Senin, 18 Jumadil Awwal 1446 H / 7 Mei 2018 23:02 wib
8.128 views
The Twin Heart 8: Berdiskusi Iman dengan Logika
Assalamu'alaikum sobat muda voa-islam yang disayangi Allah,
Hai...hai...hai, apa kabar semua? Semoga kabar baik saja yang ada, tetap teguh dengan iman dan Islam hingga akhir zaman ya. Alhamdulillah.
Duh, mohon maaf banget kalau cerbung kesayangan ini sempat menghilang lagi seminggu lalu. Ada kendala teknis yang gak keren banget kalau sampai diceritakan hihihi...
Intinya, alhamdulillah Dave dan Sharon kembali hadir untuk berbagi kisah dengan kalian. Pantengin, makin seru nih. Jangan sampai menyesal kemudian. Cekidot dan selamat membaca :)
Salam
------------------------
The Twin Heart - Bagian 7
Berdiskusi Iman dengan Logika
Oleh: Ria Fariana
IBU.
Sosok yang begitu dirinduinya. Kelembutan abadi yang menyejukkan jiwa. Kasih terindah yang tak pernah pudar dilumat masa. Dan ketika kerinduan itu mencapai puncak tanpa harus tahu bermuara ke mana, maka sosok patung bunda Maria adalah labuhan hatinya. Ia merasa damai bersimpuh di depannya.
Dan rasa itu pula yang selalu menuntunnya untuk menghabiskan waktu di taman kota, beberapa meter dari cottage tempatnya tinggal. Suatu tempat di mana anak-anak kecil berkumpul untuk bermain dengan ditemani oleh ibunya masing-masing. Dave merasakan kehangatan itu, keakraban dalam canda dan tawa mereka.
Ada satu anak kecil yang diamati Dave, begitu periang dan ramah terhadap anak-anak yang lain. Umurnya sekitar tujuh tahun. Ia mudah sekali diterima oleh semua orang. Dan ia suka main tebak-tebakan. Satu sore, anak kecil itu terlihat sendiri. Mungkin capek setelah bermain dengan teman-temannya. Ia terlihat asyik bermain ayunan. Dihampirinya sosok mungil itu.
“Hi,” Dave menyapanya sambil ikut duduk di ayunan bersebelahan.
“Hi juga,” jawab anak kecil itu dengan senyum ramah.
“Tumben sendiri.”
“Siapa bilang sendiri?”
Ganti Dave yang bingung.
“Maksudku, aku memang terlihat sendiri, tapi sesungguhnya aku tak pernah sendiri.”
Dave mengerutkan kening.
“Aku punya Allah,” lanjut anak itu sambil tersenyum ke arah Dave.
Ohh…Dave mengangguk dan tersenyum canggung. Allah, nama Tuhannya umat Islam. Cerdas juga nih bocah, pikirnya.
“Mau main tebakan?” anak itu menantang Dave.
“Boleh, siapa takut.”
“Kamu dulu aja deh.”
“Oke.”
Dave berpikir sebentar untuk mencari tebakan yang menurutnya sesuai dengan anak berumur 7 tahun.
“Bagaimana memasukkan gajah ke dalam kulkas?” Dave mencoba memberi tebakan konyol yang dikutipnya dari internet.
“Bagaimana bisa? Gajah kan besar, kulkas lebih kecil dari gajah.”
“Bisa dong. Buka saja kulkasnya dan masukkan gajahnya, mudah kan.” Dave tertawa.
Anak kecil itu terdiam. Tapi kemudian ikut tertawa.
“Sekarang ganti aku yang bertanya yah.”
“Oke.”
“Bagaimana kamu tahu kalau Tuhan itu ada?”
Dave tercekat. Anak sekecil ini bertanya pertanyaan seperti itu?
“Hmm…karena Ia ada di sini,” jawab Dave sambil memegang dadanya. Anak kecil itu tersenyum.
“Bagaimana membuktikannya?”
“Ia tak dapat dilihat tapi harus diimani. Dan siapa yang mengimaninya, maka ia akan selamat,” Dave menjelaskan dengan semangat. Ia kagum sekali dengan anak kecil ini, dengan kecerdasan dan pertanyaan kritisnya. Dibayangkannya anak ini akan jadi misionaris tangguh bila besar nanti.
“Itu tidak menjawab pertanyaanku.”
