JAKARTA (voa-islam.com)--Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menyebut capaian vaksinasi menjadi catatan yang menonjol di bidang kesehatan selama dua tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi-Ma’ruf. Merespons hal ini, anggota DPR RI Fraksi PKS Bukhori Yusuf angkat bicara.
Bukhori mengingatkan pemerintah agar tidak jemawa. Dirinya mengatakan itu sudah merupakan tanggung jawab pemerintah untuk membereskan masalah kesehatan akibat kelalaiannya di awal merespons risiko wabah di Tanah Air.
Anggota Komisi Kebencanaan DPR ini melanjutkan Indonesia belum sepenuhnya aman dan terbebas dari virus Covid-19, maka terlalu dini apabila pemerintah mengklaim pihaknya berhasil tangani pandemi.
“Jangan menepuk dada terlalu dini. Itu memang sudah kewajiban pemerintah menyelesaikan masalah akibat gagap di awal, sehingga tidak perlu ada glorifikasi,” kritiknya.
Melansir Worldometers per 24 Oktober 2021, total kasus di Indonesia sejak awal pandemi telah mencapai 4,2 juta kasus. Angka ini menempatkan Indonesia bertengger di urutan ke-14 dunia sebagai negara dengan kasus Covid-19 tertinggi.
Selain itu, angka kematian di Indonesia akibat virus Covid-19 menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara, yakni mencapai 143.176 kematian.
Menyusul Indonesia terdapat Filipina dengan kasus kematian sebanyak 41.793. Selanjutnya Malaysia dengan 28.354 kasus diikuti oleh Vietnam, Thailand, dan Myanmar masing-masing sebanyak 21.673 kasus dan 18.000-an kasus. Sementara, Singapura dan Brunei hanya mencatat 300 dan 80 kasus kematian.
“Virus Covid-19 telah menelan banyak korban jiwa di Indonesia sejak awal pagebluk. Tercacat, angka kematian di Tanah Air adalah yang paling tinggi bila dibandingkan negara tetangga di kawasan Asia Tenggara,” papar Bukhori.
“Rakyat telah membayar harga terlalu mahal akibat inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi. Sungguh tidak etis menepuk-nepuk dada dengan tangan berlumur darah,” tegasnya.
Masih soal catatan di tahun kedua pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, anggota Komisi VIII DPR RI ini juga mengkritik sikap pemerintah yang kukuh mengerjakan sejumlah megaproyek seperti pembangunan sepur cepat Jakarta-Bandung dan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan di tengah kondisi pandemi.
Akibatnya, selain terkuras oleh ongkos penanganan wabah, anggaran negara turut terbebani oleh proyek mercusuar yang semestinya bukan proritas. Konsekuensi lainnya adalah utang Indonesia yang diprediksi kembali membengkak.
“Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) selama pandemi merupakan langkah pemborosan dan bukan prioritas yang dibutuhkan rakyat. Di sisi lain, alih-alih menyerap investasi dan tenaga kerja yang maksimal, sejumlah proyek justru menjadi beban bagi anggaran negara,” ucapnya.
Bukhori turut mengkhawatirkan nasib proyek IKN akan sama seperti proyek sepur cepat Jakarta-Bandung yang akhirnya menguras anggaran negara.
Sebelumnya pada 2016 silam, Presiden Jokowi sendiri yang mengatakan tidak ingin proyek kereta cepat ini menggunakan APBN. Namun demikian pada 2021, dirinya justru berbalik mengizinkan penggunaan APBN melalui skema Penyertaan Modal Negara (PMN).
“Walaupun alokasi APBN bagi pembangunan IKN hanya 19,2 persen dari total biaya keseluruhan yang mencapai Rp466,9 Triliun, siapa yang bisa menjamin bahwa anggaran negara tidak lagi terkuras?"
"Sebab, pandemi telah membuat lesunya permintaan dan lemahnya minat investasi. Maka sangat berisiko dan tidak realistis berharap ada pihak swasta yang berkenan menutupi 81 persen sisa kebutuhan biaya IKN itu,” tukasnya.
Pemerintah, demikian ucap legislator dapil Jawa Tengah 1 ini, harus mengerem pembangunan infrastruktur yang bukan prioritas, tidak produktif, apalagi yang dibiayai oleh utang. Alasannya, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sudah menembus lebih dari 40 persen atau nyaris mendekati ambang batas yang telah diatur UU Keuangan Negara, yakni 60 persen.
Lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memperkirakan utang pemerintah di akhir periode pemerintahan Jokowi-Ma’ruf akan membengkak menjadi Rp 9.800 Triliun. Pada Maret 2020, jumlah utang pemerintah tercatat sebesar Rp 5.000 Triliun.
Seiring bertambahnya kebutuhan untuk komponen penangangan pandemi, utang tersebut meningkat menjadi Rp 6.500 Triliun per Juni 2021. Artinya, jumlah utang pemerintah rata-rata bertambah Rp 102 Triliun per bulan selama satu setengah tahun pandemi.
“Jangan sampai bangsa kita tergadai akibat jerat utang yang kontraproduktif. Pemerintah tidak boleh meninggalkan generasi setelahnya dalam keadaan lemah. Maka itu, saya meminta agar sejumlah megaproyek yang tidak prioritas bagi rakyat dibatalkan saja hingga kondisi fiskal kita membaik,” ucapnya.
"Namun sebaliknya, jika pemerintah tetap kukuh dengan proyek ambisiusnya, kami yakin di akhir masa jabatannya, sejarah akan mencatat bahwa prestasi yang paling menonjol di era pemerintahan Presiden Jokowi adalah utang yang menumpuk," pungkasnya.*[Ril/voa-islam.com]