu kebenarannya. Terlebih apa yang menjadi penyebab perceraian mereka tak dibeberkan ke ruang publik.
Benarkah adanya bahwa cerai bukan perkara orang awam atau anak Kyai, bukan juga perkara nikah muda atau nikah usia matang, tetapi bisa menimpa siapa saja. Oleh karena itu, tak bijak rasanya jika menuding sepenuhnya bahwa nikah muda menjadi penyebab kegagalan berumah tangga. Meski bisa aja ada juga fakta demikian, tp tidak bisa digeneralisasi. Banyak juga pasangan menikah muda yang awet hingga menua.
Hakikatnya memilih menikah muda merupakan sebuah keputusan yang lebih baik daripada menjalin ikatan haram di luar pernikahan, seperti pacaran, TTM, atau HTS. Memilih menikah di usia muda jelas merupakan sebuah langkah berani yang patut diapresiasi. Meski demikian, kita perlu memperhatikan beberapa berikut sebelum menikah muda:
Pertama, siapkan ilmu serta iman. Karena menikah bukan perjalanan satu dua hari, melainkan sepanjang hidup. Pun pernikahan merupakan lembaga agung untuk melahirkan generasi-generasi berkualitas yang kelak akan mengisi peradaban di masa depan. Oleh karena itu, menjalaninya butuh kematangan ilmu dan kesiapan iman. Keduanya saling bertaut tak bisa dipisahkan. Sebab ilmu tanpa iman akan membuat pernikahan jauh dari rida-Nya, tak memiliki visi besar yang ingin dikejar, sedangkan iman saja tanpa ilmu akan membuat pasangan suami istri gagap menjalani perannya, termasuk gagap dalam menyelesaikan konflik baik dengan pasangan maupun anak-anak. Akhirnya bukan tak mungkin, konflik sedikit saja memicu pertengkaran besar bahkan pernikahan akan bubar di tengah jalan.
Kedua, menyadari bahwa menikah itu amanah. Ya, ketika seseorang memutuskan menikah berarti dia siap menambah amanah di pundaknya. Bagi seorang wanita, kelak ketika dia menjadi istri berarti dia wajib melayani suaminya secara totalitas, menjaga kehormatannya, menjaga hartanya, melahirkan dan mengasuh anak-anak nya, serta mengurus rumahnya. Sementara bagi laki-laki kelak ketika menjadi suami berarti dia wajib menafkahi keluarganya, istri dan anak-anaknya, memberikan pendidikan islam kepada istri dan anak-anaknya, dan menahkodai rumah tangga agar berjalan di atas jalur rida-Nya.
Dengan demikian, berani menikah muda berarti harus siap dengan segala konsekuensi. Siap secara mental dan finansial. Siap berjuang bersama untuk membangun rumah tangga. Siap untuk saling menundukkan ego di tengah perbedaan yang pasti akan muncul.
Oleh karena itu, bukan salah nikah muda saat terjadi perceraian, tapi banyak faktor-faktor lainnya yang semestinya layak dievaluasi. Yang pasti, pilihan nikah muda jauh lebih mulia ketimbang pacaran yang berpotensi besar menjerumuskan ke dalam perzinaan. Wallahu'alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!