Kamis, 18 Jumadil Awwal 1446 H / 5 April 2018 23:28 wib
10.698 views
The Twin Heart 3: Sketsa Senja
Assalamu'alaikum sobat muda voa-islam yang dirahmati Allah,
Hari Kamis menjelang ganti hari ke Jumat. Kamu pasti sudah nunggu-nunggu sambungan kisah Dave dan Sharon kan?
Dave yang cool dan Sharon yang ceria dan hangat. Topik tentang kebangkitan Islam tetap menjadi concern mereka meskipun selalu ada debar setiap berdekatan. Ehem...
Yuk, gak usah berpanjang lagi preambul-nya. Pantengin terus tiap Senin dan Kamis ya. Have a nice read ^_^
Salam
---------------
The Twin Heart - Bagian 3
Sketsa Jiwa (part A)
Oleh: Ria Fariana
Seorang anak kecil berlari-lari di tepi pantai. Minggu yang cerah. Kaki kecilnya yang telanjang terbenam sebagian di lembutnya pasir pantai. Basah hingga ke lututnya. Ia tertawa gembira bersama beberapa teman yang lain. Ada yang main layang-layang, ada yang bermain pasir, ada yang sekedar bermain kejar-kejaran satu sama lain. Bahkan ada juga yang ikut ayahnya melaut untuk mencari ikan.
“Ahmad, ayo kejar aku,”
“Ahmad, bantu abah mengangkat ikan asin ini, nak”
Ahmad…
Ahmad….
Dave terbangun. Nafasnya memburu. Tubuhnya berkeringat padahal Air conditioner terpasang maksimal. Mimpi itu. Kenapa beberapa hari ini ia memimpikan hal yang sama berurut-turut? Anak kecil, berlari di tepi pantai yang indah dan nama itu selalu terngiang-ngiang di benaknya. Ahmad. Siapa anak kecil itu? Seingat Dave, ia tidak pernah berkenalan dengan anak kecil apalagi di tepi pantai. Jika ada satu tempat yang sangat dihindari Dave adalah laut. Dan pantai selalu berhubungan dengan laut.
Direbahkannya lagi badannya. Masih terlalu dini. Matahari masih sekitar satu jam lagi terbitnya. Beberapa menit terbaring di ranjang, mata tetap tak mau terpejam lagi. Dinyalakannya lampu, dan ia duduk di belakang meja belajar. Beberapa coretan yang dibuatnya masih berserakan di sana. Mapping the global world. Tugas untuk gereja sekaligus tema majalah kampus edisi berikutnya, memprediksi peta kekuatan dunia.
Perkembangan Islam politik semakin mengkhawatirkan. Jumlah populasi muslim di Amerika sendiri sudah mencapai hampir sepertiga penduduk. Kesadaran bahwa Islam sebagai the way of life, ideology hidup, juga meningkat tajam. Tiap hari ada saja dari kalangan mahasiswa yang berorasi di lapangan kampus. Sikap mereka yang elegan dan cenderung sopan tapi tegas, semakin mempercepat proses Islamisasi Amerika. Selalu saja ada yang mengikrarkan syahadat sebagai syarat sah masuk Islam. Mereka meninggalkan keyakinan akan trinitas. Dave benar-benar geram. Hal ini benar-benar mengkhawatirkan pihak gereja.
Belum lagi gerakan Islam ideologis di negeri paman Sam ini juga semakin marak. Peristiwa 11 September 2001 yang begitu dahsyat bukannya membuat Islam semakin buruk citranya. Tapi keingintahuan masyarakat dunia tentang agama ini semakin menggelora. Tak adanya bukti yang bisa ditemukan untuk memperkuat bahwa para muslimlah pelakunya, membuat pamor Amerika semakin hancur. Bukan tak mungkin para petinggi Pentagon itulah aktor di balik itu semua. Seperti Kasus Timothy Mc Veigh yang menghancurkan Oklahoma. Semua jari terarah ke muslim yang berasal dari Timur Tengah. Tak tahunya teroris itu lahir dari rahim Amerika sendiri.
Tiba-tiba dering Hp-nya berbunyi.
“Dave, boleh aku datang ke rumahmu?” Slash…ada yang mencair di sudut hatinya.
“Sekarang?”
“Yah, ada hal penting yang ingin kubicarakan. Bukan masalah pribadi, tapi tentang proyek jurnalistik kita, mapping the global world.”
“Tapi…”
Aku janji tak akan terjadi apa-apa. I give you my words.”
“Baiklah.”
Beberapa menit kemudian, suara di telpon tadi telah mewujud nyata sosoknya di depan pintu kamarnya.