Dave tersentak.
“Dimananya? Tuhan memang tidak bisa dilihat kan? Atau kamu mempunyai jawaban yang lain?”
“Aku kan tidak bertanya apakah Tuhan bisa dilihat atau tidak. Tapi pertanyaanku kan bagaimana membuktikan kalau Tuhan itu benar-benar ada. Hayoo…bisa jawab gak?”
Dave terdiam. Ia berpikir sejenak.
“Coba jawabanmu apa?” Dave penasaran, jawaban apa yang akan diberikan anak sekecil itu. Dan ia menunjuk sesuatu di kejauhan. Dave mengikuti arah telunjuknya. Kotoran anjing. Dave kembali memandang anak kecil itu dengan pandangan bertanya-tanya.
“Kenapa dengan kotoran anjing?”
“Mana anjingnya?”
“Tak ada. Mungkin sudah pergi entah ke mana.” Anak kecil itu tersenyum. Tiba-tiba ada suara sirene ambulans di kejauhan.
“Suara apa itu?”
“Ambulans.”
“Ah…aku tak percaya. Mana buktinya?”
“Dari suaranya jelas itu ambulans.”
“Apa aku harus melihatnya untuk mempercayai kalau itu ambulans?”
Dave menggeleng.
“Apa aku harus melihatnya untuk tahu kalau tadi ada anjing berak di situ?”
Lagi, Dave menggeleng.
“Sama. Tidak harus melihat ujud Tuhan untuk membuktikan ia ada.”
Dave terperangah. Belum hilang terkejutnya, muncul sesosok wanita menghampiri. Wanita dengan pakaian menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangannya.
“Ummi.” Anak kecil itu memanggil wanita itu.
Ummi?
“Ummi, ini teman baruku tapi kami belum saling bertukar nama.” Anak kecil itu memandang wajah wanita yang dipanggil ummi bergantian dengan wajah Dave.
“Dave,” sambil diulurkannya tangannya. Tapi wanita itu menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
“Ummu Umar, artinya ibunya Umar,” wanita itu menjawab ramah.
Dave memandang anak kecil itu.
“Namamu Umar yah?”
“Iya. Kata ummi biar aku setangguh Umar bin Khotob,” anak kecil bernama Umar itu menjawab bangga. Dave tersenyum canggung. Jadi nama anak kecil cerdas ini Umar. Dan ia adalah seorang muslim. Sebetulnya Dave tidak pernah membenci orang yang berlainan agama, apalagi ia anak kecil secerdas Umar. Hanya, ia sedikit merasa tidak nyaman ketika Umar mematahkan jawabannya tentang pertanyaan ketuhanan tadi. Dipandangnya wanita itu, ummu Umar. Perkembangan seorang anak pasti tak lepas dari peran ibunya. Dan anak sekecil ini saja secerdas itu, apakah lagi ibunya. Ibu. Ah…perasaan itu muncul lagi.
“Maaf, kami harus pergi. Umar, berpamitan dulu sama Dave.”
“Dave, nice to meet you. Kapan-kapan kita main tebakan lagi yah.” Umar mengulurkan tangannya yang mungil.
“Aku mau bersalaman denganmu,” terang Umar ketika Dave bingung dengan ulurannya.
“Oh…okay,” Dave mengulurkan tangannya dan dijabatnya tangan mungil itu. Untuk mengimbangi tinggi Umar, Dave berjongkok di depannya.
“Salaman ini untuk mengeratkan ukhuwah. Ukhuwah itu tali persaudaraan. Jika kamu muslim, maka Allah akan mempererat persaudaraan kita. Bila bukan, maka semoga Allah membuka hatimu pada jalan kebenaran,” Umar menepuk bahu Dave yang berjongkok di depannya. Ditariknya tangannya dan melangkah di samping ibunya. Sesekali ditolehkannya kepala ke belakang dan tersenyum ke arah Dave. Kerlingan mata cerdas itu begitu memukau Dave yang masih tertegun di posisi jongkoknya.
#Bersambung hari Kamis yaa....tetap pantengin dan jangan kemana-mana ^_^
Link bagian sebelumnya: http://www.voa-islam.com/read/smart-teen/2018/04/26/57546/the-twin-heart-6-menggambar-lampau-part-c/#sthash.EKImv6fL.dpbs
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!