“Sharon! Ehm…uh…oke…hmm…masuklah,” gugup Dave menyilahkan Sharon untuk masuk.
“Thanks,” Sharon pun masuk ke dalam ruangan yang juga adalah kamar Dave.
“Panas atau dingin?”
“Panas saja. Thanks.”
Untuk meredakan deburan dadanya, Dave berjalan ke sudut ruangan yang juga merangkap dapur mininya. Disendoknya kopi pelan-pelan.
“Mau krimmer?”
“Ya. Tapi nggak usah gula yah.”
Dave sempat tertegun. Kenapa semuanya sepertinya sebuah kebetulan? Sharon ada di divisi yang sama dengannya, jurnalistik. Dan sekarang, minuman kesukaannya pun tak beda, kopi dengan krimmer tanpa gula.
Disendoknya krimmer dan dituangkannya air panas ke dua mug di depannya. Satu untuk Sharon dan satu untuk dirinya sendiri. Diaduknya sebentar kemudian diangkatnya kedua mug itu. Satu diberikannya ke Sharon.
“Thank you.” Sharon menerima mug itu sambil tersenyum. Dave segera memalingkan mukanya. Menundukkan pandangan. Duh…kenapa ayat-ayat itu yang muncul? Mana seharusnya ayat-ayat dari lembaran suci Bible? Dave menyumpahi daya ingatnya sendiri yang ternyata memorinya lebih mudah memanggil ayat-ayat dari kitab lain yang dipelajarinya.
“Sudah baca mapping the global world?” Sharon membuka kebekuan.
“Sudah. Khilafah Islam akan terbentuk tahun 2020. Itu prediksi 11 tahun lalu.”
“Yah, dan kita sedang berada di tahun 2015. Seluruh dunia Islam bergolak. Bagaimana prediksimu tentang ramalan itu?”
“Itu bukan ramalan menurutku. Tapi penarikan kesimpulan dari sebuah analisa yang bagus. Karimov sudah tumbang, Uzbekistan tinggal selangkah dari memproklamirkan dirinya sebagai Khilafah. Tajikistan, Kirgistan, Azerbaijan, Kazakhstan, hingga Afghanistan semuanya bergolak dan pemerintahan korup tinggal menunggu kejatuhannya. Uni Eropa yang bersatu juga tak mampu mencegah terpuruknya ekonomi dunia. Apatah lagi Amerika. Paman Sam ini sudah sekarat.”
“Jangan lupa Dave, Indonesia dengan muslim terbesarnya juga harus diperhitungkan. Perkembangan dakwah muslim militan di sana berjalan cepat, bahkan presidennya sudah mulai terpedaya oleh ide Khilafah ini. Aku khawatir mereka akan menyerahkan kepercayaannya pada para muslim militan itu lebih cepat dari perkiraan NIC.”
“Wait, wait. Terpedaya, katamu? Apa maksudnya?”
“Ide utopia Khilafah yang sudah ketinggalan jaman itu akan dipercaya lagi oleh masyarakat dan penguasa negeri. Aku khawatir itu terjadi. Sosialisme saja sudah ambruk di usianya yang belum genap satu abad. Belum lagi raksasa Kapitalisme saat ini sudah sempoyongan. Khilafah? Bisa apa system tua itu ketika dua ideology besar itu saja sudah menyerah dengan kompleksnya permasalahan manusia.”
Dave tercenung dengan berondongan kata-kata Sharon yang menyepelekan ide Khilafah.
“Biar tua, system Khilafah mampu bertahan lebih dari 14 abad lamanya,” gumam Dave pendek.
“Ada apa dengan system ini?” Dave masih di alam lain itu ketika tiba-tiba ia dikejutkan oleh sosok Sharon yang sudah begitu dekat dengan dirinya. Ia pun terlonjak mundur.
“Sharon, please jangan pernah lakukan itu lagi!”
“Ups…sorry Dave. Aku cuma khawatir tadi melihatmu seperti ada di alam lain.”
Wajah Dave yang sempat memerah karena rasa malu dan marah, begitu melihat wajah innocent itu, luluh hatinya.
“Oke, baiklah. Kamu sebaiknya segera pulang. Urusan kita sudah selesai,” Dave segera mengalihkan pembicaraan.
“Mana berkas kisi-kisi topik untuk mading dan majalahnya?”
Dave mengangsurkan kisi-kisi itu ke Sharon.
“Thanks.”
“Don’t mention it.”
Dave mengantarkan Sharon hingga ke pintu.
“Sampai jumpa besok, Dave.”
“Okay.” Mereka masih berdiri, saling berhadapan. Sharon tak juga beranjak pergi. Dave pun tak mampu menutup pintu dengan posisi Sharon masih di depannya.
“Baiklah, I’ll see ya,” akhirnya Sharon beranjak dengan langkah berat. Barulah Dave bisa menutup pintu. Disandarkannya tubuhnya yang terasa begitu lemas ke pintu. Dadanya sesak. Brak! Dipukulnya daun pintu tak berdosa itu. Luapan rasa di dadanya begitu membuatnya tak berdaya. Betapa menyiksanya rasa ini. Kembali dipandangnya patung bunda Maria dan Yesus Kristus. Beri aku kekuatan, batinnya ngilu. Bila memang Kau kehendaki aku jadi gembalaMu, hilangkan perasaan ini dari diriku. Please, pintanya memelas.
*****
“Ahmad, bantu mamak,”
“Ahmad, jaga adek yah.”
Untuk kesekian kalinya Dave terbangun dengan tergeragap. Tubuhnya bersimbah keringat. Kenapa akhir-akhir ini ia selalu bermimpi hal yang sama? Siapa anak laki-laki kecil dalam mimpiya itu? Dilihatnya jam dinding. Masih pukul 2 malam. Matahari masih beberapa jam lagi.
Dilangkahkannya kaki ke kamar mandi untuk membasuh diri. Setelah itu dengan pakaian rapi, Dave bersimpuh di depan patung bunda Maria. Ditumpahkannya seluruh gelisahnya di situ. Di tengah khusyuknya Dave berdoa, pintu diketuk. Dave berdiri, dan mengintip dari celah daun pintu. Mike.
“Buka pintunya, Dave.”
Ditariknya rantai penghubung pintu dengan bingkai sehingga Mike bisa masuk.
“Rapi benar kau, Dave. Mau kemana?” Tanya Mike yang setengah terhuyung karena mabuk. Dave diam saja. Ia berjalan ke arah bersimpuhnya tadi.
“Oh…berdoa di depan patung yah,” kata Mike sambil terkekeh-kekeh. Dave tetap diam. Percuma meladeni orang mabuk, pikirnya.
Tak lama ia bersimpuh, konsentrasinya pecah sejak kedatangan Mike.
Ia pun berdiri dan memilih untuk mengerjakan tugas majalah kampus yang terbit bulan depan. Untuk beberapa saat Dave tenggelam dalam irama ketikan keyboardnya. Tiba-tiba, ia dikejutkan suara Mike yang teriak-teriak.
“Mike, wake up. Ada apa?” Dave mengguncang-guncang tubuh Mike. Ternyata ia mengigau. Mike terbangun sambil bersimbah peluh.
“Aku mimpi buruk, Dave,” jawab Mike sambil terengah-engah.
“Ada ombak berlari mengejarku. Dan semakin aku lari, semakin cepat pula ombak itu menjilat tubuhku. Ombak yang tinggi, sangat tinggi,” jelas Mike dengan nafas masih terengah-engah.
Dave mengambilkan segelas air dari wastafel. Diangsurkannya ke Mike yang langsung menenggaknya habis. Benaknya masih dipenuhi oleh cerita mimpi Mike. Mengapa bisa begitu sama dengan mimpinya? Ia memang tak melihat ombak tinggi dalam mimpi, tapi bermain dengan riang gembira di tepi pasir dan ada anak kecil yang dipanggil Ahmad. Tepi pantai. Ombak.
Keduanya memang bukan hal asing bagi Dave dan Mike. Setiap minggu mereka dulu menghabiskan masa remaja dengan berenang di laut. Mike memang sempat tak mau berenang karena entah dengan alasan apa, ia tak begitu suka dengan laut. Tapi lama-lama, rasa takut tak beralasan itu bisa terkikis. Tapi kondisi laut harus benar-benar tenang bila mengajak Mike turut serta berenang. Ada ombak sedikit besar, Mike pasti minggir dan bergidik ngeri. Sedangkan Dave, ia masih saja phobi dengan air.
Ah…apakah sebaiknya kuceritakan saja tentang mimpiku pada Mike? Dipandangnya Mike yang masih tertegun, teringat mimpinya. Ombak adalah satu hal paling menakutkannya, dan sekarang ia bermimpi tentangnya. Sebaiknya tak kuceritakan saja mimpiku, akhirnya Dave mengambil keputusan.
#Bersambung Senin depan yaaa....
http://www.voa-islam.com/read/smart-teen/2018/04/02/57062/fiksi-ideologis-romantis-the-twin-heart-bagian-2/
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!